Headlines News :
Home » » Mewaspadai Terjangan Bandit Demokrasi

Mewaspadai Terjangan Bandit Demokrasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, March 29, 2011 | 11:51 AM

Oleh Steph Tupeng Witin
Mahasiswa Magister Jurnalistik IISIP Jakarta

Tahapan Pemilu Kada Lembata ternoda. Massa pendukung salah satu calon mengamuk dan merusak kantor KPUD. Alasan perusakan adalah karena calon mereka tidak mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan (Kompas, 19/3/2011). Tetapi fakta membuktikan bahwa calon yang direpresentasi oleh massa pengikutnya ini teryata mampu secara fisik untuk merusak sekaligus semakin menegaskan bahwa memang dia tidak sehat secara rohani (jiwa/mental). Maka patutlah dipahami bahwa orang yang tidak mampu dan sehat secara rohani dan jasmani membuat keonaran.

Bagi saya, massa adalah representasi dari sang calon. Calon yang sehat secara rohani dan jasmani tidak akan tega membiarkan massa pendukung membuat kekacauan karena orientasi calon yang sehat adalah masa depan umum. Argumen bahwa itu aspirasi murni massa pendukung tidak akan memaksa saya untuk percaya begitu saja. Orang-orang kampung dari desa-desa tidak mungkin begitu saja meninggalkan kebun dan ladangnya hanya untuk datang ke Lewoleba dan merusak simbol negara itu. Dan kalaupun itu adalah murni aspirasi rakyat yang kecewa, sang calon yang sehat secara rohani dan jasmani mesti mampu mencegahnya. Tapi apa daya tangan tak sampai. Calon yang mesti mencerdaskan rakyat telah divonis sakit.

Apa nasib Lembata lima tahun ke depan ketika 'terpaksa' dipimpin oleh seorang calon yang tidak sehat secara rohani dan jasmani? Belum memimpin Lembata saja, kantor KPUD sudah jadi tumbal. Kapolres Lembata mengalami luka di wajahnya. Anggota KPU, Betekeneng, bocor kepalanya (Pos Kupang.com, 18/3/2011). Apakah sang calon yang tidak sehat itu bisa bertanggung jawab atas kasus ini? Menurut saya, secara etika dan moral politik, mestinya sang calon dengan berani mengatakan: saya siap bertanggung jawab, bila perlu dipenjara bersama para tahanan karena massa adalah wakil dan wajah dari saya. Apalagi, massa itu bergerak dari kediaman sang calon. Soal tanggung jawab ini hanya bisa terpenuhi kalau calon dalam kondisi sehat terutama secara rohani, bukan hanya sebatas sehat fisik.

Pertanyaannya adalah apakah KPUD yang menjadi simbol negara mesti tunduk pada kehendak massa yang kehilangan rasionalitasnya di hadapan banalitas kekerasan? Yang pasti adalah bahwa KPUD berlandas di atas aturan formal yang berlaku untuk semua. Maka para calon dituntut sehat secara rohani dan jasmani supaya memahami proses demokrasi pemilu ada dan tidak egois dengan memaksakan diri mati-matian, bila perlu dengan merusak fasilitas negara hanya untuk melayani nafsu kuasa yang tak tertahankan lagi. Maka logis jika calon yang tidak sehat akan menampakkan wajahnya yang tidak sehat juga dalam aksi massa yang brutal. Supaya mereka sehat kembali, polisi dan aparat penegak hukum lainnya mesti bertindak tegas. Hanya dengan ketegasan yang adil masa depan Lembata bisa dipastikan dan orang-orang yang tidak sehat itu bisa sembuh lagi. Lebih jauh, rupanya, aksi massa itu juga menjadi gambaran bahwa Lembata selama ini berjalan di bawah kendali yang tidak sehat. Lalu mereka berusaha mempertahankan ketidaksehatan itu dengan cara-cara yang semakin menegaskan bahwa mereka sesungguhnya sudah lama hingga saat ini sedang tidak sehat. Maka jika KPUD tunduk pada calon dan massa yang tidak sehat, itu sirene bagi bencana kehancuran Lembata yang lebih dahsyat.

Bandit Berkeliaran

Fakta kerusakan dan kecurangan pemilu kada di negeri ini menggelisahkan nurani demokrasi. Setiap tahun Mahkamah Konstitusi kebanjiran kasus pemilu kada. Hal ini mengindikasikan bahwa demokrasi kita masih dalam tahap percobaan yang tak tentu waktu. Proses konsolidasi demokrasi ini memberi ruang hadirnya para bandit demokrasi yang berani bermain dalam wilayah formal demokrasi. Gerombolan penjahat ini telah mengkristal dalam kubangan mafioso politik yang berjabat erat dengan kapitalis. Dalam banyak kasus kerusuhan pemilu kada, publik yang kritis mampu membaca geliat para bandit ini yang akan terus mengumbar keserakahan melalui jalur politik dan birokrasi.

Suatu saat kita akan disadarkan bahwa kesejahteraan sebagai kulminasi proses demokrasi berada dalam genggaman para mafioso kapitalisme yang tega memperpanjang banditismenya melalui orang-orang lokal. Sudah lebih dari satu dasawarsa ini demokrasi kita didorong oleh segenap komponen bangsa untuk tumbuh dan berkembang. Tetapi hingga detik ini paham itu tak kunjung tegak karena terus saja direcoki oleh para bandit demokrasi yang berkeliaran di berbagai level institusi.

Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity (2000) mengawali tesisnya tentang demokrasi dengan pertanyaan: mengapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tak kunjung datang? Ia menjawabnya dengan menunjukkan fakta adanya dua jenis bandit, yaitu bandit yang mengembara (roving bandits) dan bandit menetap (stationary bandits) di Rusia. Keduanya sama-sama jahat dan bergantian menjarah kekayaan dan demokrasi yang diikhtiarkan menghadirkan kesejahteraan (Wibowo: 2011, hlm 78-82). Pada zaman represif, hiduplah bandit yang menetap (stationary bandits) yang tidak akan menjarah habis wilayahnya. Bahkan ia akan menjaga wilayahnya dengan kekuatan militer dan memberi keleluasaan kepada penduduk untuk maju. Lalu dia berkuasa dengan menarik berbagai pungutan sebagai sandaran hidupnya sambil membangun 'kerajaannya'. Ketika rezim represif ini runtuh, muncullah bandit berkeliaran (roving bandits) yang selama ini mengabdi bandit menetap yang berkuasa. Jenis bandit ini terkenal sadis dan buas: menjarah habis sebuah wilayah berpindah ke tempat lain, bila perlu manusia (wanita) pun dijarah. Bandit berkeliaran ini leluasa meneror kelompok yang mencoba menghalangi kekuasaannya dan bertindak sebagai pemalak dan pemeras.

Menurut Ignas Wibowo, hadirnya demokratisasi dan otonomi daerah sejak tahun 1999 (sama dengan berdirinya Kabupaten Lembata) berperan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini pasca runtuhnya bandit menetap berkuasa (Soeharto) 1998. Ruang ini memunculkan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia yang entah bergabung dalam parpol atau tidak terus 'belajar' bagaimana memanipulasi pemilu/pemilu kada menjadi kepala eksekutif/legislatif. Sistem demokrasi kita yang tidak stabil menyadarkan elite politik bahwa kursinya hanya sekali itu saja karena akan ada rotasi masa kepemimpinan. Maka mumpung masih berkuasa mereka menggunakan kesempatan untuk menghabiskan uang rakyat (Wibowo: 2011, hlm 29-31).

Cerdas Memilih

Saya berpendapat, salah satu akar dari kerusuhan menjelang, selama dan akhir dari sebuah pemilu/pemilu kada adalah kegelisahan dari para bandit (meminjam Olson) yang mulai sadar bahwa saat berkuasa kian mendekati akhirnya. Mereka ingin tetap berkuasa. Segala cara mereka tempuh, tentu dengan pengorbanan uang yang tidak sedikit yang telah mereka dulang selama berkuasa. Mereka akan kalap ketika jalan yang ditempuh tidak meloloskan hasrat. Bahkan medium demokrasi pun dipaksa untuk mengikuti kemauan mereka. Jalan terakhir ketika dialog sudah mampet adalah kekerasan yang bisa merusak simbol-simbol negara dan menumbalkan manusia. Aksi mereka kadang sadis dan buas tapi tanpa dibarengi dengan keberanian untuk bertanggung jawab. Malah mereka tampil sebagai sosok yang infantil yaitu mengemis ruang kebebasan sebagaimana yang dinikmati semasa menjadi bandit.

Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hadirnya kebusukan aksi para bandit politik dalam ruang proses demokrasi kita? Pertama, publik mesti menjadi pemilih yang kritis dan cerdas dalam setiap momen pemilu/pemilu kada. Sikap kritis dan cerdas perlu ketika republik ini pasca kejatuhan Soeharto masih berkutat pada item-item primordialisme : daerah, suku, agama, etnis, ras, meski calon itu bobrok secara moral dan sempit dalam kancah wawasan.

Pemilih yang cerdas akan tahu siapa sesungguhnya yang ia pilih. Kepentingan publik mesti mengalahkan interese primordial yang sempit. Bahkan ini juga momen bagi pemilih yang cerdas untuk menghukum parpol yang menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan pemerintahan hanya untuk mempertebal pundi-pundi partai. Bila perlu rakyat menghukum juga parpol yang menggadaikan nama besarnya hanya untuk mengeruk modal dari para calon pemimpin eksekutif. Pemilih yang cerdas tidak akan memilih calon (independen) yang memanipulasi dukungan dari mayat-mayat yang tinggal namanya tertera di salib pekuburan.

Kedua, publik mesti diadvokasi oleh kelompok kritis agar memahami hak mereka untuk berpartisipasi dalam membangun kehidupan bersama secara benar dan jujur. Aktivis LSM, agama, media/pers, intelektual/ilmuwan dan mahasiswa bersatu hati dalam mendampingi dan membangun kesadaran kritis. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap proses pembodohan yang selama dalam kenyataan pemilu/pemilu kada dilakukan secara struktural dan sistematis oleh parpol pengusung, tim sukses dan relawan yang dibayar para calon.

Prinsip para bandit adalah menempuh segala cara asalkan lolos ke kursi kekuasaan. Inilah alarm bahaya bagi kehidupan berdemokrasi kita. Saat berkuasa nanti, para bandit akan terus menjarah kekayaan rakyat. Maka advokasi kritis adalah medium politik untuk menghentikan laju kejahatan para bandit. Demokrasi memang memiliki banyak kelemahan tapi hingga detik ini masih diyakini sebagai jalan terbaik untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Hanya dengan kecerdasan, kita dapat mempersempit ruang terjang para bandit yang akan terus berkeliaran menguras kekayaan sambil menetaskan bandit-bandit berikutnya.
Sumber: Pos Kupang, 29 Maret 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger