Headlines News :
Home » » Bom/Buku

Bom/Buku

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, March 22, 2011 | 3:05 PM

Oleh Goenawan Mohamad
budayawan & wartawan senior

Bom dan buku: kekerasan adalah jalan sempit yang memintas, percakapan adalah jalan yang tak ada ujung. Tapi bom yang hendak menghentikan dialog akhirnya tak akan menghentikannya. Pihak "sana" bisa tewas, yang membunuh toh tak dengan sendirinya menang; kebenarannya tak serta-merta diakui. Sementara itu buku, di mana percakapan berkembang, memang punya sampul penutup, tapi buku yang sempurna tak akan pernah selesai ditulis.

Mungkin itu sebabnya orang tak sabar. Selalu ada sifat tergesa-gesa di kalangan orang yang penuh keyakinan, ketika mereka hendak mencapai satu keadaan di mana keyakinan itu terjaga murni, tak lagi dicemari suara dan pikiran yang mengganggu.
"Apa yang paling tuan takutkan dalam perkara kemurnian?"

"Sifat tergesa-gesa," jawab William.

Percakapan dalam novel Il Nome de la Rosa Umberto Eco ini (dengan latar Eropa abad ke-13, ketika atas nama Tuhan dan untuk kemurnian ajaran Kristen para pejabat Gereja dengan hati dingin membinasakan orang yang dianggap "sesat") selalu saya ingat. Apalagi hari-hari ini.

Di hari-hari ini, di sebagian negeri, orang menuntut penyelesaian seketika dan sebab itu membunuh: mereka tak mengakui bahwa dunia adalah lanskap yang tak rapi. Mereka tak mau menerima bahwa sejarah penuh jurang, belukar, dan kelokan tajam, dan untuk membersihkannya diperlukan waktu yang tak terbatas. Keyakinan akan Yang Maha-Agung bisa memberi manusia kekuatan yang dahsyat, tapi juga ilusi yang kaku-yang membuatnya lupa bahwa ia tak sekuasa Tuhan, jauh, apalagi ia telah dipindahkan ke luar Firdaus, ke dalam wilayah yang tak suci lagi.

Dunia adalah wilayah ada-bersama-orang lain. "Lain" bisa diartikan "ganjil", dan "ganjil" sering tak menyenangkan, seperti cela, seperti najis, seperti dosa. Berabad-abad keadaan itu membangkitkan kekerasan, ketika keyakinan yang sudah ada di suatu masyarakat mencoba memurnikan diri dari ancaman ("dosa") keyakinan yang berbeda. Yesus ditangkap laskar Yahudi dan dipaku di tiang salib; Muhammad diancam bunuh orang Quraish hingga melepaskan diri diam-diam ke Madinah. Katolik membasmi Protestan, Protestan membalas, atau membakar hidup-hidup orang yang berpikiran lain: Michael Servetus. Kaum Sunni dan Syiah tak henti-hentinya tebas-menebas. Semua itu tentu saja disertai dalil, yang juga dalih.

Tapi pada akhirnya tak ada yang sepenuhnya menguasai dalil: perdebatan tak pernah berhenti. Perlahan-lahan, meniti trauma dan ketakutannya sendiri, manusia pun menyesuaikan diri dengan dunia yang tak bisa diubahnya. Kini kita menyaksikan negeri-negeri di mana keyakinan yang berbeda-beda hidup berdampingan. Orang menyadari, tanpa koeksistensi, yang akan terjadi hanyalah konflik yang saling membinasakan, yang menyengsarakan, seperti Perang Agama di Eropa di abad ke-16. Sejak itu, bahkan orang Prancis menanggalkan semboyannya yang lama: une foi, une loi, un roi, "satu iman, satu hukum, satu raja".

Di hari-hari ini, percakapan yang mengemuka adalah "multikulturalisme". Di Kanada, kemudian di Eropa, kemudian di pelbagai negeri, masyarakat yang tadinya merasa utuh dan homogen makin menyadari bahwa dalam dirinya muncul perbedaan budaya, agama, dan etnis yang tak dapat dihilangkan. Dulu Amerika Serikat yang terdiri atas bermacam-macam imigran itu menyebut diri "a melting pot", sebuah kuali yang menghasilkan sesuatu yang padu dari pelbagai bahan mentah. Tapi sejak akhir 1960-an klaim itu digugat. Mulai berkecamuk identitas yang berbeda-beda. Bahkan, seperti ditunjukkan Michel Wieviorka, sosiolog Prancis yang baru-baru ini mengunjungi Indonesia, kian modern sebuah masyarakat, terbukti kian besar kecenderungan dirinya untuk memproduksi perbedaan kultural.

Multikulturalisme memang bisa jadi agenda sosial-politik yang bisa mengelola perbedaan-perbedaan itu-yang sering sengit dan berdarah. Dengan agenda itu orang bisa belajar untuk membangun toleransi.

Tapi ada beberapa masalah. Agenda itu, seraya mengakui kukuhnya perbedaan (difference), juga menumbuhkan sikap tak acuh (indifference). Toleransi sadar menjaga batas, tapi tak hendak menemui mereka yang berada di sebelah sana dari batas itu. Multikulturalisme dengan demikian bisa jadi semacam apartheid, keterpisahan, yang terdiri atas unsur-unsur tak saling mempedulikan.

Pada saat yang sama, toleransi mengandung sikap yang mengakui nisbinya sebuah pendirian atau keyakinan. Dari sana kita diingatkan akan perumpamaan yang terkenal itu: kita ibarat si buta yang hanya memegang ekor atau belalai gajah-bukan gajah itu sepenuhnya. Seperti dikatakan dalam satu sajak Chairil Anwar tentang Tuhan: "Betapa susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh."

Tapi ada yang menyatakan, sebuah keyakinan hanya bisa disebut keyakinan bila berpegang pada yang mutlak. Bagi mereka, toleransi sesuatu yang sesat. Tiap dialog, tiap percakapan yang bertolak dari toleransi cuma mengelak dari jawab yang final. Bagi mereka, kesabaran adalah menunda kekalahan. Mereka lebih baik mati, atau mematikan, ketimbang menunggu tanpa berkesudahan. Menawarkan sebuah sistem yang tegak berdasarkan toleransi bagi mereka adalah absurd.

Dan mereka pun mengirim bom. Yang mereka lupa, bom tak pernah meyakinkan sejarah. Tentu, buku juga tidak. Tapi setidaknya buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: "Bacalah".
Sumber: Tempo, 21 Maret 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger