Headlines News :

Kado Buat Wakil Rakyat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 31, 2009 | 1:52 PM

Oleh Ansel Deri
Putra Lembata, tinggal di Jakarta

HARI Selasa, 1 September 2009, jika tidak ada kendala sebanyak 25 orang anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata periode 2009-2014 akan dilantik. Istilah kerennya legislator atau anggota legislatif.

Mereka mulai mengemban aspirasi kurang lebih 116.000 rakyat yang tinggal di Ile Ape, Ile Ape Timur, Omesuri, Buyasuri, Lebatukan, Nubatukan, Atadei, Nagawutun, dan Wulandoni dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan kekuasaan. Rakyat mempertaruhkan aspirasi, nasib, dan masa depan daerahnya di pundak DPRD baru. Karena itu, wakil rakyat diharapkan mampu mendengar, memperjuangkan, dan menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Jika jalan raya tak pernah diaspal selama hampir 10 tahun otonomi, gagal panen, busung lapar bahkan ada anggota keluarganya terbunuh gara-gara rebutan proyek, wakil rakyat harus tahu kemudian memperjuangkan di dalam sidang-sidang soal rakyat. Wakil rakyat tak hanya peka tetapi juga harus berempati terhadap penderitaan rakyat selaku tuan atas kepercayaan yang diberikan. Sekali lagi, wajib hukumnya memikirkan kepentingan rakyat.

Tiga fungsi

Secara garis besar, DPRD memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi legislasi, yaitu kewenangan penyusunan peraturan daerah (Perda), yaitu menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Ranperda yang diusulkan eksekutif.

Kedua, fungsi anggaran (budgeting) yang diwujudkan dalam bentuk menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, fungsi pengawasan (controlling) yaitu kewenangan melakukan pengawasan terhadap implementasi perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah.

Tiga fungsi di atas mesti dijalankan dengan baik dan bertanggung jawab. Lembata sebagai daerah yang sudah 10 tahun otonom menyisakan sejumlah persoalan pelik, terutama protes masyarakat atas maraknya praktik KKN dan kasus-kasus kriminal lainnya. Kondisi semacam ini menuntut dukungan politik legislatif.

Demonstrasi masyarakat, baik di kantor bupati, DPRD maupun Kepolisian Resor Lembata tiga tahun belakangan pertanda macetnya komunikasi politik DPRD dengan rakyat. Atau demonstrasi atas dugaan korupsi dana APBD Lembata tahun 2004 yang bernilai puluhan miliaran rupiah, kebijakan sepihak Pemkab dan DPRD atas rencana tambang di Kedang dan Lebatukan, kematian tak wajar Yohakim Langodai hingga protes masyarakat atas keberadaan lokalisasi prostitusi liar tak jauh dari Lewoleba, Ibu kota Kabupaten Lembata. Semua itu merupakan dosa politik titipan yang mesti diungkap dan dibicarakan DPRD baru.

Dari perspektif perwakilan politik, muncul pertanyaan ada apa dengan sistem perwakilan politik kita sehingga masyarakat tidak lagi menyalurkan aspirasinya melalui sistem dan lebih memilih aksi jalanan? Benarkan wakil rakyat telah memainkan peran sesungguhnya?

Menurut analis politik, Boni Hargens, ada sejumlah masalah. Namun, paling kurang ada tiga yang bisa dicatat. Pertama, ada tendensi wakil rakyat memandang jabatannya sebagai sesuatu yang istimewa sehingga ia harus menjadi manusia istimewa, 'manusia setengah dewa' (istilah Iwan Fals). Konsekuensi dari cara pandang ini adalah antara wakil rakyat dan rakyat harus ada batas dan jarak.

Persis batas dan jarak inilah yang kemudian menjauhkan wakil rakyat dari berbagai kemelut yang dihadapi masyarakat sehingga fungsi perwakilan politik menjadi macet. Mereka lupa jabatan adalah pelayanan. Maka, wakil rakyat bukan manusia setengah dewa, tetapi pelayan yang harus berkorban untuk rakyat.

Kedua, para wakil rakyat sebenarnya bingung dengan tugas dan peran yang harus dijalankan. Si wakil rakyat tidak jelas mengerti apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan wakil rakyat. Kebingungan ini bisa dipicu berbagai sebab, yang paling umum adalah tidak adanya pemahaman tentang peran (role), bagaimana harus bertindak dalam situasi tertentu sehingga bisa tampil sebagai wakil rakyat yang benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi konstituen.

Ketiga, lemahnya ikatan emosional antara wakil dan yang terwakil. Perubahan sistem pemilihan, dari proporsional ke proporsional-terbuka, yang diatur UU No. 12 Tahun 2003 dimaksudkan untuk menjamin kedekatan emosional antara wakil dan yang terwakil dengan asumsi rakyat mengenal wakilnya.

Kenyataannya, kedekatan emosional tak terbangun karena yang maju ke gelanggang kontestasi pemilu adalah figur-figur yang memiliki uang dan jaringan sehingga rakyat mudah dimobilisasi untuk datang ke tempat pemungutan suara meski nuraninya mungkin tidak menginginkan si calon.

Di atas semua itu, ikatan emosional sebetulnya bisa dibangun ketika sudah menjabat sebagai wakil rakyat. Dengan adanya masa reses, bisa mengunjungi konstituen sehingga kedekatan emosional bisa dibangun. Tentu dengan asumsi, kunjungan itu tidak hanya seremonial, tetapi betul-betul substansial. Inilah masalah para wakil rakyat. Tidak banyak wakil rakyat yang bisa dekat secara emosional dengan rakyat sehingga tidak aneh jika rakyat sulit mempercayai wakilnya dan si wakil sulit bertindak untuk dan atas nama rakyat.

Butuh komitmen

Pada 15 Oktober 2009, Lembata tepat berusia sepuluh tahun. Usia yang sejatinya telah mengantar tanah lebanbatan maju dengan daerah-daerah otonom lainnya di Indonesia. Tapi apa yang terlihat? Lembata jauh tertinggal, terutama pembangunan infrastrukturnya. Ruas jalan menuju kantong-kantong produksi nyaris tak pernah diperhatikan.

Peneliti Ecosoc Right, Sri Palupi, bahkan mencatat sejumlah keanehan sejak menjadi daerah otonom. Pertama, Lembata mempunyai seorang bupati dengan tiga kantor bupati. Kantor bupati pertama berada di jantung kota dan berdiri sejak 1960-an. Kini menjadi pusat pemerintahan.

Kantor bupati kedua di Lusikawak yang dibangun sejak 2000 namun kini mubazir dan menjadi 'tempat rekreasi' ternak. Padahal, pembangunannya menelan Rp 7 miliar lebih. Kemudian, kantor bupati ketiga sedang dibangun di Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, dengan biaya tidak kurang dari Rp 7,6 miliar.

Kedua, banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan. Sebut saja rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dan lain-lain. Pemkab Lembata menghabiskan dana miliaran rupiah. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin.

Ketiga, banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor. Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di Lembata belum memiliki kantor sendiri dan masih menyewa rumah warga untuk kantor.

Keempat, daerah rawan bencana dijadikan area pertambangan. Hasil eksplorasi umum oleh beberapa kuasa pertambangan menunjukkan, secara geologi Lembata termasuk daerah yang memiliki potensi bahan galian vital, seperti emas dan tembaga. Artinya, kabupaten ini memiliki potensi investasi di sektor pertambangan. Meski potensi industri pertambangan dimiliki oleh Lembata, bukan berarti bahwa industri pertambangan layak dikembangkan di pulau ini. Kelima, Pemkab dan DPRD Lembata menghalalkan segala cara untuk mempercepat proses penambangan. Upaya meloloskan proyek pertambangan ini mereka tempuh dengan berbagai cara. Padahal, gelombang penolakan masyarakat sangat deras.

Perlu dicatat, sejak otonomi dan desentralisasi, dana APBN banyak yang mengalir ke daerah-daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan bagi hasil. Jika dipelototi, kata Khudori, hanya 35 persen belanja APBN yang merupakan belanja pemerintah pusat murni. Sisanya adalah belanja pemerintah daerah serta belanja pemerintah pusat di daerah melalui dana dekonsentrasi, tugas perbantuan serta subsidi.

Sayangnya, meskipun 65 persen APBN berputar di daerah, dana tersebut tidak linier dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 18 dari 33 propinsi mengalami peningkatan jumlah warga miskin, di 15 propinsi sisanya jumlah kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan presentase penduduk miskin rentang 2006û2007 hanya 0,5, bahkan mendekati nol (Koran Tempo, 26/8 2009).

Rakyat Lembata patut bertanya, ke mana DAU, DAK, dana bagi hasil, dekonsentrasi, tugas perbantuan, dan subsidi pusat yang digelontorkan untuk daerahnya? Lembata selama hampir 10 tahun otonomi masih dibelit berbagai ketertinggalan. Wajah kelam ini membutuhkan komitmen dan tanggung jawab moral DPRD baru bersama eksekutif guna merumuskan strategi pembangunan yang pro growth, pro jobs, dan pro poor. Jika komitmen dan tanggung jawab moral itu ada dalam sanubari anggota DPRD baru maka mimpi Lembata untuk maju terwujud. Akhirnya, selamat mengemban tugas titipan rakyat demi mengubah wajah lewotana ke arah yang lebih baik dan bermartabat.
Sumber: Pos Kupang, 31 Agustus 2009

1.000 Lilin untuk Langodai

Sejak polisi berhasil mengurai tirai kematian Yohakim Laka Loi Langodai (53), perhatian dan harapan masyarakat pencari keadilan dan kebenaran, terutama masyarakat Lembata, bangkit kembali. Apalagi salah seorang terdakwa adalah Erni Manuk, putri Bupati Lembata, Drs. Andreas Manuk.

Perhatian itu semakin kuat karena almarhum tampil sebagai simbol orang kecil yang seringkali mendapat perlakuan tidak adil. Bisa dikatakan Langodai telah menjadi martir untuk warga Lembata yang lagi haus akan keadilan.

Tak pelak, perayaan 100 hari meninggalnya Langodai, Jumat (28/8/2009) malam, ratusan warga simpatisan dari berbagai desa dan kampung di Leragere dan Ile Ape menyatakan solidaritasnya dengan turut hadir di rumah almarhum di Lamahora, Jalan Trans Lembata, Lewoleba.

Yohakim dibunuh, Selasa (19/5/2009). Sehari setelah dibunuh, jasadnya ditemukan di hutan bakau dekat Bandara Wunopito. Peringatan 100 hari itu ditandai dengan perayaan ekaristi (misa) berikut pembakaran seribu lilin untuk almarhum.

Terang lilin menyala memenuhi pinggir jalan Trans Lembata di depan rumahnya ke arah barat dan ke arah timur menandakan malam terangnya sang pembela kebenaran menghadap Sang Pencipta. Sebagai penghormatan, jalan lorong membelah ke utara di sebelah kuburnya diberi nama Jalan Yohakim Langodai.

Sekitar 700-an umat Katolik, biarawati dan kaum muslim larut dalam suasana hening dan duka mengenang masa lalu Yohakim. Renungan sederhana yang dibawakan Pater Vande Raring, SVD, mengingatkan kepada umat yang hadir betapa beratnya beban derita menimpa Yohakim di saat-saat kritis di depan para eksekutor bertindak sadis membunuhnya.

Yohakim dihabisi dalam skenario perencana Erni Manuk dan mitranya Bambang Trihantara. Sedangkan Muhamad Kapitan, Mathias Bala, dan adik kandung Yohakim, Lambertus Bedi Langodai, sebagai eksekutor. Jenazahnya ditemukan keesokan hari Rabu petang (20/5/2009) di sebelah timur Bandara Wunopito Lewoleba.

Kini kelima tersangka meringkuk di dalam tahanan Mapolres Lembata menunggu rampungnya berita acara pemeriksaan sebelum dilimpahkan ke meja persidangan Pengadilan Negeri Lewoleba.

Sebelum upacara lilin, diadakan misa dipimpin Pater Yos Maulana, CSSR. Di dalam pengantarnya, Pater Yos mengingatkan kepada umat supaya menyimak kematian Yohakim dengan pikiran dan langkah maju. Dia mati sebagai martir. Kemartiran itu karena memperjuangkan suatu kebenaran.

Dalam kotbahnya, Pater Yos menyatakan tanpa mendahului keputusan pengadilan dan mengedepankan azas praduga tak bersalah, tetapi dari berbagai isu yang kita dengar dari keterangan saksi maupun informasi media menyakitkan kita bahwa Yohakim meninggal dari tangan orang lain. Ia mati bukan kehendak Tuhan.

Yohakim, dalam kesehariannya bukan hanya sebagai pegawai pemerintahan yang mengemban jabatan Kepala Bidang Pengawas Laut dan Pantai di Dinas Kelautan dan Perikanan. Dalam kehidupan sosial masyarakat, ia juga mengembang misi pelayanan sebagai Ketua Lingkungan St. Petrus Paroki Lamahora Lamahora.

"Kita (umat) harus sepakat bahwa kematian Yohakim akibat tindakan kemartiran yang dilakukannya. Dia mati oleh tindakan sekelompok orang yang tidak berhati-nurani, tidak sesuai apa yang benar sebagai suatu kebenaran. Orang yang berjuang untuk suatu kebenaran mati sebagai martir. Kematiannya menjadi sumber kebenaran kita dan menaruh hati kepada orang-orang yang berbuat benar," kata Pater Yos. (eugenius moa)
Lilin-lilin ini dinyalakan di kubur Yohakim Laka Loi Langodai,pada peringatan 100 hari kematiannya, Jumat malam (28/8/2009).
Sumber: Pos Kupang, 30 Agustus 2009

De Rosari Calon Pimpinan DPRD Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 27, 2009 | 4:59 PM


Rapat pleno diperluas DPD II Partai Golkar Kabupaten Lembata, Selasa (25/8/2009) malam, secara aklamasi menyetujui caleg terpilih Yohanes de Rosari menjadi calon ketua DPRD Lembata periode 2009-2012. Sebanyak 25 caleg DPRD Lembata dijadwalkan dilantik di Gedung DPRD setempat, Selasa (1/9/2009).

Pada pemilu legislatif April 2009, Partai Golkar meraih suara terbanyak sekitar 8.000, disusul PDIP di peringkat kedua sekitar 5.000 suara dan Partai Demokrat di peringkat ketiga sekitar 3.000, dipastikan akan menempati posisi wakil ketua.

Menurut UU baru tentang Susunan, Kedudukan DPR/DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah disahkan DPR RI tanggal 3 Agustus 2009, partai pemenang pemilu legislatif otomatis menjadi pimpinan DPRD.

Ketua DPD II Partai Golkar Lembata, Yohanes de Rosari, yang ditemui Rabu (26/8/2009) siang, menjelaskan rapat pemilihannya berlangsung sekitar setengah jam diikuti 30-an peserta berasal dari pengurus harian, pengurus pleno dan pengurus kecamatan. Rapat secara aklamasi memilih dirinya menjadi calon pimpinan DPRD Lembata, dihadiri Koordinator Daerah (Korda) Lembata, Flores Timur dan Alor, Bonefasius Pukan.

"Pilihan ini merupakan kepercayaan partai. Saya siap diri dan mental memimpin DPRD Lembata. Dengan dukungan segenap lapisan masyarakat dan 24 anggota dewan, saya harapkan bisa membuat wajah Lembata lebih baik. Saya ajak pemerintah sebagai mitra kerja supaya saling menopang mencapai kemajuan bagi masyarakat," kata de Rosari.

De Rosari menyampaikan terima kasih kepada DPRD periode pertama dan periode kedua yang telah memberikan kontribusi meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan daerah. Dengan kemajuan yang dicapai itu, DPRD periode 2009-2014 akan berupaya sekuat kemampuan mengemban amanat rakyat.

Korda Partai Golkar, Bonefasius Pukan, menjelaskan pemilihan calon ketua DPRD Lembata berlangsung demokratis. Seluruh peserta rapat secara aklamasi menyetujui de Rosari menjadi calon ketua DPRD Lembata.

Pemilihan de Rosari merupakan penghargaan atas prestasi, dedikasi, pengabdian dan loyalitas yang sudah ditunjukkannya selama memimpin Partai Golkar. Dalam kepemimpinannya Partai Golkar sukses mengantar paket Drs.Andreas Duli Manuk, dan Drs. Andreas Nula Liliweri, menjadi calon terpilih Bupati Lembata periode 2006-2011.

"Dia ( de Rosari) sudah memperlihatkan prestasi dan pengabdian kepada partai. Dia pantas menerima jabatan ini. Kita harapkan dia bisa membangun kemitraan yang baik dan semua anggota dewan terpilih," harap Bone Pukan.

Caleg terpilih PDIP DPRD Lembata, Hyasintus Burin menyatakan untuk pimpinan sementara partai memperoleh suara terbanyak urutan pertama dan kedua mengajukan seorang calon pimpinan sementara. Partai Golkar dan PDIP berhak menempati kursi pimpinan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 355 UU baru yang disahkan pada 3 Agustus lalu. "Nomor UU baru ini belum dikeluarkan sekretaris negara," kata Sintus.

Pimpinan Dewan definitif yang diatur pasal 354 menyebutkan pimpinan tidak dipilih, tetapi diusulkan partai pemenang. Di Lembata berlaku ketentuan pasal 354 ayat 3 dan 4. "Jumlah kursi Golkar dan PDIP di DPRD Lembata sama, tetapi perolehan suara partai Golkar lebih banyak," kata Sintus. (ius)

Ket foto: Yohanes de Rosari, Ketua DPRD Lembata 2009-2014
Sumber: Pos Kupang, 31 Agustus 2009

Ande Manuk: Saya Siap Diperiksa!

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, August 26, 2009 | 12:06 PM

Disebut mengetahui motif pembunuhan Yohakim Laka Loi Langodai (53), Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, menegaskan bahwa pengetahuannya tentang motif pembunuhan hanya sebatas dugaan berdasarkan informasi-informasi yang berkembang. Tetapi, bila ada bukti meyakinkan dia mengetahui motifnya, dia siap dipanggil dan diperiksa polisi.

"Silahkan periksa. Periksa! Saya tidak kebal hukum. Semua orang sama kedudukannya di depan hukum, termasuk bupati," kata Bupati Manuk dalam jumpa pers dengan media cetak dan elektronik, Selasa (25/8/2009) siang, di ruang rapat Rumah Jabatan Bupati Lembata, Jalan Trans Lembata.

Jumpa pers itu dihadiri Wakil Bupati Lembata, Drs. Andreas Nula Liliweri, dipandu Sekda Lembata, Drs. Petrus Toda Atawolo, M.Si, didampingi Asisten I, II dan III Setda Lembata, Drs. Muhidin Isak, Drs. Bernadus Boli Hipir, dan Ir. Lukas Witak.

Dalam jumpa pers itu, Bupati Manuk menjelaskan tiga hal pokok, yakni klarifikasi atas penjelasannya pada rapat paripurna DPRD Lembata, Rabu (18/8/2009), tentang motif pembunuhan Yohakim, proyek rumput laut di Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2007 dan aksi massa Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras), Senin (24/8/2009) lalu.

Bupati Manuk menegaskan, bukan hanya diperiksa polisi, diberhentikan dari jabatan pun dia bersedia apabila penyidik menemukan alasan dan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Tetapi dia mengingatkan, memeriksa bupati terkait tindak pidana, penyidik harus memiliki bukti permulaan yang cukup mengenai keterlibatan dalam tindak pidana dan mengantongi izin tertulis Presiden RI.

"Periksa pejabat negara ada prosedurnya. Penyidik mesti punya bukti awal yang cukup, kecuali kalau tertangkap tangan. Misalnya saya tertangkap tangan membunuh, tidak perlu minta izin presiden lagi. Langsung tangkap dan proses. Periksa bupati yang terlibat tindakan pidana ada protokolernya. Hak-hak protokoler itu juga berlaku terhadap istri dan anak-anak pejabat serta segala sesuatu yang ada di dalam rumah jabatan," tandas Bupati Manuk.

Bupati Manuk menegaskan, kapan saja dia siap dipanggil dan diperiksa penyidik, tetapi tidak serta merta. "Ada permintaan diperiksa, saya siap setiap saat. Mau periksa kapan pun saya siap. Kalau terbukti saya bersalah, saya siap diberhentikan. Namun diminta mundur karena desakan sekelompok orang, tidak akan saya lakukan. Apakah karena krisis kepercayaan, ada mekanismenya. Terlibat korupsi, meninggal dunia atau sebab lain," tandasnya.

Permintaan agar Bupati Manuk mundur dari jabatan dilontarkan Aldiras dalam aksi demonya, Senin (24/8/2009). Aldiras dalam pernyataan sikapnya menegaskan, tak ada kemajuan selama Bupati Manuk memimpin Lembata.

Menanggapi pernyataan itu, Bupati Manuk mengatakan, apa yang dikemukakan Aldiras merupakan pernyataan usang yang sering diungkapkan dalam berbagai demonstrasi. Masyarakat berhak menilainya, tetapi juga ada elemen lain, DPRD dan pemerintah pusat ikut menentukan maju mundurnya daerah otonom.

Demikian juga halnya, kata Bupati Manuk, kalau dikatakan dia gagal mengurus daerah dan keluarganya. Bagi Bupati Manuk, kegagalan itu merupakan urusan internal, tak perlu dicampuradukkan. "Masalah pribadi keluarga saya, urusan masing-masing. Kenapa mesti dipersoalkan?" tandasnya.

Tentang motif pembunuhan Yohakim terkait proyek, Bupati Manuk mengatakan, penjelasannya dalam paripurna DPRD, Rabu pekan lalu, jangan disalahtafsir bahwa dia mengetahui motif pembunuhan. Penjelasan itu disampaikan menanggapi pertanyaan dua anggota DPRD, Karolus Koto Langodai, dan Aloysius Urbanus Uri Murin.

Kapolres Lembata, AKBP Marthin Johannis, S.H, juga pernah menegaskan motif sementara yang ditemukan adalah masalah proyek. Kemungkinan ada motif lain, tergantung pengembangan penyidikan. "Pengetahuan saya tentang motif proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan masih sebatas dugaan," kata Bupati Manuk.

Bupati Manuk juga menegaskan, pemerintah tidak pernah mengintervensi penyidik. Pemerintah percaya kepada profesionalitas penyidik. Campur tangan justru mengganggu suasana batin aparat penyidik. "Jangan ada pikiran negatif, kita akan masuk lewat pintu belakang, pintu samping. Justru harus diciptakan suasana yang kondusif untuk pembangunan daerah," tegasnya. (ius)
Ket foto: Bupati Lembata Drs Andreas Duli Manuk. Pihaknya menyatakan siap diperiksa terkait masalah proyek di Dinas Kelutan dan Perikanan Lembata yang diduga menewaskan Yohakim Laka Loi Langoday. Foto: dok. Ansel Deri
Sumber: Pos Kupang, 26 Agustus 2009

Jangan Asal Tambang

Oleh Fidel Hardjo
Anggota Forum Diskusi Allesaja (Alumni Ledalero dan Simpatisannya Seantero Jagat)

TULISAN bersambung Abraham Runga Mali yang dipublikasikan di Pos Kupang (10-11/8/2009) sangat menarik untuk didiskusi lebih dalam. Kronologi historis pertambangan Flores diendusnya mulai dari negeri Belanda sampai di Las Vegas dan akhirnya sejarah itu jatuh di bumi Flores, dengan konklusi heroik: Jangan Asal Tolak. Pesan ini ibarat bom bunuh diri siap ledak. Apa kita mesti tutup mata dengan pesan Abraham Runga Mali yang terkesan moral hazard ini?

Dari dua tulisan Mali tak ubahnya mem-brainwashed orang Flores dan Lembata untuk melenggangkan aksi tambang. Setidaknya, tulisan Mali terkanjang kesan miris, orang Flores terlalu bodoh untuk menolak bisnis tambang. Sudah miskin tambah bodoh lagi. It is too stupid to refuse! Benarkah aksi penolakan tambang yang diprakarsai oleh gereja, LSM dan lembaga adat dinilai terlalu bodoh?

Pertama, Mali menulis bahwa eksplorasi pertambangan di Flores harus didasarkan pada studi ilmiah. Sangat setuju bung. Cuma, pernah Anda berpikir, secanggih apa pun kajian ilmiah tetap saja membawa 1001 risiko jika tambang terus digempar? Biasanya, ketika risiko tinggi tambang mulai membalut warga, maka studi ilmiah, investor, dan para pejabat adalah orang pertama cuci tangan.

Investor hanya meninggalkan satu wasiat: "Good bye Flores and see you no again". Inilah bencana tragis yang bakal diterima dan terwariskan kepada semua generasi Flores. Jangankan prediksi kondisi Flores seabad dari sekarang, tapi cukuplah setahun kemudian seperti iklan kecantikan 'before and after' tambang Flores akan bakal berubah lebih kejam dari neraka seperti yang dikisahkan dalam kitab suci. Inilah neraka yang siap dipaksa-pindahkan ke Flores.

Kalau Mali meneropong tambang Flores seabad kemudian, maka sebagai teropong sandingannya, bagaimana nasib Pulau Bunga seabad dari sekarang jika peluit ketel tambang ditiup dari sekarang? Belum tambang saja, air sudah susah, alam sudah cacat, apalagi setelah tambang. Terus, apa terlalu bodoh orang menolak tambang? Kera di hutan saja tahu selamatkan diri jika habitatnya terancam, apalagi manusia yang dikaruniai akal budi pasti lebih mulia aksinya.

Menolak tambang sedini mungkin adalah wise choice daripada dikubur pagi-pagi oleh investor tambang, yang sama sekali tidak mengubah keadaan orang Flores. Mestinya kita bersyukur masih ada orang yang menatap Flores ini bukan hanya seabad kemudian, tapi melampaui waktu dan zaman. Bukan sebaliknya, menuduh perjuangan kelompok ini sebagai pemberontak, pembandel dan provokator, apalagi diklaim sebagai banci alias takut bersaing dengan lembaga modern dan canggih.

Kedua, Mali dengan gebrak berlaga ide bahwa aksi-aksi penolakan pertambangan di Flores selama ini hanya didasarkan pada seruan-seruan profetis para pastor dan aktivis LSM yang menunjukkan kesan bahwa lembaga gereja dan adat takut bersaing dan takut kehilangan pamor menghadapi lembaga bisnis modern dan multinasional. Apakah pemaparan ide ini adalah hasil ramuan survai valid atau sekadar mengobati tangan yang gatal untuk menulis? Seribu sayang jika hal ini yang terjadi. Tetapi jika argumentasi ini lahir dari sebuah survai mendalam maka two thumbs up for you segera diacungkan.

Gagasan abortif ini mungkin perlu ditimbang serius sebelum terlampau kecolongan. Menurut kami, gereja di Flores dan NTT pada umumnya tidak pernah akan berusaha untuk menjadi 'pesaing' pemerintah atau lembaga pembangunan. Gereja adalah 'mitra' pemerintah, 'mitra' pembangunan. Berbicara tentang mitra, kita tidak hanya mengacu pada seseorang atau kelompok yang hanya bisa menjawab 'yes!' 'OK!' Itulah hakikat dari mitra sejati.

Seorang mitra sejati harus mampu memberikan kritik, bahkan yang keras dan pedas sekalipun terhadap mitra kerjanya. Gereja melakonkan perannya sebagai mitra kerja pemerintah dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang perlu dan bahkan mengeritik keras terhadap kebijakan pembangunan bila kebijakan tersebut berjalan timpang atau merugikan kaum kecil (orang Flores).

Dengan demikian pemerintah dibantu untuk menimbang rakyatnya lebih dulu daripada menimbang tambang. Karena "the poor should gain the most" dari hasil pembangunan itu. Selanjutnya, apakah gereja takut kehilangan pamornya di tengah masyarakat Flores dan NTT karena kehadiran lembaga bisnis modern? Ini pertanyaan yang sangat aneh karena bertolak dari adagium yang aneh pula.

Gereja tak perlu berusaha dan berkoar-koar meningkatkan pamornya agar bisa merebut simpati rakyat kecil di Flores dan NTT, karena gereja pada dasarnya berdiri dan bergerak di tengah kaum kecil. Gereja adalah bagian dari kaum kecil dan bersuara demi mereka. Gereja tak bersaing dengan pemerintah atau agen pembangunan mana pun. Sebaliknya gereja berjalan bersama pemerintah, memberikan pertimbangan kritis kepada pemerintah demi nasib rakyat kecil.

Ketiga, Mali mengajukan sebuah pertanyaan, 'Apakah semua bentuk pertambangan di Flores/NTT harus ditolak?' Anda sendiri telah menjawabnya dalam tulisan Anda. Kami hanya ingin menegaskan lagi bahwa semua bentuk pertambangan di Flores dan NTT harus ditolak. Tentu saja usaha penolakan ini tidak bersifat kekal. Ada batas waktunya ketika proses pertambangan di Flores dan NTT umumnya semuanya jelas. Perjelaskan kerugian dan keuntungannya.

Meskipun isu kekayaan mineral telah didengungkan sejak masa VOC, namun rakyat kita baru mengenal hal ini secara terbuka dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Tentu saja kita bangga bahwa perut bumi NTT yang tampak kering kerontang ini ternyata mengandung kekayaan mineral yang berlimpah. Dan sebelum rakyat kita sungguh menyadari berapa banyak kandungan mineral yang tersembunyi di Flores, usaha eksplorasi sudah dicanangkan. Tampak sangat jelas bahwa proses eksplorasi tambang ini terjadi terlalu 'serta-merta'. Bukan saja rakyat belum siap, tetapi proses itu sendiri belumlah siap dan matang.

Anda memberikan anjuran kepada para penolak tambang agar "jangan asal tolak!" Kami yakin kelompok penolak tambang juga bisa menuntut balik, "jangan asal tambang!" Anda menulis bahwa proses penolakan harus didasarkan pada studi yang menyeluruh. Pertanyaan kami kepada pemerintah dan pelaku tambang, "apakah pemerintah juga telah melakukan studi yang menyeluruh sebelum memulai proses pertambangan ini?" Apakah pemerintah memiliki jaminan ilmiah bahwa proses pertambangan di Flores, pulau yang rawan bencana alam ini, tidak membawa dampak geologis yang berbahaya? Jika pemerintah tidak menyajikan jaminan ilmiah tentang akibat-akibat yang mungkin muncul, maka kami juga berseru kepada pemerintah, "jangan asal tambang"!

Keempat, kami kagum Anda mengangkat dua contoh pertambangan di Amerika dan di Australia yang menurut Anda sangat "ramah lingkungan." Tapi sebaiknya kita mengangkat contoh dari Indonesia, dan bukan berdiri di atas dasar hukum dan politik negara lain. Amerika dan Australia memiliki hukum yang menjamin pelestarian lingkungannya. Hukum yang berlaku di Amerika dan Australia tidak pantas dibanding dengan hukum di tanah air yang banyak 'kongkalikong'-nya.

Mengapa Anda tidak mengangkat Freeport sebagai contohnya? Mengapa bukan pertambangan di Kalimantan yang dijadikan acuan model pertambangan? Kami yakin kelestarian lingkungan di wilayah pertambangan di Indonesia tidak dijamin.

Terakhir Anda mengklaim bahwa usaha pertambangan merupakan proses "pemiskinan kaum miskin." Kita harus buka mata terlebih dahulu sebelum proses pertambangan di Flores diizinkan. Dari Manggarai dan Lembata kita mendengar bahwa banyak petani menjual tanah mereka yang dipercayai memiliki kandungan mineral itu. Rakyat kita yang miskin dan tak terdidik tergiur dengan uang "sesaat ini." Sebut jutaan rupiah rakyat kecil akan tergoda memilikinya.

Namun, setelah mendapat uang itu, mereka dengan segera kehilangan abadi hak atas tanah mereka. Dan, keturunan masa depan juga akan gigit jari seumur hidup. Di manakah generasi masa depan akan hidup dan berpijak karena telah kehilangan tanah nenek moyang mereka? Bukankah ini suatu proses pemiskinan terhadap petani miskin? Sayangnya, "tambang emas" telah dijadikan sebagai mantra sakral, seolah-olah itulah mesias yang membebaskan kemiskinan.

Sejatinya, rakyat pemilik tanah itu perlu dilibatkan penuh dalam proses pertambangan itu? Mengapa mereka hanya sekadar dibayar harga ganti rugi, dan selebihnya sebagai penonton pasif? Mengapa mereka tidak dijadikan salah satu "pemegang saham" perusahaan pertambangan? Hanya dengan cara menjadikan mereka sebagai bagian pemegang saham, maka proses pertambangan di Flores akan jauh lebih manusiawi dan bermartabat.

Akhirnya, jika Anda bertanya, 'apakah semua bentuk pertambangan di Flores dan NTT umumnya harus ditolak?' kami menjawab tegas, YA! Until everything is made clear! Kami juga ingatkan para bupati dan pelaku tambang supaya 'jangan asal tambang'. Kalau terlalu bandel, maka pilih saja: mau tambang, atau tumbang para bupati yang ngotot izinkan pertambangan!

Ket foto: Lokasi tambang PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Mesel, Kecataman Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara.
Foto: dok. MAJALAH TAMBANG.
Sumber: Pos Kupang, 26 Agustus 2009

Mari Kita ke Flores dan Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, August 25, 2009 | 3:49 PM

Oleh Steph Tupeng Witin
Anggota JPIC SVD Ende

Tulisan Abraham Runga Mali di Pos Kupang, Selasa 11 Agustus 2009 bertajuk "Jangan Asal Tolak" terasa 'menggelikan'. Saya teringat, beberapa tahun silam saat rakyat Lembata bersama aktivis LSM dan gereja lokal Dekenat Lembata menolak rencana pertambangan, seorang rohaniwan Katolik menulis artikel bertajuk "Jangan Berpikir Bodoh."

Hemat saya, kedua tulisan ini menggambarkan superioritas intelektual, boleh jadi setumpuk pengalaman dan pengetahuan yang masih harus didiskusikan dan disinkronkan dengan realitas kesederhanaan berpikir rakyat kita. Belum lagi, jika pengalaman intelektual dan lapangan yang kita dapatkan di sebuah tempat yang jauh lebih maju, misalnya di dalam diktat kuliah dan buku-buku pesanan perusahaan tambang, tidak mesti begitu gampang dilekatkan pada kasus tambang di Flores-Lembata.

Saya mengerti, Abraham Lunga Mali sebagai wartawan senior Bisnis Indonesia tentu punya banyak pengalaman terkait pertambangan di berbagai belahan dunia. Sebagai jurnalis senior, tentu sudah banyak kali diundang oleh perusahaan-perusahaan tambang dunia untuk menyaksikan pertambangan yang katanya 'ramah lingkungan' itu.

Tulisan Mali terasa jauh menghantar rakyat NTT khususnya Flores-Lembata untuk belajar pertambangan dari Australia. Katanya, di sana ada pertambangan yang ramah lingkungan. Bahkan menurut Mali, kita tidak perlu jadikan kasus Buyat dan Lapindo sebagai rujukan untuk menilai pertambangan. Mengapa tidak? Mengapa mesti ada monopoli dalam upaya mengakses informasi? Tentang Buyat, anggota DPRD Lembata, aparat dinas terkait dan beberapa kepala desa yang 'senang dibayar' pernah studi banding tapi tidak pernah sampai di lokasi. Lalu mereka kembali membohongi rakyat. Ketika tim investigasi JPIC OFM membuka kedok ketidaksampaian di lokasi, beberapa anggota DPRD akhirnya 'buka kartu' kebohongan.

Barangkali Saudara Mali lebih tertarik menghantar rakyat Flores-Lembata ke Australia karena memang 'sarat jaminan' tetapi rakyat di Manggarai sudah merasakan derita tak tertahankan akibat eksploitasi alam atas nama pertambangan itu. Mali mengangkat contoh laporan perihal pameran bertajuk 'Australian Mining Exhibition and Conference-Ozmine' 2008 yang menghadirkan sekitar 50 perusahaan pertambangan yang memperlihatkan teknologi dan penerapan aktivitas pertambangan yang ramah lingkungan.

Apakah pernah ada perusahaan tambang yang akan dengan jujur memamerkan kehancuran alam lingkungan di sebuah konferensi mewah seperti itu? Tentu menggelikan ketika sebuah perusahaan tambang yang telah sekian lama mengeruk keuntungan dan meninggalkan kehancuran lingkungan akan menayangkan realitas hidup rakyat pinggir yang tergusur dari area pertambangan dan yang kehilangan lahan pertanian produktif.

Mantan Direktur Walhi, Chalid 'Bruder' Mohamad mengisahkan bagaimana para aktivis lingkungan hidup yang memrotes kehancuran alam akibat pertambangan dihalang-halangi, bahkan dihambat untuk bersuara di sebuah konferensi internasional tentang pertambangan. Mana yang benar? Laporan jurnalis yang menghadirkan kemewahan sebuah pameran dan konferensi internasional, yang tentu dengan upah dan jaminan yang 'plus', ataukah berkeringat, berdarah dan berjuang bersama rakyat dan aktivis lingkungan yang tidak pernah berhenti diteror kekerasan dan uang? Saya yakin, banyak jurnalis juga sering menjadi tumbal penipuan dan pembohongan oleh perusahaan tambang yang memang pintar menyusupkan pengaruhnya.

Menurut saya, tulisan Mali menggambarkan keterasingannya dari denyut nadi perjuangan rakyat Flores-Lembata untuk menolak tambang. Tajuk 'Jangan Asal Tolak' seakan menggambarkan bahwa rakyat Flores-Lembata terlalu bodoh untuk menolak tambang yang oleh Mali disebut sebagai 'ramah lingkungan' dengan contoh nun jauh di Australia. Rakyat Lembata dan Flores menolak tambang bukan sebatas karena belum siap tetapi demi hidup dan masa depan. Tanah adalah ibu yang mengandung dan melahirkan. Tanah adalah hidup.

Mayoritas wilayah tambang adalah tanah produktif yang di atasnya hidup dan masa depan diletakkan. Tidak begitu gampang menyuruh rakyat pindah dari ulayat hanya untuk sebuah kepentingan perusahaan tambang yang berdaya rusak permanen.

Argumen Mali bahwa ada pertambangan yang ramah lingkungan, khususnya di Australia terasa 'menggelikan' ketika itu dijadikan parameter untuk mengeksploitasi tanah Flores-Lembata. Australia dan Flores-Lembata tidak bisa disamaratakan karena amat berbeda situasi, kondisi dan taraf kemajuannya. Belum lagi, opini itu tidak menyebutkan secara spesifik fakta dan data di lapangan tentang bagaimana yang dinamakan 'tambang ramah lingkungan' itu.

Tulisan yang lahir dari sebuah ruang pameran mewah dan konferensi tambang bertaraf internasional sekali pun rasanya tidak memiliki energi yang kurang dari cukup untuk mengubah komitmen rakyat Flores-Lembata yang tolak tambang. Jelas bahwa rakyat menolak tambang. Kenapa selalu dipaksakan?

Gerakan penolakan tambang dari rakyat Flores-Lembata, aktivis LSM dan gereja lokal bukan, sekali lagi bukan, sebuah aksi pencarian popularitas. Rakyat Flores-Lembata bersama gereja lokal dan kalangan LSM tidak pernah berjuang agar tidak dicap kalah pamor atau kalah bersaing dengan perusahaan tambang dan bisnis gurita internasional yang berselimutkan penjajahan ekonomi dan kekuasaan kapital yang rakus dan serakah. Rakyat Flores-Lembata sudah berabad-abad hidup sederhana, apa adanya dengan kondisi alam yang barangkali 'miskin' dalam ukuran segelintir orang NTT yang kebetulan berkesempatan makan hamburger dan minum hot chocholate di mall, kafe dan restoran mewah, entah di Jakarta maupun di Australia.

Jarang sekali ada orang NTT yang peduli dengan perjuangan rakyat Flores-Lembata melawan sergapan pengusaha tambang yang bersekutu dengan pemerintah daerah dan DPRD. Gereja hadir dan berjuang sebagai bagian dari keterlibatan untuk penyelamatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Gereja tidak pernah kalah bersaing.

Dalam kasus tambang di Flores-Lembata, justru perusahaan-perusahaan tambang kalah bersaing dengan rakyat yang teguh komitmen berjuang mempertahankan kelestarian hidupnya bersama gereja dan kalangan LSM. Para pengusaha tambang justru tersadar bahwa uang, teror dan kebohongan tidak akan pernah meluluhkan komitmen penolakan.

Maka, saya mengajak kita semua untuk terlibat di tengah pergumulan perjuangan rakyat Flores-Lembata. Secara geografis, tanah Flores-Lembata masuk dalam lempeng jalur gempa bumi. Amat berbahaya untuk sebuah proses pertambangan. Mari kita ke Flores-Lembata. Hirup keringat dan darah perjuangan mereka. Agar kata-kata kita, pena jurnalistik berdaya, berenergi rakyat, bukan sebatas energi perusahaan tambang.
Sumber: Pos Kupang, 25 Agustus 2009

Kasus Yohakim Langodai: Jaksa-Hakim Jangan Main-main

Berkas berita acara pemeriksaan (BAP) pembunuhan Yohakim Laka Loi Langodai (53) belum sampai di meja pengadilan. Tetapi tuntutan agar pengadilan profesional, bersih dan bebas sudah disampaikan simpatisan Yohakim dalam aksi demo, Senin (24/8/2009), di Lewoleba.

Aksi demo ini digalang Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras). Dalam aksi demonya Aldiras mengingatkan jangan sampai kejadian di Maumere dan Larantuka beberapa tahun silam (kebakaran kantor pengadilan--Red) terjadi juga di Lewoleba.

Aksi damai yang diikuti sekitar 500-an simpatisan, anggota keluarga korban serta dua tokoh tua otonomi Lembata, Petrus Gute Betekeneng dan Muhamad Ali Raibelen, anggota JPIC Lembata, Pater Vande Raring, SVD, berjalan tertib dikawal dua truk polisi. Massa mengawalinya dengan seremoni adat dan doa di kuburan Yohakim di samping rumahnya di Lamahora, Jalan Trans Lembata.

Yohakim, Kepala Bidang Pengawasan Laut dan Pantai Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, dihabisi eksekutor Lambertus Bedi Langodai (adik kandung korban), Mathias Bala, dan Muhamad Kapitan, di sebelah timur Bandara Wunopito, Lewoleba, Selasa (19/5/2009).

Jenazahnya ditemukan, Rabu petang (20/5/2009). Perencana pembunuhan adalah putri Bupati Lembata, Erni Manuk, dan mitranya Bambang Triantara. Semua tersangka ini telah mendekam di kamar tahanan Polres Lembata sejak tiga pekan silam.

Sasaran aksi damai memberikan apresiasi kepada kinerja Polri yang berhasil mengungkap pembunuhan Yohakim dan mengingatkan jaksa dan majelis hakim yang akan membawa kasus di Pengadilan Negeri Lembata. Polisi dinilai pantas mendapat dukungan moril atas kerja kerasnya mengungkap kasus ini.

Meski aksi demo berjalan tertib, suasana tampak 'panas'. Orasi-orasi yang dibawakan para orator, penanggung jawab aksi Piter Bala Wukak, S.H, koordinator lapangan, Yohanes Brino Tolok, Paulus Makarius Dolu, dan Alex Murin, 'membakar' semangat massa supaya kelak mengikuti proses hukum kasus ini.

Brino Tolok mengingatkan bahwa aksi massa ini sebagai ungkapan kemarahan rakyat dan peringatan kepada jaksa supaya tidak main-main dalam penuntasan pembunuhan berencana Yohakim dan kasus korupsi yang ditangani Kejari Lewoleba.

"Kasus korupsi dibawa jaksa sampai ke pengadilan, tetapi pelakunya bebas. Jangan pernah main-main dengan pembunuhan berencana Yohakim Langodai. Kami tidak ingin rakyat marah seperti kejadian di Kabupaten Sikka dan di Larantuka. Di Lewoleba sudah cukup pasar dibakar," kata Brino.

Brino menambahkan, tak ada prestasi yang bisa dibanggakan selama 10 tahun otonomi Lembata. Justru di puncak 10 tahun, darah anak Lembata memperjuangkan kebenaran dibunuh konspirasi kepentingan.

"Buah 10 tahun kita jadi kabupaten pembunuhan berencana. Rakyat di kampung-kampung mengeluh kesulitan hidup. Proyek-proyek mubazir, pejabat adu domba dan korupsi," tandas Brino.
Piter Bala Wukak mempertanyakan apakah keadilan hanya menjadi milik orang-orang berduit? Saat ini rakyat Lembata menangis karena kabupaten yang didirikan dengan darah dan air mata memakan korban darah anaknya. Piter mengingatkan agar jaksa dan majelis hakim memiliki komitmen yang sama seperti yang ditunjukkan polisi. Ia mewanti-wanti jaksa tidak menjadi kaki tangan orang tertentu mempetieskan kasus Yohakim.

"Jangan sampai rakyat marah, dan kejadian di Sikka dan Larantuka terulang di Lewoleba. Kami tak menginginkan kasus ini terjadi di sini (Lembata). Jangan coreng keadilan dibeli dengan uang. Ketika rakyat sudah marah, tak akan bisa dibayar dengan uang," tandas Piter.

Motif pembunuhan berencana Yohakim, kata Piter, kemungkinan terkait sikap keras Yohakim yang tahu kasus dugaan korupsi proyek rumput laut kepada kelompok nelayan dadakan dan bantuan kapal ikan bekas kepada nelayan di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Kasus ini sedang diusahakan ditutupi oknum tertentu.

Menurut Piter, hasil yang diperoleh selama 10 tahun otonomi Lembata adalah sepak terjang anak bupati yang mengatur-atur proyek, mengatur kepala dinas sampai membunuh Yohakim.

Ini mengindikasikan para pejabat tidak bisa mengendalikan nafsu anak dan istrinya. Pembunuhan ini merupakan simbol kematian orang-orang kecil menghendaki kebenaran dan keadilan.

Dua tokoh otonomi Lembata, Gute Betekeng dan Ali Raybelen, hadir dalam aksi demo karena mereka prihatin menyaksikan 'kerusakan' yang terjadi di Lembata.

Paulus Dolu mengatakan, aksi simpatisan Yohakim bukan pawai kegembiraan. Pawai ini dimulai dari kuburan Yohakim, mengancam tidur lelap segelintir pejabat. Ia mengajak simpatisan Yohakim hadir pada sidang kasus pembunuhan Yohakim di Lusikawak (Kantor PN Lembata). "Kita semua akan lihat sidang nanti seperti apa," tandas Paulus.

Paulus membacakan pernyataan sikap Aldiras, yang intinya menyatakan bahwa pembunuhan yang diduga melibatkan putri Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, merupakan klimaks dari banyaknya beban derita yang dipikul tanah Lembata akibat penyelewenangan kekuasaan. (ius)

Pernyataan Sikap Aldiras:
Pertama, Mengutuk pelaku pembunuhan Yohakim Langodai karena tindakan ini bertentangan dengan prinsip dasar hak azasi manusia.

Kedua, Mendukung Polres Lembata mengungkap kasus ini dan menindak tegas siapa pun pelakunya tanpa pandang bulu.

Ketiga, Mendesak Kejari Lembata mendukung kerja keras Polres Lembata dan masyarakat.

Keempat, Kejari dan Polres Lembata segera mengusut tuntas kasus korupsi di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata yang diduga menjadi motif pembunuhan Yohakim.

Kelima, Menghentikan teror dan kesewenang-wenangan terhadap rakyat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan demi terciptanya rasa aman di Lembata.

Ket foto: Massa Aldiras, simpatisan kasus pembunuhan Yohakim Langodai (53), mengusung spanduk dalam aksi damai di halaman Kantor Bupati Lembata, Senin (24/8/2009) (1). Pastor Marselinus Vande Raring, SVD. Foto: Pos Kupang/Eugenius Moa dan dok. Ansel Deri
Sumber: Pos Kupang, 25 Agustus 2009

Sr. Franselin, CIJ: Biarawati Juga Bisa Sekolah Tinggi

Ternyata suster juga bisa sekolah sampai sarjana (S1), bahkan bila perlu sekolah sampai S2 dan S3 demi pembangunan sumber daya manusia (SDM) di lingkungan kerjanya. Jadi, para remaja putri yakinlah, menjadi biarawati tidak terkungkung di dalam biara.

Di samping doa-doa dan aturan biara, biarawati juga bisa mengembangkan dirinya menjadi lebih berarti bagi masyarakat yang dilayani. Biarawati juga bisa lulus dengan predikat cumlaude dan menjadi yang terbaik dalam ketaatannya sebagai biarawati.

Itulah juga yang dialami Sr. Franselin, CIJ, yang baru saja selesaikan pendidikan S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (IPPAK) Sanata Dharma Yogyakarta. Mengangkat tema perempuan dalam skripsi berjudul Keprihatinan Rasuli dari Pendiri Kongregasi CIJ Terhadap Harkat dan Martabat Kaum Perempuan di Ende Flores.

Mengapa perempuan? Apa padangan Suster Franselin, tentang hidup membiara dan apa harapannya tentang panggilan bagi para remaja putri? Berikut ini wawancara Pos Kupang dengan Suster Franselin, CIJ yang ditemui di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Bagaimana ceritanya sampai suster lulus dengan predikat cumlaude?
Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Biasa saja seperti teman-teman lain, bahkan ada yang jauh lebih tinggi prestasi akademiknya dibanding saya. Bedanya, saya memang kuliah lebih cepat. Tepat empat tahun sejak tahun 2005 saya selesaikan kuliah S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik yang disingkat IPPAK. Tidak tinggi sekali, sederhana, Indeks prestasi komulatif kuliah 8 semester 3,28 dengan nilai A untuk skripsi. Mungkin karena tepat waktu, dengan predikat komulatif di atas 7 dan skripsi 8 yang membuat saya dapat predikat cumlaude.

Bisa jelaskan tentang skripsi: Keprihatinan Rasuli dari Pendiri Kongregasi CIJ Terhadap Harkat dan Martabat Kaum Perempuan di Ende Flores.
Keprihatinan rasuli sama dengan keprihatinan kerasulan, fokus saya pada karya pelayanan yang dikhususkan kepada kaum perempuan untuk mengangkat martabat dan harkat kaum perempuan. Ini ada kaitannya dengan sejarah awal berdirinya Kongregasi CIJ yang prihatin terhadap nasib kaum perempuan sekitar tahun 1930-an. Saya berupaya menjelaskan secara ilmiah situasi dulu dan sekarang soal martabat perempuan di Ende Flores.

Belum banyak orang tahu bahwa biarawati dapat membuat kajian ilmiah suatu masalah di seputar karya pelayanannya. Pada umumnya orang tahu suster-suster itu kerjanya doa dan kerja sederhana soal pelayanan saja. Orang jadi malas masuk biara karena rutinitas itu. Bagaimana komentar Suster?
Sejak dulu, salah satu karya pelayanan kami adalah pendidikan. Mungkin dulu sederhana saja cukup tamat SLA dan sejenisnya. Tetapi, biara juga ikut perkembangan jaman. Pendidikan tinggi penting untuk pelayanan pendidikan masyarakat. Doa-doa itu keharusan bagi semua orang beriman. Biarawati mesti taat pada doa dan aturan biara. Tetapi biarawati juga bisa bebas mencari ilmu. Jadi, para remaja putri, mari masuk biara, Anda akan mengalami kebebasan penuh untuk mengembangkan diri melalui biara.

Apa yang suster pelajari dan tulis dalam skripsi?
Antara lain saya cermati tulisan Pater Lame Uran, bahwa pada zaman itu adat-istiadat dan perbudakan masih sangat kuat. Kekerasan feodalisme yang ditandai dengan pembunuhan, pemerkosaan, khususnya kaum perempuan, nampak jelas dalam praktek kawin paksa. Sikap ini merupakan pelanggaran hak asasi yang merendahkan martabat manusia. Orang-orang muda menjadi fokus kekerasan terhadap aturan adat. Berdasarkan norma adat setempat, seorang gadis seharusnya dipinang oleh pihak laki-laki, tetapi aturan tersebut tidak berlaku karena hadirnya kaum penjajah: mereka hanya dijadikan sebagai alat pemuas hawa nafsu dan komoditi perdagangan yang dapat menghasilkan uang. Perempuan juga dijadikan harta serta alat untuk meningkatkan status sosial kaum feodalis.

Untuk kepentingan siapa sebenarnya sampai perempuan mendapat perlakuan menyedihkan seperti yang suster tulis dalam skripsi? Apa akibatnya bagi perempuan?
Perempuan sungguh diperlakukan sebagai barang yang bisa diperdagangkan untuk kepentingan feodal dan golongan atas. Kondisi yang memprihatinkan ini telah menimbulkan berbagai penyakit fisik dan psikis. Jenis penyakit ini tidak mudah ditangani karena kesulitan tenaga medis, obat-obatan, konselor dan komunikasi antar daerah yang sulit dijangkau. Situasi ini sungguh membuat masyarakat hidup dalam kemelaratan. Berdasarkan kondisi sosial seperti yang disebutkan di atas, Mgr. Henricus Leven, SVD, merasa terpanggil untuk mendirikan Kongregasi CIJ, dengan tujuan agar para anggotanya mampu mewartakan "Kabar Gembira" tentang Yesus Kristus melalui pengajaran kepada orang yang belum mengenal agama, mencari domba yang hilang dan mengangkat martabat kaum papa miskin serta para perempuan penderita.

Suster membuat kajian ilmiah tentang visi misi lahirnya kongregasi CIJ, suster menulis tentang karya pelayanan kongregasi CIJ yang bertolak dari keprihatinan?
Ya! Bertolak dari keprihatinan dasar tersebut tarekat CIJ berdiri. Pertama, agar para anggotanya meneladani Tuhan Yesus dan bunda-Nya yang suci, menjalankan kehidupan orang miskin, tetap hidup perawan dan mentaati aturan hidup Kongregasi serta berusaha untuk mencapai kesempurnaan dan berkenan kepada Allah.

Kedua, mereka harus membantu karya penyebaran agama (iman) yang benar. Misi ini diwujudkan dalam karya pendidikan anak-anak perempuan di sekolah, asrama, serikat Gerejani St. Maria, sekolah rumah tangga dan pendidikan anak-anak kecil (TKK). Untuk menghidupkan dan melaksanakan tujuan berdirinya Kongregasi yang tersurat dalam Konstitusi Awal, Mgr. Henricus Leven, SVD, secara khusus dipilih Tuhan untuk memulai karya besar dengan mengubah pola pandangan masyarakat Kepulauan Sunda Kecil yakni perempuan hanya sebagai calon ibu atau isteri dan mempunyai arti khusus hanya karena emas kawin.

Kesadaran apakah yang mau ditumbuhkan pendiri dan kongregasi kepada kaum perempuan yang terpinggirkan itu?
Di sini Bapa pendiri mau menandaskan dan sekaligus menyadarkan masyarakat setempat, khususnya bagi kaum perempuan bahwa ada nilai hidup yang lebih luhur, yaitu hidup perawan sebagai seorang religius untuk kepentingan Tuhan dan Kerajaan-Nya yang belum dapat dibayangkan. Selain wawancara saya juga baca dari tulisan Pater Piet Petu, dan banyak tulisan lain menyangkut kesadaran akan hakekat hidup sebagai manusia dan sebagai perempuan. Inilah yang bagian kecil dari skripsi yang saya tulis dengan bebas!

Bagaimana kaitannya dengan kebebasan yang Suster maksudkan?
Ya! Dunia pendidikan adalah dunia yang bebas bagi para perempuan. Melalui kuliah, belajar, membaca banyak buku-buku, melakukan wawancara dengan berbagai pihak, saya mendapat kebebasan penuh untuk menulis skripsi. Saya merasa kongregasi telah membuka jalan luas untuk saya menjadi lebih bebas dan lebih baik dalam mengabdikan hidup saya sebagai biarawati. Saya mendapat kebebasan penuh membaca sejumlah buku yang memperkuat skripsi. Saya mendapat kesempatan untuk membaca dan belajar dan membuat penelitian. Saya berpikir dan menulis yang saya temukan dalam buku-buku pendukung skripsi. Itulah kebebasan yang saya maksudkan. Jelas bahwa dunia ilmu dan dunia ilmiah juga menjadi bagian dari hidup seorang biarawati. Latar belakang lahirnya sebuah kongregasi sangat berkaitan erat dengan kebebasan dan kemanusiaan.

Apa yang Suster rekomendasikan dalam membandingkan keprihatinan rasuli terhadap perempuan pada awal berdirinya kongregasi dengan kenyataan sekarang ini?
Kongregasi CIJ melakukan karya kerasulan pendidikan dan kesehatan. Dalam Konstitusi Awal ditulis agar para suster CIJ memperhatikan dan menanggapi nasib kaum perempuan dan anak. Sampai sekarang ini terus diperjuangkan bahkan mengalami peningkatan. Pendidikan makin lama makin maju. Karya kongregasi pun semakin banyak. Pengembangan karya kerasulan di bidang sosial, menangani secara langsung para penyandang masalah dan secara khusus mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan sebagai pribadi yang patut diakui keberadaannya. Sekarang ini terdapat 25 buah karya kerasulan Bina Remaja Putri yang ditangani CIJ. Kemajuan pesat, karya ini sungguh memberdayakan kaum perempuan melalui berbagai kegiatan pelatihan untuk meningkatkan kualitas hidup dari aspek rohani maupun jasmani. Kerasulan ini juga didukung oleh berbagai pihak baik oleh para suster CIJ sendiri, pihak swasta maupun pemerintah dengan memberikan bantuan moril dan materiil.

Apakah perkembangan jaman dulu dan sekarang mempengaruhi karya kerasulan Kongregasi CIJ?
Dalam skripsi saya juga mencermati hal ini. Memang mesti diakui bahwa perkembangan zaman di bidang IPTEK, diharapkan tetap memperkuat semangat anggota CIJ dalam berpastoral. Dalam bidang pastoral keluarga misalnya, semangat para suster untuk pergi ke kampung-kampung mengunjungi orang sakit dan menghibur orang yang menderita sebaiknya tetap tumbuh.

Permasalahan dasar yang ditemukan dalam tarekat perlu diangkat dan selanjutnya dicari solusi untuk mengatasinya, sehingga walaupun para suster hidup dalam suatu dunia yang serba modern, semangat dasar yang sudah diwariskan oleh Bapa pendiri tetap terus bersemi dalam diri setiap anggota. Perkembangan zaman dan kemajuan dalam bidang IPTEK, bukannya memudarkan semangat dalam tugas-tugas perutusan, tetapi justru sebagai alat bantu penuh makna yang dapat memotivasi para suster untuk lebih mengembangkan kerasulan tarekat secara efektif dan berdaya guna.

Untuk meningkatkan semangat kerasulan bagi para suster CIJ khususnya, rekomendasi apa yang suster berikan melalui skripsi yang suster tulis?
Penyajian karya tulis ini merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan semangat kerasulan bagi para suster CIJ, dalam mengangkat derajat kaum perempuan. Pertama, Perlunya membuat gerakkan sosial melalui gerakkan yang dikoordinir oleh LSM atau Yayasan sosial lainnya yang menangani masalah tentang kaum perempuan, juga gerakkan spiritual lewat kegiatan-kegiatan rohani seperti: retret, rekoleksi, camping rohani yang melibatkan kaum muda-mudi dan suami-isteri.

Kedua, Setiap suster CIJ perlu melihat masalah aktual atau mendesak yang terjadi pada kaum perempuan yang membutuhkan penanganan untuk mengatasi dan dibela haknya. Ketiga, Suster-suster CIJ berjuang dan berpikir secara serius mengangkat derajat perempuan bila ada terjadi sesuatu yang menimpa mereka.

Keempat, dalam memperjuangkan hak kaum perempuan yang paling mendasar adalah penegakkan hak dan martabat serta pembelaan hak-hak perempuan. Kelima, Setiap komunitas perutusan perlu membangun jaringan dan kerja sama dengan semua pihak baik pemerintah, lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang sosial untuk menangani kaum perempuan, lembaga religius lainnya agar perhatian dan pelayanan demi keutuhan martabat kaum perempuan semakin efektif.

Apakah Suster akan kuliah lebih tinggi lagi?
Soal kuliah lagi, tentu saja saya sangat gembira jika mendapat kesempatan itu. Ya, tentu kalau direstui pimpinan biara.

Menjaga Kesucian dan Martabat Diri

Sr. Franselin, CIJ, memiliki nama asli Prudentia Rosa Maru. Putri kelima dari tujuh bersaudara pasangan Bapa Fransiskus Naga dan Ibu Anastasia Gale (almarhum). Memilih nama Franselin karena aturan waktu itu nama diganti, sebagai simbol memulai hidup baru dalam kehidupan sebagai biarawati.

"Nama kita pilih sendiri, dan dilihat lagi oleh pimpinan biara sesuai atau tidak. Saya pilih Franselin karena permintaan dari bapa saya sendiri. Rangkaian dari nama keluarga, terutama bapa saya Fransiskus. Juga secara khusus nama itu adalah nama Santu Fransiskus.

Santu Fransiskus dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga berada. Tetapi, ketika dia melihat situasi dunia sekeliling dan menemukan begitu banyak orang-orang kecil yang hidup sengsara, dia berusaha menolong mereka. Semangat mencintai orang kecil dan terpinggirkan itulah yang ingin saya tumbuhkan dalam panggilan hidup saya sebagai biarawati".

Sr. Franselin, dilahirkan di Jopu, 29 Desember 1975. Menyelesaikan pendidikan SD di Jopu, SLTP dan SLTA di Dili Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste/RDTL). Sr. Franselin masuk biara tahun 1995, menerima kaul pertama 19 Juni 1998 dan kaul kekal sebagai biarawari tanggal 18 Juni 2004.

Ketika ditanya, "Mengapa masuk biara?" Sr. Franselin menjawab, "Keinginan untuk jadi suster karena pada awalnya tertarik dengan Suster Kepala Sekolah, Sr. Yosefin, CIJ, karena gaya mengajarnya yang menarik, pendekatan terhadap anak-anak, selalu dekat dengan murid, selalu bertanya, selalu mengatasi masalah. Selalu bertanya kamu ada apa.

Suster Yosefin juga suka mengajak anak-anak datang ke biara Jopu. Saya ingin seperti dia. Ingin jadi guru seperti dia menjadi suster guru. Setelah masuk biara saya merasa inilah pilihan saya dalam hal pelayanan para suster terhadap orang-orang kecil di kampung," tutur Sr. Franselin.

Sebagai biarawati, perutusan pertama dijalaninya di Komunitas CIJ Watubala - Maumere. Pelayanan di bidang urusan rumah tangga dan mengajar anak sekolah Minggu Paroki Watubala (dua tahun) 1998 - 2000.

Perutusan kedua terjadi di rumah retret Sawiran - Pasuruan, Jawa Timur (Jatim). Di sana Suster Franselin bekerja sebagai anggota tim pembina untuk retret anak-anak sekolah di Jatim selama 3,5 tahun, yakni tahun 2000 - 2003.

Perutusan ketiga terjadi di Ende dalam rangka persiapan kaul kekal, selama enam bulan. Setelah kaul kekal pada 18 Juni 2004 perutusan keempat dijalani di Lembor, Manggarai Barat sebagai ibu asrama putri SMA Lembor tahun 2004. Pada tahun 2005 Sr. Franselin diutus mengikuti kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang diselesaikan tepat empat tahun.

Suster sangat yakin tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. "Supaya perempuan dapat melolong diri sendiri agar tidak terjajah oleh pihak lain; juga bisa menolong orang lain. Perempuan memiliki potensi untuk menjadi lebih mampu. Pendidikan akan membuat perempuan dan setiap orang sadar talenta dirinya," ujarnya.

Suster juga menyampaikan keprihatinnya terhadap pergaulan sebagian anak-anak yang kuliah di Yogya. "Sebagian anak-anak zaman sekarang hidup turut suka. Kalau ditegur, mereka akan menilai suster kurang gaul. Mereka memahami gaul secara salah. Ada beberapa anak-anak kita yang menjalani pergaulan bebas di kos-kosan dan hamil di luar nikah. Sayang sekali karena mereka kurang menghargai kesucian pribadi. Harapan konkret saya tidak muluk-muluk. Cukup, hargailah dirimu sendiri, menjaga kesucian dan martabat diri. Ingat orang tua yang berjuang keras membiayai kuliah," kata Sr. Franselin.

Ketika ditanya kemungkinan memilih jalan hidup lain di luar biara, Suster menjawab tegas; "Saya tidak menyesal masuk biara? Sama sekali tidak. Ini pilihan saya untuk seumur hidup. Mohon Doa." (Maria Matildis Banda).
Sumber: Pos Kupang, 9 Agutus 2009
Ket foto: Sr. Franselin, CIJ

Polisi Agar Periksa Bupati Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 24, 2009 | 4:57 PM

Aparat penyidik Polres Lembata dan Ditreskrim Polda NTT diminta memanggil Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk untuk dimintai keterangannya terkait pembunuhan Yohakim Laka Loi Langoday (53), 19 Mei 2009 lalu. Sebab kematian Kasubdin Pengawasan Laut dan Pantai pada Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata itu bermotifkan proyek.

Demikian dikatakan Piter Bala Wukak, S.H kepada Pos Kupang di Lewoleba, Sabtu (22/8/2009). Bala Wukak mengatakan akan mengkoordinir massa dalam wadah Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasan (Aldiras) untuk melakukan aksi damai di Lewoleba, menyampaikan tuntutan tersebut kepada penyidik polisi.

"Dia (Bupati Lembata, Red) sudah menyatakan dalam sidang paripurna dewan bahwa kematian Yohakim terkait masalah proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan. Itu berarti bupati tahu motifnya. Karena itu penyidik harus memeriksa bupati," kata Wukak yang menyatakan akan menjadi penanggungjawab aksi massa Aldiras.

Dia mengatakan, Aldiras akan mendesak polisi untuk menuntaskan proses penyidikan tanpa pandang bulu. Aldiras juga akan mengingatkan jaksa dan hakim yang menangani kasus ini agar serius dan profesional.

Pembunuhan Yohakim Langoday melibatkan tersangka Bambang Trihantara, kontraktor yang adalah mitra tersangka Erni Manuk, putri Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk.

Bala Wukak mengatakan, dalam aksi damai nanti, Alidras akan menyatakan mendukung dan memberi apresiasi positif kepada penyidik Polres Lembata dan Direskrim Polda NTT yang telah berhasil menangkap dan menahan lima tersangka pembunuh Yohakim Langoday, yaitu Theresia Abon Manuk alias Erni Manuk, Bambang Trihantara, Muhamad Kapitan, Mathias Bala dan Lambertus Bedi Langodai.

Tetapi, tugas itu belum selesai karena masih ada Mr. X yang harus diungkap perannya dalam pembunuhan berencana yang menyita perhatian publik ini. (ius)
Sumber: Pos Kupang, 24 Agustus 2009.
Ket foto: Bupati Lembata Drs Andreas Duli Manuk

Tidak Asal Tulis

Oleh Mike Peruhe Unaraja
Pemerhati lingkungan hidup, tinggal di Melbourne-Victoria-Australia

TEMUAN dan analisis fakta lapangan di sejumlah wilayah pertambangan, seperti Ghana, Congo, Kenya, Madagaskar, Sinegal, Tanzania (di Afrika), India, Indonesia, Laos, Birma, Philipina, Thailand, Vietnam (di Asia), Argentina, Bolivia, Chile, Colombia, Ecuador, Peru dan Venezuale (di Amerika Selatan), Papua New Guinea dan Australia (di Oceania), semuanya menggarisbawahi konklusi ini: Mining is more a curse than a blessing, pertambangan lebih merupakan sebuah mudarat (kutuk) daripada sebuah berkat.

Saya berpendapat bahwa gelombang protes masyarakat dan sejumlah pihak (baca: LSM dan gereja lokal) terhadap kehadiran tambang di NTT, khususnya Lembata dan Flores, bukanlah sekadar 'asal menolak'.

Polemik dan aksi penolakan terhadap kehadiran tambang di NTT semakin marak. Salah satu opini menarik yang dipublikasikan oleh harian terkemuka di NTT, Pos Kupang, Selasa, 11 Agustus 2009 adalah opini Abraham Runga Mali. Mali dalam opini berjudul "Tidak Asal Menolak" mencoba mengkritisi gelombang penolakan masyarakat akar rumput, LSM dan gereja sebagai penolakan tanpa alasan mendasar alias 'asal menolak'.

Kritikan Mali sangat menarik karena langsung membenturkan sikap penolakan tiga elemen besar masyarakat (warga masyarakat pemilik hak ulayat, LSM dan gereja setempat). Saya berharap bahwa tulisan Mali bisa memunculkan hasil elaborasi kritis sebagai legitimasi penerimaan kehadiran industri tambang di NTT khususnya Flores-Lembata.

Nyatanya, opini itu tak punya pisau analisis yang tajam untuk menyadarkan para pihak dalam persoalan kehadiran industri tambang di wilayah itu. Hemat saya, opini tersebut hanya sekadar 'asal tulis', sebab saya tidak menemukan sebuah pemikiran kritis, mendalam dan komprehensif di hadapan persoalan yang dilematis itu.
Tambang Ramah Lingkungan?

Pertambangan merupakan sebuah aktivitas yang jarang dikaitkan dengan soal deforestrasi dan degradasi hutan. Bahkan jarang dihubungkan dengan soal peperangan dan pemerintahan yang diktator, pelanggaran HAM, kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Pertambangan selalu dipamerkan sebagai 'binatang sakral-penyelamat' (baca: paradigma) yang membawa kesejahteraan rakyat.

Padahal dalam seluruh proses itu, banyak pihak malah tak tahu-menahu soal pemasaran hasil pertambangan, sebagaimana pernah diakui Bupati dan Wakil Bupati Manggarai di hadapan Tim investigasi JPIC OFM-SVD, Juni 2008. Karena itu, pertambangan bukan hanya menghancurkan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, tetapi melahirkan pelbagai persoalan kemanusiaan lainnya.

Sebuah pertanyaan di awal tulisan Runga Mali, sangat menggelitik: Apa ada pertambangan yang ramah lingkungan? Ia sangat yakin: pasti ada! Kalau bukan di Indonesia, kita perlu belajar dari negara tetangga Australia.

Pernyataan ini mengejutkan. Tak ada satu contoh pun perusahaan Australia yang ramah lingkungan yang dipresentasikan Mali sebagai legitimasi valid atas statemen tersebut. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya 13 April 2009, terjadi protes besar-besaran atas Barrick Gold Mine yang beroperasi di Lake Cowal, Queensland, Australia. Pasalnya, perusahaan ini telah membawa kehancuran budaya dan lingkungan karena seluruh proses penambangan menggunakan sianida yang sangat beracun.

Tidak hanya di Queensland. Bulan Maret 2009, aksi protes serupa dialamatkan ke Coal Mining atas aktivitas penambangan dan ekspor batubara di Newcastel, yang melahirkan 'multi-dampak' di wilayah tersebut. Gelombang protes yang dimotori oleh Greenpeace melawan perusahaan tambang Australia di Pulau Rapu-rapu, Philipina juga dapat menjadi contoh lain perusahaan tambang Australia yang merusak lingkungan.

Dengan demikian, kisah sukses perusahaan-perusahaan tambang Australia yang dipaparkan Mali masih harus dibuktikan. Pertanyaannya: Perusahaan Australia yang mana? Dan beroperasi di mana? Mengutib kisah sukses dari iklan Australian Mining Exhibition tentu tidak sulit untuk menemukan pameran kesuksesan pertambangan mereka.

Pasalnya, tak ada satu perusahaan tambang mana pun yang mempermalukan dirinya dalam ajang eksibisi publik itu dengan menampilkan kebobrokan manajement penambangan mereka. Karena itu, usulan untuk merujuk ke perusahaan-perusahaan tambang Australia tidaklah tepat dan legitim. Bahwa perusahaan Australia yang bergerak di bidang pertambangan memiliki pelayanan geologi dan ketersediaan peralatan tambang yang lebih baik, tidaklah disangkal faktanya.

Jangankan di Australia atau Philipina atau Afrika atau Amerika Latin. Realita kehancuran alam dan kemiskinan masyarakat lingkar tambang di Sirise dan Reo telah menjadi fakta yang tak terbantahkan. Demikian juga fakta pertambangan Newmont Minahasa Raya di Kecamatan Ratatotok, Sulawesi membuktikan penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan, yang tidak ingin diungkapkan faktanya oleh Runga Mali dalam opininya.

Tambang, Impian dan Kemiskinan

Industri pertambangan memproklamirkan impian besar, menyulap keadaan miskin-ringkih menjadi surga kehidupan yang bahagia. Analisis menunjukkan (The Cord, 57.2, 2007) dengan tegas bahwa kerusakan ekologi banyak diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Bahkan disinyalir, pertambangan dewasa ini telah mengancam 38% luas hutan alami dunia yang kaya akan jenis obat-obatan, flora dan fauna langka.

Akibat lanjutannya adalah ancaman terhadap efek gas rumah kaca akibat polusi logam berat dan methan yang langsung mengancam lapisan ozon. Betapa ironisnya, untuk satu cincin emas 18 karat, perusahaan tambang harus menggaruk gunung, menghancurkan bukit dan membuang 3 ton limbah, serta melakukan kekerasan bahkan sampai pembunuhan.

Dalam aras pemikiran ini, lagi-lagi Mali menggugat aspek sosial budaya dan kesejahteraan dalam konteks Flores-Lembata berhadapan dengan tambang. Sebelum membedah aspek ini, baiklah kita menyimak pernyataan dari para petani di Gloucester, Inggris terhadap pemerintah atas rencana pertambangan di daerah itu (5/6/2009). "You can't eat coal" and "shame, Macdonald, shame. Cows and coalmining do not co-exist well, once you have mines you cannot go back to agriculture it destroys it", demikian pernyataan para petani yang marah dan meminta pemerintah dan parlemen untuk melindungi lahan pertanian mereka dari dampak pertambangan. Mereka sadar, lahan pertanian telah terbukti menghidupi mereka secara berkelanjutan, bukan tambang.

Usulan Runga Mali untuk menyadarkan petani di Flores dan Lembata agar menyerahkan lahan dan hak ulayat kepada perusahaan tambang demi kesejahteraan yang signifikan, tidaklah manusiawi dan lagi-lagi 'sangat kerdil' pemikiran solutifnya.

Kesejahteraan tidak hanya diukur dengan sejumlah lembaran uang. Kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan justeru terkait dengan dimensi kehidupan yang lebih luas, tidak sekadar aspek ekonomi (baca: memiliki uang).

Tanah (lahan pertanian dan hak ulayat) mempresentasikan identitas kultural dan sosial mereka; dan tidak bisa dilepas-pisahkan dari seluruh ritme kehidupan masyarakat. Euripides, 431 SM sungguh tepat melukiskan hal ini: "Tidak ada kesedihan yang lebih pahit di muka bumi ini daripada kehilangan kampung halaman yang tercinta".

Fakta (temuan World Rainforest Movement) di sejumlah negara menunjukkan bahwa kehadiran tambang berdampak sosial pada pengambilalihan lahan-lahan pertanian masyarakat lokal. Munculnya pelbagai kekerasan terhadap komunitas lokal, rusaknya bentuk-bentuk subsisten komunitas, hancurnya hubungan sosial dan disintegrasi sosial dan budaya setempat.

Sebut saja sejumlah negara di Afrika, Ghana, Kongo, Kenya, Sinegal, Tanzania dan Madagaskar. Perusahaan tambang multinasional sudah beroperasi puluhan tahun di tempat itu, tetapi apa nasib kesejahteraan negara-negara tersebut saat ini?

Komisi HAM dan Keadilan Nasional Ghana mencatat ratusan kasus pelanggaran HAM oleh perusahaan tambang dan sekitar 30.000 orang menjadi pengungsi akibat beroperasinya pertambangan di wilayah itu. Bisakah kita tetap dalam kebisuan yang nyaman menyaksikan puluhan ribu anak manusia terpental dari ruang kehidupannya hanya karena sebongkah emas?

Dalam aras ini, pertanyaan Runga Mali bisa diajukan sekali lagi: "Benarkah pertambangan selalu memiskinkan masyarakat setempat?". Jawaban Mali sangat diplomatis: "tidak selalu!"

Sikap Profetis Gereja

Adalah Brendan M. O'Brien, Archbishop of Kingston sekaligus ketua Justice and Peace Konferensi Uskup-uskup Canada, telah mengeluarkan sebuah surat (10/7/2009) teguran yang keras kepada Pemerintah Kanada atas perusahaan Kanada di El Salvador yang sangat menindas masyarakat kecil di sana. Surat para Uskup Kanada (CCCB) memprotes aksi brutal perusahaan tambang Kanada Pacific Rim di El Salvador yang berpuncak pada pembunuhan Marcelo Rivera, aktivis dan ketua komunitas Ilobasco - El Salvador.

Gelombang protes masyarakat, LSM dan gereja semakin keras karena mereka sadar hasil pertambangan itu hanya memberi kontribusi kurang dari 3 % keuntungan yang bisa dinikmati masyarakat dan Pemerintah El Salvador.

Pertanyaannya: apakah ini hanya sekadar sebuah seruan profetis belaka tanpa kajian kritis? Pada butir kedua alasan penolakan itu adalah 'penggunaan sianida dalam proses ekstraksi tembaga dan emas dapat menyebabkan persoalan kesehatan yang sangat genting'. Apakah surat pastoral dan aksi penolakan ini mempresentasikan kegamangan lembaga gereja Kanada dan El Salvador menghadapi bisnis modern dan multinasional?

Rasa-rasanya terlalu dini menghakimi sikap profetis gereja yang terlahir dari panggilannya untuk membela kaum lemah dan menyelamatkan alam dari kehancuran mesin 'keruk' (tambang). Karena itu, sangatlah mengejutkan ketika Gereja Flores dan Lembata, bahkan NTT menutup mata hati pastoralnya di hadapan persoalan tambang yang berdaya rusak amat masif bagi segenap kehidupan.

Gereja tidak bisa tidak, mesti berpihak sebagaimana panggilan hakikinya untuk mendahulukan keberpihakannya pada kaum tertindas (baca: masyarakat korban tambang) dan alam yang dirusak-hancurkan.

Opini Mali ditutup dengan sebuah catatan kritis. Mali justeru menegaskan aksi penolakan gereja terhadap kehadiran industri pertambangan hanya karena 'takut bersaing dan takut kehilangan pamor'.

Pendapat ini menunjukkan kesesatan berpikir dan kerdilnya pemahaman sang penulis terhadap panggilan dan keterlibatan gereja dalam persoalan-persoalan sosial dunia zaman ini. Aksi penolakan ini tidak sekadar sebuah seruan profetis tanpa dasar sebagaimana diduga Mali.
Sumber: Pos Kupang, 21 Agustus 2009.
Foto: Mikael Peruhe Unaraja
 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger