Headlines News :
Home » » Malu ku, malu(mu)? malu kita

Malu ku, malu(mu)? malu kita

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, November 14, 2012 | 12:31 PM

Oleh Fince Bataona
Warga Lembata, isteri anggota DPRD Lembata 

Saya warga Lembata. Bersuamikan anggota DPRD Lembata. Jika saya memutuskan untuk menuliskan ini semua, bukan karena saya tidak bisa bicara langsung denganmu di rumah. Saya punya keyakinan, mewakili banyak suara yang tidak bisa bersuara karena tidak punya ruang. Di sini, saya hanya mau menegaskan (lagi) bahwa sekadar sebuah wacana saja pun, penganggaran Rp 4,3 M untuk 22 mobil dinas (mobnas) untuk (mu) masing-masing anggota DPRD Lembata itu sudah menyakitkan rakyat yang memilihmu.

Mengapa menyakitkan?

Tidak perlu jauh-jauh keluar dari Kota Lewoleba untuk melihat betapa memprihatinkan infrastruktur dasar, jalan. Dari rumah (kita), dan para anggota dewan lain ke gedung Peten Ina, begitu banyak jalan yang berlubang sana-sini. Bahkan ada jalan tanah berdebu yang sudah pasti membuat sepatu hitammu (juga lainnya?) ditempeli debu. Itu baru debu yang menempeli sepatumu. Anak-anak dan orang dewasa di Lembata tercatat sebagai penderita Ispa cukup tinggi di Lembata. Salah satu faktor penyebabnya: debu.

Masih soal infrastruktur jalan, seorang ibu guru dari Bakan di Kecamatan Atadei pernah menjual sayur Labu Jepang dan kebetulan saya membelinya. Ibu guru juga jualan sayur? tanya saya dengan rasa ingin tahu.

“Iya, kebetulan saya ke kota. Kami di sana (Bakan) sayur ini melimpah, buang-buang saja karena kendaraan tidak ada. Hanya satu saja oto dan orang berebutan naik. Kalau bawa barang banyak tidak bisa,” katanya menjelaskan. Kenapa tidak ada kendaraan yang mau mengambil rute ke daerah ‘hasil’ seperti itu? Jawabannya: karena jalannya buruk. Sangat buruk! Hanya sopir nekat saja yang berani sampai di kampung bernama Bakan dan sekitarnya itu. Dalam hati saya bergumam, ini juga karena dia seorang ibu guru yang lebih punya peluang ke Kota Lewoleba untuk urusan dinas tapi membawa serta sayuran untuk dijual. Bagaimana dengan masyarakat petani yang punya hasil berlimpah tapi tidak bisa mendatangkan uang, hanya karena infrastruktur jalan yang tidak menunjang. Jangan hitung dulu uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari, berharap anak-anaknya bisa diongkosi sekolah setelah SD atau SMP saja mungkin tak bisa.

Itu baru kisah dari Bakan. Salah satu dari sekian desa di Atadei yang memiliki akses jalan buruk. Kondisi jalan ke Ile Ape, Ile Ape Timur, ke Lamalera di Kecamatan Wulandoni yang dikenal dunia sebagai daerah wisata juga tak kalah buruknya. Juga di Kedang, Lebatukan dan Nagawutun. Masyarakatnya juga punya kisah yang sama, betapa menderitanya mereka ketika harus ke kota.

Tak hanya jalan. Air juga masih menjadi masalah yang memprihatinkan di Lembata. Bukankah sering ada guyon untuk melukiskan sulitnya mendapatkan air bersih di Kedang atau juga di Leragere (Lewoera, Lodoblolong, Lewoeleng, Balurebong, Serang Gorang dstny) Kecamatan Lebatukan. “Kalau mandi harus menuruni jalan berkilo-kilo. Selesai mandi harus mendaki berkilo-kilo pula. Sama saja dengan tidak mandi karena berkeringat lagi. Saya pernah mengalaminya waktu kerja pendampingan masyarakat Leragere sebelum jadi anggota DPRD,” katamu (suamiku).

“Iya, saya juga tahu keadaannya, karena pernah semalam tidur di Lodoblolong waktu masih wartawan daerah Flores Timur tahun 1997,” kata saya meyakinkan bahwa sulitnya mendapatkan air bersih bagi masyarakat Leragere adalah fakta yang sudah sekian lama terjadi dan sampai saat ini pun belum diatasi.

Di Ile Ape dan Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri), sama juga masalahnya. Jangan heran bila melihat banyaknya bak penampungan air hujan di perkampungan-perkampungan. Di musim kemarau, air yang ditampung selama musim hujan digunakan untuk minum, mandi, mencuci dan minuman ternak piaraan.

Ini baru soal jalan dan air. Masih banyak lagi fakta yang memprihatinkan kalau bicara soal pendidikan dan kesehatan. Mestinya tidak perlu lagi melitani masalah infrastruktur dasar, jalan dan air. Soalnya, ini masalah klasik. Menjadi aneh bila wakil rakyat justru tidak mengenali keadaan masyarakatnya. Bukankah untuk meraup suara agar terpilih jadi wakil rakyat, seorang calon anggota legisatif (caleg) harus melakukan kampanye dialogis, bertemu langsung dengan masyarakat di daerah pemilihannya masing-masing? Itu berarti hampir seluruh wilayah Lembata ini sudah pernah dikunjungi. Lalu, setelah terpilih menjadi anggota DPRD, selalu ada jadwal reses ke daerah pemilihan masing-masing. Waktu reses itulah masyarakat biasanya menyampaikan banyak soal kepada para wakilnya. Tentu saja dengan harapan, aspirasi mereka bisa diperjuangkan.

