Headlines News :
Home » » Asia Tenggara dan Kemelut di Pakistan

Asia Tenggara dan Kemelut di Pakistan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, February 25, 2008 | 2:51 PM

Oleh Fidel Ramos
Mantan Presiden Filipina 
Kemelut politik yang sekarang melanda Pakistan, akibat undang-undang darurat yang dinyatakan Presiden Pervez Musharraf tahun lalu serta terbunuhnya mantan perdana menteri Benazir Bhutto, telah membawa dampak bagaikan tsunami ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Apabila pemerintah Musharraf mundur lebih jauh lagi dalam komitmennya untuk memulihkan demokrasi parlementer, krisis di Pakistan tidak hanya bakal bertambah buruk, tapi bahkan menyebar ke kawasan yang lebih luas.

Hari ini yang langsung dipertaruhkan adalah masa depan Pakistan, tapi masa depan negeri itu bisa menentukan nasib negara-negara tetangganya yang juga berjuang melawan Islamic fundamentalism. Apakah Pakistan akan terseret ke jalan Islamic extremism dan pemerintahan darurat, atau akhirnya mencapai modernitas sebagai suatu negara sekuler di bawah kepemimpinan sipil?

Pilihan tersebut penting sebagai contoh bagi negara-negara lainnya di Asia, karena Pakistan telah lama menjadi tempat berlindung Al-Qaidah dan sekutunya, Taliban, yang bersembunyi di kawasan perbatasan Pakistan-Afganistan. Kelompok teroris yang memiliki jangkauan global ini bisa mengubah keseimbangan dari satu sisi ekstrem ke sisi ekstrem lainnya di sejumlah negara.

Dampak terbunuhnya Bhutto pasti melintas batas Pakistan. Makin tidak stabilnya negeri itu telah memicu debat yang sengit di Amerika Serikat mengenai kemampuan bertahan jangka panjang pemerintah Musharraf yang didukung militer dan apakah dukungan finansial Amerika kepada Pakistan harus dilanjutkan.

Namun, sekarang bukan waktunya membekukan Pakistan, meskipun terdapat kemelut yang parah. September lalu wakil Usamah bin Ladin, Al-Zawahiri, merilis pita video yang menyerukan jihad di Pakistan dan di seluruh dunia. Ancaman yang dikeluarkan Bin Ladin akhir-akhir ini sama kerasnya. Melihat kekerasan ekstremis yang terjadi di Sri Lanka (Macan Tamil), Bengal Barat (Naxalit), Bangladesh (muslim fundamentalis), Thailand Selatan (muslim separatis), Jawa (Jemaah Islamiyah), dan Basilan (Abu Sayyaf), ada kemungkinan Al-Qaidah dan para pendukungnya sedang merancang serangan di tempat-tempat lainnya, terutama terhadap sasaran yang empuk, yang tentu merupakan ancaman yang riil bagi kawasan ini.

Para pemimpin di kawasan Asia Tenggara memahami ancaman ini. Setahun yang lalu pada pertemuan tingkat tingginya di Cebu, Filipina, para pemimpin ASEAN telah mengadopsi "Konvensi ASEAN Melawan Terorisme". Konvensi ini bertujuan mencegah tindak terorisme dengan menerapkan sistem peringatan dini; mencegah digunakannya wilayah masing-masing negara anggota AEAN oleh mereka yang membiayai, merencanakan, memperlancar, atau melakukan tindak teroris; dan mencegah gerak bebas kelompok-kelompok teroris melalui kontrol perbatasan dan dokumentasi identitas/perjalanan yang efektif.

Namun, operasi melawan terorisme itu lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan, mengingat beraneka ragamnya bentuk pemerintahan, budaya, dan agama, serta kebijakan sentral ASEAN yang menolak campur tangan dalam urusan dalam masing-masing negara anggota. Memang kebijakan ini telah memungkinkan tetap bersatunya ASEAN selama ini, meskipun terdapat ketidaksepakatan yang tajam. Namun, menyangkut perencanaan melawan teroris, kebijakan ini justru menjadi kendala terbesar ASEAN

Tapi kesadaran akan kelemahan ini seharusnya membuat ASEAN lebih berjaga-jaga. Langkah pencegahan pertama dan krusial yang bisa diambil setiap pemerintah di kawasan ini untuk menghadapi tindak ofensif Al-Qaidah di Asia Tenggara adalah menyadari sepenuhnya kreativitas, mobilitas, kepakaran teknis, dan kemampuan finansial kelompok-kelompok bunuh diri ini. Ingat surat yang ditulis teroris terpidana Ramzi Yousef, yang ditemukan di tempat persembunyiannya di Islamabad setelah tertangkap pada Februari 1995.

Yousef meluapkan kemarahan atas terbongkarnya sel "Bojinka" (eksplosif) binaannya di Manila sebulan sebelumnya dengan bersumpah: "Kami akan mengambil langkah yang paling keras untuk menghancurkan semua kepentingan Filipina di dalam ataupun di luar Filipina. Langkah yang akan kami ambil ini termasuk membunuh tokoh-tokoh terkemuka, nomor satu di antaranya adalah Presiden Filipina (Ramos)... Kami juga mampu menggunakan bahan-bahan kimia dan gas beracun terhadap institusi-institusi yang vital, daerah-daerah permukiman, dan sumber air minum."

Pada puncak perang Soviet-Afganistan pada 1980-an, Pakistan merupakan jalur gelap militan muslim Filipina pulang-pergi dari dan ke Afganistan serta kembali ke Pulau Mindanao, yang menjadi basis utama pemberontak muslim. Pengalaman dalam perang gerilya di Afganistan telah menghasilkan pemimpin-pemimpin seperti kakak-beradik Abdurajak dan Khadaffy Janjalani, yang membentuk Kelompok Abu Sayyaf, yang sekarang menimbulkan kerusakan di mana-mana di Filipina. Sesungguhnya, baru saja November lalu, seorang anggota Kongres Filipina, Wahab Akbar, seorang muslim yang mewakili daerah pemilihan Basilan, tewas beserta lima orang lainnya di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat oleh ledakan bom yang sejenis dengan yang digunakan di Pakistan, Afganistan, dan Irak. Tewasnya Akbar harus menjadi peringatan bagi semua pemerintah di Asia Tenggara: kita harus bersama-sama melawan Al-Qaidah, atau kita dikalahkannya satu per satu.
Sumber: Koran Tempo, 25 Februari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger