Berkas berita acara pemeriksaan (BAP) pembunuhan Yohakim Laka Loi Langodai (53) belum sampai di meja pengadilan. Tetapi tuntutan agar pengadilan profesional, bersih dan bebas sudah disampaikan simpatisan Yohakim dalam aksi demo, Senin (24/8/2009), di Lewoleba.
Aksi demo ini digalang Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras). Dalam aksi demonya Aldiras mengingatkan jangan sampai kejadian di Maumere dan Larantuka beberapa tahun silam (kebakaran kantor pengadilan--Red) terjadi juga di Lewoleba.
Aksi damai yang diikuti sekitar 500-an simpatisan, anggota keluarga korban serta dua tokoh tua otonomi Lembata, Petrus Gute Betekeneng dan Muhamad Ali Raibelen, anggota JPIC Lembata, Pater Vande Raring, SVD, berjalan tertib dikawal dua truk polisi. Massa mengawalinya dengan seremoni adat dan doa di kuburan Yohakim di samping rumahnya di Lamahora, Jalan Trans Lembata.
Yohakim, Kepala Bidang Pengawasan Laut dan Pantai Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, dihabisi eksekutor Lambertus Bedi Langodai (adik kandung korban), Mathias Bala, dan Muhamad Kapitan, di sebelah timur Bandara Wunopito, Lewoleba, Selasa (19/5/2009).
Jenazahnya ditemukan, Rabu petang (20/5/2009). Perencana pembunuhan adalah putri Bupati Lembata, Erni Manuk, dan mitranya Bambang Triantara. Semua tersangka ini telah mendekam di kamar tahanan Polres Lembata sejak tiga pekan silam.
Sasaran aksi damai memberikan apresiasi kepada kinerja Polri yang berhasil mengungkap pembunuhan Yohakim dan mengingatkan jaksa dan majelis hakim yang akan membawa kasus di Pengadilan Negeri Lembata. Polisi dinilai pantas mendapat dukungan moril atas kerja kerasnya mengungkap kasus ini.
Meski aksi demo berjalan tertib, suasana tampak 'panas'. Orasi-orasi yang dibawakan para orator, penanggung jawab aksi Piter Bala Wukak, S.H, koordinator lapangan, Yohanes Brino Tolok, Paulus Makarius Dolu, dan Alex Murin, 'membakar' semangat massa supaya kelak mengikuti proses hukum kasus ini.
Brino Tolok mengingatkan bahwa aksi massa ini sebagai ungkapan kemarahan rakyat dan peringatan kepada jaksa supaya tidak main-main dalam penuntasan pembunuhan berencana Yohakim dan kasus korupsi yang ditangani Kejari Lewoleba.
"Kasus korupsi dibawa jaksa sampai ke pengadilan, tetapi pelakunya bebas. Jangan pernah main-main dengan pembunuhan berencana Yohakim Langodai. Kami tidak ingin rakyat marah seperti kejadian di Kabupaten Sikka dan di Larantuka. Di Lewoleba sudah cukup pasar dibakar," kata Brino.
Brino menambahkan, tak ada prestasi yang bisa dibanggakan selama 10 tahun otonomi Lembata. Justru di puncak 10 tahun, darah anak Lembata memperjuangkan kebenaran dibunuh konspirasi kepentingan.
"Buah 10 tahun kita jadi kabupaten pembunuhan berencana. Rakyat di kampung-kampung mengeluh kesulitan hidup. Proyek-proyek mubazir, pejabat adu domba dan korupsi," tandas Brino.
Piter Bala Wukak mempertanyakan apakah keadilan hanya menjadi milik orang-orang berduit? Saat ini rakyat Lembata menangis karena kabupaten yang didirikan dengan darah dan air mata memakan korban darah anaknya. Piter mengingatkan agar jaksa dan majelis hakim memiliki komitmen yang sama seperti yang ditunjukkan polisi. Ia mewanti-wanti jaksa tidak menjadi kaki tangan orang tertentu mempetieskan kasus Yohakim.
"Jangan sampai rakyat marah, dan kejadian di Sikka dan Larantuka terulang di Lewoleba. Kami tak menginginkan kasus ini terjadi di sini (Lembata). Jangan coreng keadilan dibeli dengan uang. Ketika rakyat sudah marah, tak akan bisa dibayar dengan uang," tandas Piter.
Motif pembunuhan berencana Yohakim, kata Piter, kemungkinan terkait sikap keras Yohakim yang tahu kasus dugaan korupsi proyek rumput laut kepada kelompok nelayan dadakan dan bantuan kapal ikan bekas kepada nelayan di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Kasus ini sedang diusahakan ditutupi oknum tertentu.
Menurut Piter, hasil yang diperoleh selama 10 tahun otonomi Lembata adalah sepak terjang anak bupati yang mengatur-atur proyek, mengatur kepala dinas sampai membunuh Yohakim.
Ini mengindikasikan para pejabat tidak bisa mengendalikan nafsu anak dan istrinya. Pembunuhan ini merupakan simbol kematian orang-orang kecil menghendaki kebenaran dan keadilan.
Dua tokoh otonomi Lembata, Gute Betekeng dan Ali Raybelen, hadir dalam aksi demo karena mereka prihatin menyaksikan 'kerusakan' yang terjadi di Lembata.
Paulus Dolu mengatakan, aksi simpatisan Yohakim bukan pawai kegembiraan. Pawai ini dimulai dari kuburan Yohakim, mengancam tidur lelap segelintir pejabat. Ia mengajak simpatisan Yohakim hadir pada sidang kasus pembunuhan Yohakim di Lusikawak (Kantor PN Lembata). "Kita semua akan lihat sidang nanti seperti apa," tandas Paulus.
Paulus membacakan pernyataan sikap Aldiras, yang intinya menyatakan bahwa pembunuhan yang diduga melibatkan putri Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, merupakan klimaks dari banyaknya beban derita yang dipikul tanah Lembata akibat penyelewenangan kekuasaan. (ius)
Pernyataan Sikap Aldiras:
Pertama, Mengutuk pelaku pembunuhan Yohakim Langodai karena tindakan ini bertentangan dengan prinsip dasar hak azasi manusia.
Kedua, Mendukung Polres Lembata mengungkap kasus ini dan menindak tegas siapa pun pelakunya tanpa pandang bulu.
Ketiga, Mendesak Kejari Lembata mendukung kerja keras Polres Lembata dan masyarakat.
Keempat, Kejari dan Polres Lembata segera mengusut tuntas kasus korupsi di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata yang diduga menjadi motif pembunuhan Yohakim.
Kelima, Menghentikan teror dan kesewenang-wenangan terhadap rakyat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan demi terciptanya rasa aman di Lembata.
Ket foto: Massa Aldiras, simpatisan kasus pembunuhan Yohakim Langodai (53), mengusung spanduk dalam aksi damai di halaman Kantor Bupati Lembata, Senin (24/8/2009) (1). Pastor Marselinus Vande Raring, SVD. Foto: Pos Kupang/Eugenius Moa dan dok. Ansel Deri
Sumber: Pos Kupang, 25 Agustus 2009
Sumber: Pos Kupang, 25 Agustus 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!