Gerangan yang terjadi? Sudah tiga tahun sejak menjadi wakil rakyat DPRD Lembata (termasuk engkau, suamiku) dan sudah hampir delapan tahun (untuk teman-temanmu yang sudah dua periode), jalan-jalan dalam kota Lewoleba-Kecamatan Nubatukan masih tetap berlubang. Jalan ke Bakan dan hampir seluruh wilayah Kecamatan Atadei, Wulandoni, Lebatukan,Nagawutun, Ile Ape, Ile Ape Timur, Omesuri, Buyasuri masih memprihatinkan. Masalah air, apalagi!Belum lagi pendidikan dan kesehatan.

Mirisnya, ketika mereka masih mendekam dalam masalah yang sama bertahun-tahun lamanya, para wakilnya malah berencana ‘melompat ‘ jauh hendak meninggalkan mereka dengan membeli mobil dinas. Tidak main-main pula, masing-masing anggota mendapat mobil dinas tersebut dengan budget sekitar Rp 4,3 M. Peruntukannya untuk memudahkan mobilitas anggota dewan. (Pos Kupang, 3/10/2012).

Jadi isteri (mu) anggota DPRD, saya malu. Apalagi engkau (mestinya)? Sebab belum berbuat banyak untuk masyarakat tapi sudah minta fasilitas mobil yang masih dianggap sebagai barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat Lembata.

Kata (mu) anggota DPRD: “Ini penting dalam menunjang tugas sebagai wakil rakyat. Sebab jika punya kendaraan sendiri, kalau mau ke desa, tidak perlu lagi mengantri karena mobil lain masih digunakan anggota lain.”

Menjadi pertanyaan, seberapa sering perjalananmu sebagai wakil rakyat, bertemu langsung dengan masyarakat petani, nelayan di desa dan mengetahui dari dekat masalah-masalah mereka? Bukankah menjadi anggota DPRD juga lebih banyak bersidang, belum lagi perjalanan dinas keluar daerah untuk studi banding, konsultasi dan bimtek? Dan, anggota DPRD justru lebih ngotot jika urusannya adalah perjalanan dinas keluar daerah.

Pertanyaan lainnya. Dengan kondisi jalan yang buruk di hampir seluruh wilayah Lembata, sementara biaya operasional mobil dinas itu ditanggung anggota bersangkutan, mari berkata jujur tentang kedalaman menguras isi dompetmu untuk urusan mobil dinas —sekali lagi mobil dinas—. Sebab tak hanya mengurus ‘mobil doang’ gaji seorang anggota DPRD. Jangan sampai punya mobil dinas justru memberi ruang baru merajalelanya ‘geliat mencari uang BBM secara tak halal’.

Pertanyaan lain lagi adalah soal penggunaan mobil dinas. Jadi isteri (mu) anggota DPRD Lembata, saya juga meragukan benar tidaknya penggunaan mobil hanya untuk urusan-urusan dinas. Tak harus jauh-jauh mengambil contoh. Mobil dinas DPRD, pernah pula kita gunakan untuk urusan keluarga, (maaf untuk kejujuran ini).

Atau, lagi-lagi ini sebuah pengandaian yang sangat mungkin terjadi: “Saya memilih parkir saja karena tidak ada biaya operasional mobil”. Jadi harus dianggarkan lagi? Berapa lagi uang untuk biaya operasional 22 unit mobil anggota DPRD Lembata tersebut? Rp 4,3 M untuk mobil dinas masing-masing anggota DPRD Lembata belumlah final. Baru pada tahapan Kebijakan Umum dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUPPAS) APBD Lembata tahun 2013 yang sudah selesai dibahas akhir bulan lalu. Setelah pemerintah menyiapkan RAPBD 2013 dan Bupati menyampaikan pidato nota keuangan, komisi I DPRD Lembata akan membahasnya lagi lalu difinalisasi di Badan Anggaran, selanjutnya persetujuan di paripurna untuk penetapan APBD 2013.

Masih ada waktu untuk merenung, perlukah Rp 4,3 M untuk 22 mobil dinas masing-masing anggota DPRD Lembata saat ini, ditengah masih sulitnya masyarakat menikmati jalan yang memadai dan air bersih? Masih ada waktu untuk mengatakan: Tidak! Karena saya belum berbuat apa-apa untuk masyarakat. Saya belum yakin, apakah punya mobil dinas saya akan lebih banyak berada di tengah kalian (masyarakat) dari pada tugas-tugas keluar daerah. Masih ada waktu juga untuk mengatakan: Tidak perlu mobil sebanyak itu, anggaran itu sebaiknya untuk hal-hal urgen yang menyentuh kebutuhan masyarakat.

Masih ada waktu pula untuk mendengar suara masyarakat. Dan, di tahap inilah, jadi isteri (mu) anggota DPRD Lembata, saya hanya ingin mengatakan: “Saya percaya, engkau masih menghargai betapa mahalnya satu suara masyarakat yang memilihmu menjadi wakilnya. Karena itu berpihaklah pada aspirasi mereka.” Selamat berjuang!
Sumber: Pos Kupang, 30 Oktober 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger