Headlines News :

Jejak Terjal Pekerja Sosial di Tanah Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 30, 2012 | 8:04 PM


  Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata, NTT;
Pernah bertugas di Jayapura & Timika

TUGAS seorang pastor tak sebatas kotbah di mimbar atau pelayanan pastoral lainnya. Justru lebih dari itu. Sebagai gembala umat, ia dituntut berada dan ikut merasakan perjuangan bahkan penderitaan umatnya. Misalnya di Tanah Papua. Maklum. Medan pelayanan pulau paling timur Indonesia itu selalu didera berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. 

Juga terkait ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Situasi tak menggembirakan yang terjadi belakangan seperti penembakan misterius, bentrok antarwarga, bahkan perang tanding sejumlah kelompok kecil warga, misalnya, menuntut perhatian ekstra tak hanya pemerintah dan masyarakat luas tetapi juga lembaga-lembaga keagamaan melalui para pemimpinnya.

Sebagai imam diosesan Keuskupan Jayapura, Papua, Pater Johanes Djonga Pr, menyadari posisinya tak hanya sebagai gembala umat dalam pelayanan pastoral. Namun, ia dituntut memberikan advokasi kepada masyarakat yang mengalami intimidasi, teror, penindasan, dan bahkan pembunuhan. Dia getol menentang ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang aparat keamanan.

Pieter Sambut, dalam Melawan Penindasan & Diskriminasi di Papua (2012) yang merupakan biografi Pater John mengetengahkan, imam kelahiran Nunur, Manggarai Timur, Flores (Pulau Bunga), Nusa Tenggara Timur, itu aktif melakukan advokasi terhadap perempuan. 

Sambut mengisahkan, Pater John juga ingin meningkatkan harkat dan martabat perempuan yang sering menjadi korban dominasi pria dan adat istiadat yang tidak suportif. Meski demikian, karya kemanusiaan yang diemban bukan tanpa resiko. Imam ini malah sangat dibenci pihak-pihak terkait, terutama aparat. 

Karya kemanusiaan John Jonga itu justru dibalas dengan teror, intimidasi bahkan ancaman pembunuhan. Toh, ia tidak gentar bahkan surut langkah memperjuangkan hak-hak rakyat Papua, termasuk umatnya sendiri. Dia malah berdiri di garda terdepan menyuarakan suara ‘kaum tak bersuara’ atau voice of voiceless

Tipikal gembala seperti Pastor John, juga dengan mudah dilihat dari sosok seorang Socratez Sofyan Yoman. Gembala umat yang sehari-hari menjabat Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, ini juga meroket namanya di Papua dan Indonesia bahkan dunia internasional. Selain memberikan pelayanan rohani bagi jemaatnya, juga dikenal “kepala batu” bila menyaksikan umatnya mengalami penindasan dan diskriminasi. 

Kotbahnya pun tak hanya di mimbar. Ia mewartakan Sabda Tuhan melalui buku-buku: tradisi intelektual yang mulai dilakukan sejumlah pelayan Sabda lainnya di Tanah Papua. Sekadar menyebut beberapa buku di antaranya Suara Gereja Bagi Umat Tertindas, Suara Bagi Kaum Tak Bersuara, Otonomi, Pemekaran, dan Merdeka/OPM, Integrasi Belum Selesai, Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri, Gereja dan Politik di Papua Barat,West Papua: Persoalan Internasional, dan (yang akan terbit) Suara Gereja di Tengah Kejahatan Kemanusiaan

Namanya kian bersinar seterang gembala lainnya kelahiran Papua seperti Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua (Kingmi) Pdt Dr Benny Giyai, Ph.D atau Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur Pastor Dr Neles Kebadabi Tebay Pr. 

Pengalaman teror dan intimidasi seorang John Jonga pertama dihadapi usai ditahbiskan tahun 2001 dan ditugaskan sebagai Pastor Paroki St Michael Waris, Dekanat Keerom, Keuskupan Jayapura. Wilayah paroki ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, Papua New Guinea. 

Saat itu umatnya ketakutan dengan banyaknya pos dan pasukan tentara di wilayah perbatasan. Kehadiran aparat bersenjata lengkap meresahkan masyarakat. Banyak warga yang juga umatnya diintimidasi, diteror bahkan dibunuh dengan tuduhan OPM tanpa bukti. 

Pater John tak terima. Tugas aparat seharusnya mengayomi rakyat, bukan menindas dan memperkosa mereka. Pengalaman ini dilaporkan langsung kepada Gubernur Barnabas Suebu saat turun kampung (turkam) di Workwana, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, pada 23-24 Juli 2007. 

Laporan kepada Gubernur Bas disampaikan atas desakan warga dan kepala suku Distrik Waris, Yetti Kriku, Wembi, Arso, Senggi, dan Web, yang merasa terancam keselamatannya dengan kehadiran aparat. Maksudnya, agar gubernur bisa meminta tindakan teror dan intimidasi dihentikan. “Saya malah diancam untuk dibunuh dan dikuburkan dalam tanah sedalam 700 meter,” kata Pastor John

Penulis buku ini merekam berbagai tindakan penindasan dan diskriminasi yang terjadi baik terhadap warga masyarakat dan pengelolaan serta penguasaan sumber daya alam. Rekaman itu diperoleh dari testimoni Pater John selama 26 tahun baik sebagai katekis dan imam sekaligus pembela HAM di Papua. 

Pasalnya, tanah Papua yang kaya sumber daya alam menyajikan fakta memilukan. Pada 2005, misalnya, penduduk miskinnya mencapai 80 persen. Kemiskinan telanjang. Dalam Dari Kampung ke Kampung (2009), tim wartawan Suara Perempuan Papua juga pernah merekam jelas kemiskinan dan ketertinggalan setiap kabupaten/kota.

Di Arso, keterisolasian, kemiskinan, keterbelakangan, kondisi kesehatan dan pendidikan memprihatinkan. Masyarakat hidup dalam kondisi tertekan, teror, intimidasi, dan kondisi keamanan yang kurang kondusif. Situasi ini identik dengan kehidupan masyarakat. Pengalaman teror dan intimidasi juga dialami Pater John saat bertugas di Keuskupan Timika tahun 1985. 

Sebanyak enam tokoh adat Amungme berusaha mempertahankan tanah ulayat miliknya. Tapi, para tokoh adat itu malah dituding anggota OPM dan penghambat pembangunan. Setelah diancam ditangkap dan dibunuh, mereka dipaksa menandatangani surat pembebasan tanah adat untuk pembangunan Kompleks Timika Indah, Hotel Sheraton Inn, dan infrastruktur jalan tanpa ganti rugi.

Di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Kamangki Kemong, warga melakukan protes terhadap PT Freeport dan pemerintah. Dua pihak ini dianggap memiskinkan mereka sebagai pemilik sah atas tanah dan isinya. Aparat keamanan yang difasilitasi Freeport menembak warga membabi buta. Belasan orang tewas dan luka-luka.

Sebagasi pastor ia menghadapi realitas pahit umatnya yang termarginal dan hidup dalam penderitaan karena intimidasi, teror, penindasan dan bahkan pembunuhan oleh aparat keamanan yang ditugaskan pemerintah untuk membela Freeport. Ia pun turun ke jalan melakukan aksi demo bersama warga.

Perjuangan panjang ini mendapat perhatian pekerja HAM. Pada 10 Desember 2009, ia menerima Yap Thiam Hien Award. Pada 1999, rekannya sesama pembela HAM asli Papua Mama Yosefa Alomang juga menerima penghargaan serupa. Sosok Pater John di mata Mama Yosefa seperti anak kandung merasa terindas dan ikut memperjuangkan hak-hak ulayat leluhurnya. 

“Melanggar HAM kalau sungai dicemari oleh limbah Freeport, hutan kami dibabat, tanah kami dicaplok dan semua kekayaan alam kami dirampas hanya untuk kepentingan Jakarta,” ujar Mama Yosefa.

Menurut peneliti senior LIPI Muridan Widjojo dalam pengantarnya, buku ini menyuguhkan pelajaran hidup. John adalah Pater ‘ipoleksosbudhankam’ bagi masyarakat. Ia mengurus semua aspek masyarakat mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya hingga pertahanan dan keamanan. Ia juga amber (pendatang) teladan dan unik bagi amber lainnya dan semua orang asli Papua yang mengenalnya. 

Buku ini memberi pelajaran berharga. Hidup adalah suatu panggilan untuk saling menolong satu sama lain dalam rangka terwujudnya solidaritas yang kuat dalam masyarakat. Dengan demikian tercipta perdamaian dan kerukunan di tengah masyarakat, sebuah bentuk kehidupan bersama yang menjadi dambaan setiap orang.

Menurut anggota DPR asal Papua Paskalis Kossay, Pater John telah memainkan peran di atas panggung kehidupan sebagai gembala umat sekaligus pejuang HAM yang ulet dan konsisten. Sebagai gembala umat dia telah menjadikan altar imam sebagai altar umat. 

Ia tidak saja berdiri di mimbar gereja, tetapi turut merasakan denyut kehidupan umatnya yang tertindas dan menderita. Poengky Indarti dari Imparsial menambahkan, semangat Pater John akan mengilhami kawan-kawan muda di tanah air, khususnya di Papua untuk tidak kenal lelah terus memperjuangkan HAM dan keadilan di negeri ini. 

Judul Buku            : Melawan Penindasan & Diskriminasi di Papua
Penulis : Pieter Sambut
Pengantar : Muridan S Widjojo
Kata Sambutan         : Paskalis Kossay
Penerbit : Yayasan Teratai Papua, Juni 2012
Tebal : 254
Harga : -
Sumber: Papua Pos, 25 Agustus 2012

Membaca Pertemuan Lewolein

Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata;
tinggal di Halim Perdana Kusuma, Jakarta

LUKAS Onek Narek, seorang aktivis LSM dan politisi di Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, NTT, menulis info kecil namun menarik. Dalam group: Ini Baru Lembata jejaring sosial Facebook (Fb) yang di-posting Sabtu, 15 Juli 2012, Lukas mengabarkan kehadiran Gubernur Frans Lebu Raya dalam pertemuan dengan ribuan petani dan nelayan serta undangan di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Lembata, pada Jumat,  14 Juli 2012.

Kehadiran Gubernur untuk membuka pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) VI Petani dan Nelayan Flores dan Kepulauan Tahun 2012, persis di teluk Lewolein, Dikesare. Mubes selama tiga hari tersebut menyedot lebih dari 212 peserta yang terdiri dari petani dan nelayan. Mereka berasal dari Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata selaku tuan rumah yang menyetor 120 orang peserta.

Selain didamping Ibu Lucia Adinda Lebu Raya, dalam pertemuan tersebut hadir pula Sony Keraf dan Ibu, Bupati Lembata, dan Wakil Bupati Lembata, Anggota DPRD Kabupatern Lembata serta Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Lembata, Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Alex Sena, Kepala Dinas Sosial Provinsi Petrus Manuk, Kepala Biro Kesra Setda NTT Andreas Kia Nuhan dan tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ribuan masyarakat Lembata dalam mendukung ketahanan pangan serta kampaye komsumsi pangan lokal hasil keringat sendiri (www.suarapembaruan.com, 14 Juli 2012).

Politis?

Ada yang menarik dalam kunjungan Gubernur dalam Mubes Lewolein. Dalam pertemuan yang dihadiri ribuan undangan, hadir juga Sony Keraf. Meski tak mewakili partai politik atau lembaga/organisasi manapun, tentu panitia dan peserta sepakat. Namun, suka tidak suka, dapat pula dibaca secara politis. Kehadiran Sony bisa saja dilihat sebagai bentuk dukungan kepada Frans Lebu Raya, calon petahana pilkada NTT 2013 dari PDI-P.

Di lain sisi, dapat pula dibaca sebagai salah satu cara sederhana Sony menyapa masyarakat (konstituen) di Daerah Pemilihan NTT 1 sebelum bertarung menuju kursi DPR pada Pemilihan Legislatif 2014 (jika ia mencalonkan diri). Tapi, lepas dari itu Sony tentu hanya undangan biasa. Seperti diketahui, Sony pernah jadi pembantu Presiden di pos Kementerian Lingkungan Hidup dan belakangan masih tercatat sebagai politisi PDI-P yang ngepos di kantor pusat.

Mungkin itulah tak berlebihan bila saat pertemuan, Sony (yang lahir dari kampung nelayan Lamalera) disebut (dipuji?) Gubernur Lebu Raya bisa jadi menteri karena dulu makan jagung karena nasi sulit didapat. Benar. Kebutuhan makanan sehari-hari nelayan Lamalera saat itu tergantung juga dari jagung dan padi milik petani Imulolong, Puor, Boto, Atawai, dan desa-desa di kaki Gunung Labalekan. Nah, apa urgensinya Sony Keraf hadir dalam Mubes, tentu panitia lebih tahu.

Selain itu, Gubernur juga menyertakan Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Alex Sena, Kepala Dinas Sosial Provinsi Petrus Manuk, dan Kepala Biro Kesra Setda NTT Andreas Kia Nuhan. Ketiga pejabat tersebut tentu melihat bagaimana kondisi pangan petani dan nelayan, kondisi sosial-ekonomi hingga tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sehingga dapat diambil langkah-langkah strategis membantu mereka.

Pada saat bersamaan, menurut Onek Narek, terbetik keinginan Gubernur melanjutkan Program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM). Sekadar tahu. DeMAM tak lain adalah program pasangan Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay (Fren) saat maju menjadi calon Gubernur-Wakil Gubernur tahun 2009. Karena itu, ada keinginan dilanjutkan ke Fren Jilid 2.

Dalam pertemuan Lewolein, Gubernur menyerahkan uang untuk lima koperasi dan tujuh kelompok nelayan. Masing-masing menerima antara Rp. 20-100 juta dari jumlah Rp. 544.395.000. Sedangkan kontribusi untuk panitia Mubes Rp. 150.000.000 sehingga totalnya Rp. 694.395.000.

Ada pertanyaan retoris. Pertama, mengapa anggaran DeMAM yang melimpa ruah itu tidak diberikan merata kepada petani dan nelayan di kampung-kampung atau desa-desa sejak awal program itu digulirkan sebagai salah satu bukti penghargaan telah memilih gubernur menuju tampuk kekuasaan?

Kedua, apakah gubernur tidak tahu kondisi riil kelompok-kelompok petani dan nelayan peserta Mubes (juga petani-petani lain di NTT) berikut persoalan yang melilit mereka? Selama lima tahun menjadi gubernur, apa tanda terima kasih kepada masyarakat? Ketiga, apa saja tanggungjawab gubernur terhadap kondisi petani dan nelayan yang sebagian besar belum mendapat perhatian serius (selain bupati/walikota di era otonomi)?

Jalan di sebagian perkampungan dan desa di Lembata, misalnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Maaf, kalau lebih tepat disebut layaknya kubangan kerbau (sekalipun di Lembata jarang ada kerbau). Ini belum lagi di perkampungan atau desa-desa lain di pedalaman NTT. Aneh. Di Lembata, misalnya, jalan dari Boto menuju Desa Atawai belum pernah diaspal sejak Indonesia merdeka.

Padahal, jalan tersebut menghubungkan dua desa penghasil komoditi yang potensial. Uniknya, Desa Atawai yang berada di sisi rimba tersebut mampu secara mandiri menghasilkan anak kampungnya hingga strata pendidikan master dan doktor (S-2 dan S-3). Desa-desa ini pun komit mengantar duet Frans Lebu Raya-Esthon Foenay menjadi gubernur dan wakil gubernur tahun 2009 (Fren Jilid 1).

Jika saja kondisi jalan tak serius diperhatikan, misalnya, maka masyarakat perlu mempertimbangkan pilihannya pada sosok calon pemimpin dalam pilkada/pileg mendatang. Sekurang-kurangnya, mempertimbangkan calon pemimpin yang tak gemar obral janji atau selalu alpa berterima kasih kepada masyarakat setelah jabatan diraih.

Kekuasaan dan Uang

Dalam bukunya, Demokrasi Pilihan Aku (2009), analis politik Universitas Nasional Alfan Alfian mengemukakan, politik (kekuasaan) dan uang adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Dalam pemilihan umum modern, di mana sirkulasi elit politik ditentukan, legitimasi rakyat diperebutkan, “uang” (atau apapun variasinya) menempati posisi yang tak bisa disepelekan. Hanya mengandalkan ideologi dan kharisma semata, kerap tidak cukup.

Pembagian uang kepada kelompok-kelompok petani dan nelayan dalam Mubes Lewolein tentu tidak dilihat dalam konteks pilkada NTT 2013. Meski banyak pula yang melihatnya dalam konteks politik merujuk ajakan master of ceremony (MC) kepada petani dan nelayan agar segera membentuk kelompok-kelompok untuk mendapat bantuan uang dari gubernur.

Tentu “kedermawanan” Gubernur Lebu Raya juga tidak serta merta dikaitkan dengan kandidasi menjelang pilkada 2013 (sekalipun bisa dibaca sebaliknya). Kata Ketua Panitia Vian Burin di group: Ini Lembata Baru jejaring sosial Fb, gubernur hadir atas undangan panitia. Tidak ada rekayasa politik atau mempolitisasi kehadiran gubernur dengan pilgub yang akan datang. Vian benar. Idealnya, hajatan kelompok petani dan nelayan dalam Mubes tidak boleh baku tabrak dengan politik sekalipun ada warga Lembata, misalnya, punya persepsi lain. Soal bantuan itu merupakan hak kelompok tani dan nelayan karena mereka sudah lama mengajukan proposal. Jadi, tidak ada kepentingan Fren Jilid 2.

“Kedermawanan” seperti itu kerap pula diperlukan dari seorang gubernur guna memacu rakyatnya. Tanpa dibumbuhi embel-embel lain, tentunya. Karena itu sudah menjadi kewajibannya selaku pemimpin yang lahir dari rahim rakyat. Dalam Asal Omong (2012), Edu Dosi menegaskan, gubernur NTT yang rakyat butuhkan adalah gubernur yang memiliki hati untuk NTT. Tak syak lagi seorang gubernur yang diharapkan rakyat NTT adalah gubernur yang memperhatikan kepentingan rakyatnya, berprakarsa memanusiakan manusia NTT dan membuka dirinya bagi rakyat NTT.

Meski pertemuan Lewolein jauh dari urusan politik, peringatan M. Sobary relavan dilihat terutama menjelang pilkada NTT 2013. Dalam artikel opini, “Mencari Gubernur Sungguhan” (Seputar Indonesia, 9 Juli 2012), budayawan ini mengingatkan agar jangan lupa, kita ingin memilih gubernur beneran. Gubernur yang memikirkan rakyatnya dengan sikap politik yang jelas: gubernur itu abdi rakyat, mengabdi pada konstitusi dan segenap aturan yang berlaku.

Gubernur tak boleh mengabaikan rakyatnya. Peduli, dan sok murah hati, sok ramah-tamah, sok “care” terhadap rakyat, hanya di masa kampanye, itu sikap politik yang penuh kebohongan. Meski peringatan ini dalam konteks pilkada DKI, toh ada sedikit pelajaran bagi rakyat di kampung-kampung maupun desa-desa di NTT yang tengah bersiap menghadapi pilkada 2013.
Sumber: Pos Kupang, 30 Agustus 2012

Tina Talisa: Seperti Tsunami Bagi Saya

Jurnalis dan pembawa berita televisi Indosiar, Tina Talisa akhirnya angkat bicara soal tudingan menerima aliran duit dari mantan anggota Badan Anggaran DPR yang juga kakak iparnya, Mirwan Amir.

Tina didampingi pemimpin redaksi Indosiar, Nurjaman Mochtar bersedia menemui Tempo di sebuah Caffe di Senayan City, Jakarta Selatan, Rabu 29 Agustus 2012. Mengenakan blazer dan rok hitam selutut, Tina begitu ramah menerima wawancara Tempo.

Bagaimana awal mula tudingan ini?
Saya menduga akan ada berita ini sejak Jumat 24 Agustus 2012, di Twitter. Saya tak mengikuti isi akun Twitter tapi saya di-mention. Tidak disebutkan nama tapi cuma presenter cantik dan bohai. Besoknya sudah masuk ke berita online. Meski belum ada nama, saya menduga mengarah ke saya.

Apa reaksi Anda setelah mendengar berita itu?
Begitu berita muncul jujur seperti bom, seperti tsunami bagi saya. Tidak ada angin tidak ada hujan, saya tidak pernah tahu dan tidak terlibat apa-apa, tiba-tiba disebut terima uang dugaan korupsi mantan pimpinan Banggar.

Apa yang Anda lakukan?
Senin saya putuskan mengecek rekening. Jumlah yang disebut total Rp 120 juta dengan waktu pertengahan 2011 maka saya harus rujuk data keuangan saya tahun lalu. Saya punya rekening di empat bank. Bank Mandiri saya baru buka pada 2011. Lainnya bank BCA, bank HSBC, bank Mega.

Ada transfer yang terpecah senilai total Rp 120 juta itu?
Saya sudah bilang, tidak ada transfer dana dengan total Rp 120 juta pada pertengahan 2011. Pun tidak ada transfer dalam jumlah apa pun, kapan pun, ke rekening saya yang mana pun dari Mirwan Amir. Setelah menikah kalau saya ditransfer Rp 1 miliar pun apa salahnya? Kan saya istrinya, dia menafkahi saya dengan uang dari perusahaannya sendiri.

Bagaimana dengan mobil yang dikabarkan dibeli Mirwan atas nama suami anda, Amrinur Okta Jaya?
Saat saya pertama menikah suami saya cuma punya satu mobil. Sampai sekarang dia cuma satu mobil, yang saya pakai juga. Dari rentetan cerita saat beli mobil itu saya belum menikah, jadi sama sekali tidak tahu.

Suami Anda stress?
Iyalah istrinya dituduh seperti ini. Dia sempat tanya, apa uang yang saya kirim ya? Emang kenapa kalau uang yang saya kirim kan dari uang saya, bukan uang dari abang.
Sumber: Tempo.co, 30 Agustus 2012
Ket foto: Tina Talisa

Pendidikan Kunci Pembangunan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 27, 2012 | 9:39 PM

Oleh Boediono
Wakil Presiden RI

Barangkali tak ada di antara kita yang tak setuju bahwa pendidikan punya peran besar dalam pembangunan suatu bangsa. Namun, sering kali kita berhenti di situ, pada tataran abstrak dan menerimanya sebagai kebenaran mutlak yang tidak perlu lagi dikaji dan dirinci.

Berdasarkan keyakinan itu, kita melaksanakan percepatan dan perluasan pendidikan melalui aneka program pendidikan. Negara sebagai penjurunya dan masyarakat berpartisipasi aktif.

Semangat ini sudah benar. Namun, sebenarnya ada satu hal penting yang ”hilang”, yaitu tentang ”apa” yang seyogianya diajarkan untuk menyiapkan manusia-manusia Indonesia yang mampu berkontribusi maksimal bagi kemajuan bangsanya. Barangkali sekarang sudah waktunya kita memikirkan secara lebih mendalam masalah yang teramat penting ini.

Belum Punya Konsep yang Jelas

Saya harus menyatakan bahwa sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan ini. Karena tak ada konsepsi yang jelas, timbullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa ”berat”, tetapi tak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.

Substansi dasar yang memberikan isi pada kebijakan pendidikan kita perlu dibakukan. Rumusan substansi yang jelas dan cermat akan dapat menjadi kompas dan perajut bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air sehingga mengurangi segala macam kemubaziran. Rumusan substansi tersebut haruslah mengacu dan diturunkan dari konsepsi yang jelas mengenai bagaimana kemajuan bangsa terjadi dan apa peranan pendidikan di dalamnya.

Saya tak akan mengulang apa yang telah dikatakan oleh para pakar mengenai peran strategis pendidikan dalam menyiapkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bangsa, serta dengan demikian mendorong kemajuan bangsa. Kita semua sepakat mengenai hal ini. Di sini saya ingin mengangkat sisi penting lain dari pendidikan, yaitu perannya dalam mendukung kemajuan bangsa melalui dukungannya dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Berikut ini adalah butir-butir yang terkait dengan itu, yang saya sarikan dari hasil-hasil riset di bidang ekonomi-politik dan sejarah (Daron Acemoglu & James A Robinson, 2012). Penelitian-penelitian itu mencoba mengidentifikasi faktor-faktor penentu utama kemajuan bangsa sebagai suatu entitas sosial, ekonomi, politik berdasarkan analisis pengalaman sejarah bangsa-bangsa.

Beberapa kesimpulan penting adalah sebagai berikut. Bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh mutu institusi-institusinya, terutama institusi politik dan ekonominya. Proses kemajuan suatu bangsa terjadi dan berlanjut bila terjadi interaksi positif antara institusi politik dan institusi ekonominya. Bangsa-bangsa yang gagal maju—karena insiden sejarah atau barangkali karena kelalaiannya sebagai bangsa—umumnya terperangkap dalam interaksi negatif dari kedua kelompok institusinya tersebut.

Dari dua kelompok institusi penentu kemajuan bangsa, sejarah bangsa-bangsa menunjukkan, institusi politik adalah yang lebih mendasar. Kelompok institusi inilah yang pada akhirnya menentukan aturan main yang mengondisikan efektif tidaknya institusi-institusi lain. Pembenahan dan penataan institusi politik merupakan kunci pembuka kemajuan bangsa.

Selanjutnya riset sejarah menunjukkan, institusi politik akan mendukung proses kemajuan suatu bangsa apabila memenuhi dua persyaratan utama. Pertama, harus ada suatu tingkat konsentrasi kekuasaan politik di tingkat nasional yang cukup untuk menjamin penegakan law and order. Somalia dan Afganistan adalah contoh ekstrem kekuasaan terlalu tercerai-berai sehingga ketertiban umum dan hukum tidak bisa dijalankan.

Syarat kedua adalah sebaliknya, yaitu kekuasaan politik tak boleh terkonsentrasi di tangan satu kelompok atau beberapa kelompok saja (oligarki), tetapi harus terbagi sedemikian rupa sehingga elemen- elemen utama bangsa terwakili di dalamnya. Konstelasi politik harus inklusif karena dengan demikian sistem checks and balances dapat berjalan efektif. Tidak terlalu terkonsentrasi dan tidak terlalu tercerai-berai.

Dengan kata lain: sistem demokrasi! Riset tersebut menarik kesimpulan kuat dari analisis empiris sejarah bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang paling menjanjikan bagi bergulirnya proses kemajuan bangsa. Tentu, yang dimaksud adalah demokrasi dalam arti substantif, bukan sekadar bentuk formalnya.

Riset menunjukkan bahwa makin tinggi pendapatan per kapita, makin besar peluang demokrasi berhasil dan berlanjut (Fareed Zakaria, 2003). Bangsa-bangsa yang sedang membangun dan sedang mengonsolidasikan demokrasinya sangat penting untuk menghindari krisis ekonomi. Sebab, di situ ada risiko tinggi sendi- sendi demokrasi yang sedang dibangun ikut rontok. Konsolidasi demokrasi berpeluang tinggi berhasil bila ditopang oleh perekonomian yang tumbuh dan manfaatnya makin terbagi merata.

Apabila demokrasi berhasil dikonsolidasikan, semakin besar pula institusi-institusi ekonomi akan berfungsi lebih baik lagi. Pada gilirannya meningkatkan kinerja perekonomian dan selanjutnya akan memperkuat demokrasi. Demikianlah seterusnya: terjadi proses interaksi positif antara politik dan ekonomi.

Peran Pendidikan

Satu hal penting dari hasil riset mutakhir: institusi memegang peran kunci dalam proses kemajuan bangsa. Kualitas institusi penentu utama kemajuan bangsa. Oleh karena itu, upaya pembangunan bangsa semestinya memberikan prioritas tertinggi pada pembangunan institusi.

Kualitas kinerja institusi pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia-manusia yang melaksanakan fungsi institusi itu, terutama dalam sikap dan kompetensinya. Di sinilah kita melihat jelas peran sentral pendidikan dalam pembangunan dan kemajuan bangsa.Melalui pendidikan kita dapat menanamkan sikap yang pas dan memberikan bekal kompetensi yang diperlukan kepada manusia-manusia yang menjalankan fungsi institusi-institusi yang menentukan kemajuan bangsa.

Di sini penting dibedakan dua sasaran pendidikan. Pertama, membentuk sikap dan kompetensi dasar yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara di mana pun mereka berkarya. Ini merupakan tugas dari pendidikan umum. Adapun sasaran kedua: mendidik sikap dan kompetensi khusus yang diperlukan bagi mereka yang bekerja di bidang-bidang tertentu. Ini adalah bidang tugas dari pendidikan khusus. Pendidikan umum membekali anak didik soft skills untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik. Pendidikan khusus memberikan hard skills untuk menjadi pekerja yang baik.

Pada hakikatnya pendidikan umum wajib diberikan kepada semua anak didik di semua jenjang, mulai dari SD hingga perguruan tinggi (S-1). Tentu materi di setiap jenjang disesuaikan dengan umur dan tingkat kematangan anak didik. Adapun substansi pendidikan khusus diberikan sesuai vokasi atau profesi yang dipilih oleh siswa atau mahasiswa dalam kariernya nanti. Materi pendidikan khusus diberikan sebagai tambahan materi pendidikan umum. Dalam pendidikan khusus inilah dibangun, antara lain, kemampuan iptek manusia Indonesia.

Dalam strategi pendidikan yang utuh, kedua komponen pendidikan ini dirumuskan secara rinci, konsisten, dan seimbang. Keduanya membentuk kurikulum minimal pada tiap jenjang pendidikan dengan standar yang berlaku, dan diberlakukan secara nasional. Tentu ruang untuk muatan lokal harus tetap diberikan sesuai kekhasan setiap daerah dan kelompok masyarakat. Inilah yang saya maksud dengan benang merah substansi pendidikan nasional yang perlu kita rumuskan secara lebih jelas dan cermat.

Apabila kita menerima bahwa konsolidasi demokrasi adalah simpul kritis penentu kemajuan bangsa, strategi pendidikan perlu diarahkan sepenuhnya dan secara nyata mendukung sasaran ini. Pintu masuk kita adalah melalui pendidikan umum. Substansi pendidikan umum harus mencakup semua hal yang diperlukan untuk membekali anak didik agar jadi pelaku demokrasi yang efektif, yang tahu hak dan tanggung jawabnya, yang punya komitmen untuk menyukseskan proses konsolidasi demokrasi. Apabila ini kita lakukan, kita dapat optimistis, risiko-risiko kegagalan demokrasi dalam masa konsolidasi ini dapat diminimalkan. Demokrasi kita akan makin mantap dan institusi-institusi ekonomi akan makin efektif, yang selanjutnya akan makin memperkuat demokrasi.

Delapan Kemampuan

Apa yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan umum yang memenuhi tuntutan tersebut? Ini adalah tantangan bagi para ahli untuk merumuskannya. Di sini saya ingin menyampaikan satu contoh substansi pendidikan umum dari negara lain untuk jenjang perguruan tinggi (S-1). Substansi bagi jenjang-jenjang di bawahnya tentu perlu penyesuaian-penyesuaian, termasuk harus memasukkan kekhasan budaya dan sejarah kita.

Profesor Derek Bok, Presiden Emeritus Universitas Harvard, mengatakan, pendidikan S-1 di Amerika Serikat bertujuan memberikan bekal delapan kemampuan kepada mahasiswanya. Pertama, kemampuan berkomunikasi. Semua mahasiswa S-1 perlu punya kemampuan ini secara efektif dengan berbagai pihak. Mereka harus mampu menulis dengan presisi dan menarik juga mengungkap secara lisan idenya dengan jelas dan persuasif. Ketidakmampuan berkomunikasi antara warga negara atau antara pemerintah dan publik adalah kegagalan demokrasi.

Kedua, kemampuan berpikir jernih dan kritis. Kemampuan ini mencakup kemampuan mengajukan pertanyaan yang relevan, mengenali dan mendefinisikan masalah, menyadari dan mempertimbangkan argumentasi dari berbagai sisi dari suatu permasalahan, serta mencari dan menggunakan secara efektif data dan informasi yang relevan. Akhirnya, mengambil sikap dan kesimpulan setelah mempertimbangkan semuanya dengan cermat.

Ketiga, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan. Hampir tiap isu publik punya sisi moral. Mahasiswa perlu dilatih menganalisis dengan jernih dan mengambil sikap mengenai aspek baik-buruk, benar-salah dari segi moral dalam menghadapi permasalahan.

Keempat, kemampuan untuk menjadi warga negara yang efektif. Mahasiswa harus disiapkan menjadi peserta aktif dalam proses demokrasi dan mampu mengambil sikap yang rasional mengenai berbagai masalah politik dan isu-isu publik.

Kelima, kemampuan untuk mencoba mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Di AS yang terdiri atas banyak kelompok etnis dan kelompok agama, pengajaran toleransi memperoleh perhatian khusus dan dianggap sebagai tugas penting dari universitas.

Keenam, kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Mahasiswa diharapkan punya pengetahuan dasar masalah-masalah internasional dan apresiasi mengenai kultur yang berbeda.

Ketujuh, memiliki minat luas mengenai hidup. Mahasiswa harus dibangkitkan minat intelektualnya, seperti mengenai sejarah, filsafat, dan minat di bidang-bidang lain, seperti musik, seni, dan olahraga.

Kedelapan, memiliki kesiapan untuk bekerja. Ini sebenarnya bukan bagian dari kurikulum pendidikan umum, tetapi bagian dari kurikulum pendidikan khusus yang memang harus diajarkan pada tingkat S-1 sesuai dengan fakultasnya.

Kedengaran terlalu idealistik, tetapi itulah yang jadi sasaran ideal universitas-universitas di sana. Dan, tampaknya mereka sangat serius dalam mencapai sasaran tersebut. Tentunya kita tak boleh puas diri dengan apa yang kita punya sekarang. Taruhannya terlalu besar untuk bersikap seperti itu. Marilah kita lakukan sesuatu yang substantif bagi pendidikan kita. 
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2012

Anak Mantan Bupati Lembata Segera Dieksekusi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, August 25, 2012 | 11:18 AM


Theresia Abon Manuk alias Erni Manuk, anak mantan Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk bersama Lambertus Bedi Langoday dan Matias Bala Langobelen segera dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan (Lapas) setempat untuk menjalani hukuman penjara selama 17 tahun.

Eksekusi tersebut menyusul ditolaknya permohonan kasasi ketiga terpidana oleh Mahkamah Agung. Ketiga terpidana itu terjerat dalam kasus pembunuhan berencana tahun 2008 lalu yang menghilangkan nyawa Yohakim Langoday.

Humas Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, Ramly Muda yang dihubungi di kantornya, Jumat (24/8), menjelaskan, PT Kupang sudah mengirim putusan dari Mahkamah Agung (MA), kepada Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba, Lembata tentang penolakan permohonan kasasi ketiga orang terpidana tersebut. PT Kupang mengirim putusan tersebut melalui faksimile, pada hari Kamis (23/8) lalu.

Sesuai prosedur hukum yang berlaku, bila PN dalam hal ini PN Lewoleba sudah menerima putusan itu maka bisa secepatnya menyampaikan ke kejaksaan setempat untuk segera melakukan eksekusi.

"Mekanismenya surat putusan itu dikirim langsung dari MA ke PN Lowoleba, tetapi menurut penjelasan dari panitera sekretaris PN Lewoleba, bahwa berkas perkara masih ada di tangan majelis hakim agung atau belum diserahkan ke bagian pidana untuk proses pengiriman. Tetapi kemarin, (Kamis, 23/8) kami sudah faks surat putusan itu ke PN Lowoleba. Itu bisa menjadi dasar bagi PN Lewoleba untuk menyampaikan ke kejaksaan setempat agar melakukan eksekusi," kata Ramly Muda.

Dia menjelaskan, dengan ditolaknya permohonan kasasi ketiga orang terpidana oleh MA pada 24 November 2011, maka Erni tetap dihukum 17 tahun sedangkan Lambertus dan Matias 15 tahun. Hal itu sesuai dengan putusan PT Kupang pada tanggal 18 Agustus 2010 lalu.

Menurut Ramly, PT Kupang sudah menerima tembusan surat putusan tentang penolakan permohonan kasasi ketiga orang itu dari MA pada tanggal 25 Juli 2012. Karena PN Lewoleba mengaku belum mendapatkannya, maka putusan itu dikirim melalui faximile ke Lewoleba biar segera dilakukan eksekusi.

Sebagaimana diberitakan, kasus tewasnya Yahakim Langoday, pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lembata, pertengahan tahun 2008 lalu menggegerkan masyarakat setempat. Peristiwa itu dipicu masalah proyek. (Bonne Pukan)
Sumber: Suara Karya, 25 Agustus 2012
Ket foto: Theresia Abon Manuk alias Erni Manuk, anak mantan Bupati Lembata Andreas Duli Manuk 

Setahun Lembata Baru

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, August 24, 2012 | 7:23 PM

Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata;
Tinggal di Halim Perdana Kusuma Jakarta

PADA Sabtu, 25 Agustus 2012, kepemimpinan Bupati Lembata Eliaser Yentjie Sunur dan wakilnya, Viktor Mado Watun genap setahun. Keduanya resmi dilantik Gubernur Frans Lebu Raya atas nama Mendagri Gamawan Fauzi di Lewoleba, Kamis, 25 Agustus 2011. Mereka memimpin Lembata hingga 2016. Tentu belum saatnya mengevaluasi perjalanan kepemimpinan “Lembata Baru” karena masih balita. Namun, kepemimpinannya penting direfleksikan dan didiskusikan guna ikut mencari strategi lainnya memajukan Lembata. Termasuk melihat sejauh mana program seratus hari pertama yang sudah berjalan sejak dilantik.

Mengapa diskusi itu penting karena yang mencolok dan menjadi rahasia publik Lembata yakni keretakan hubungan bupati/wakil bupati. Juga informasi perjalanan dinas bupati yang sudah menelan biaya Rp. 3-5 miliar memasuki satu tahun jabatannya. Perjalanan dengan angka yang terbilang besar seperti itu sah-sah saja. Bisa dimaklumi karena jabatan yang melekat. Pun tak ada klausul dalam regulasi yang membatasi intensitas perjalanan dinas bupati keluar daerah. Begitu pula berhasil atau tidaknya perjalanan dinas tersebut, itu soal berbeda.

Di lain pihak, bupati sepertinya alpa melangkah bersama wakilnya. Berbagai keluhan masyarakat lebih disampaikan kepada wakil karena dalam sebulan bupati lebih banyak di luar daerah dengan alasan dinas. Sejumlah anggota birokrat pun tahu sekalipun ogah bicara. Bahkan bisik-bisik di segelintir anggota DPRD, ada oknum DPRD tanpa malu-malu berperan seperti staf ahli bahkan asisten pribadi. Kemana-mana selalu berada di samping bupati. Hal-hal kecil dilakukan sejumlah oknum anggota DPRD dengan dalil konsultasi namun di balik itu hanya bertujuan menambah uang saku.

Masyarakat di pedalaman malah dijanjikan bupati untuk bangun ini itu, ternyata selalu teriak tentang persoalan yang dihadapi namun tak pernah didengar. Kita lihat salah satu keluhan masyarakat berikut. “Mat siang, ama. Saya mau sampaikan penyesalan. Pak Bupati turba ke desa-desa beliau janji masyarakat untuk aspal jalan mulai Mei 2012. Ternyata tidak jadi, katanya dana tidak ada. Kami sangat kecewa.” Itu bunyi pesan singkat yang masuk ke telepon selular saya belum lama ini.

Pesan Manahan

Ada hal yang aneh menyaksikan gelagat kepemimpinan seperti itu. Juga melahirkan kekhawatiran kepemimpinan politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kekuasaan dan jabatan masih sekadar alat mendulang fulus daripada pemahaman atas esensi jabatan sebagai pemimpin rakyat. Fatsun dan kesantunan kekuasaan (politik) bergeser seratus delapan puluh derajat. Peran komunikasi menjadi tali pengikat dengan rakyat untuk mendengar suka-duka, susah-senang luntur seketika. Padahal, komunikasi memainkan peranan penting dalam efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya bisa bicara atau minta didengar orang lain, tetapi juga bisa mendengar suara rakyat.

Peringatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sinyal bagi pelaksanaan tugas para pemimpin/pejabat pemerintahan. Kepala Negara meminta dan mengingatkan pejabat mulai dari menteri, gubernur hingga bupati dan wali kota agar di samping menjalankan kegiatan politik, jangan meninggalkan tugas pemerintahan. Permintaan disampaikan di hadapan 34 ribu lebih kader GP Anshor dan Nahdlatul Ulama (NU) pada puncak peringatan hari lahir ormas kepemudaan di Stadion Manahan, Solo, Senin, 16 Juli 2012. Kata Presiden, para pejabat harus menjalankan sumpah jabatan, yaitu menomorsatukan tugas dan kewajiban melayani rakyat. Pesan Mahahan masih relevan di tengah menurunnya kualitas pelayanan pejabat publik.

Masalah Lama

Saya sempat meliput acara penandatangan nota kesepahaman (MoU) untuk Fajar Bali, Denpasar. MoU antara Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti (kala itu), Pemprov NTT, dan International Labour Organization berlangsung di Auditorium Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta. MoU terkait pelaksanaan kegiatan percontohan pengembangan infrastruktur pedesaan terintegrasi.

Dalam laporan tertulis dibeberkan potensi dan problematika pembangunan infrastruktur dan potensi Lembata. Problem kabupaten/pulau seluas 126.638 hekter dan berpenduduk tidak kurang dari 116.000 jiwa tersebut, secara umum yaitu kondisi jalan yang buruk. Tak kurang dari 85% masuk kategori rusak dan rusak parah. Jalan bergelombang dan berlubang besar tertutup debu. Aspal tipis pelapis jalan yang telah hancur berkeping-keping menjadi saksi bisu manipulasi pembangunan jalan. Jalan raya yang hanya selebar 4 meter kondisinya mirip “sungai kering”.

Anehnya, memasuki usia 13 tahun otonomi pada 15 Oktober 2012, wajah buram itu masih terlihat. Setiap berganti rezim, bupati minim strategi memajukan daerahnya. Masalah-masalah lama tersebut masih membelit sebagian besar wilayah Lembata. Bupati lebih sering keluar daerah seperti turis. Masyarakat ditinggalkan berkubang dengan persoalannya. Perencanaan pembangunan juga serampangan, asal jadi.

Sri Palupi dalam www.ecosocrights.blogspot.com, mencatat, ada yang aneh tapi nyata. Pertama, Lembata memiliki satu bupati dengan tiga kantor bupati. Selain kantor pertama yang berdiri sejak 1960-an, dua kantor lain dibangun dengan anggaran miliaran rupiah. Satu di antaranya ditelantarkan karena terindikasi korupsi dan satu lagi masih diteruskan dan sudah menghabiskan miliaran rupiah. Bersamaan itu pula dibangun juga gedung DPRD yang menghabiskan biaya sedikitnya Rp. 2,3 miliar. Padahal, kantor DPRD lama pun masih berdiri megah di samping kantor bupati peninggalan tahun 1960-an.

Kedua, banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan. Misalnya, rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dll. Pemkab Lembata telah menghabiskan miliaran rupiah untuk mendirikan seluruh bangunan baru yang kini dibiarkan terlantar itu. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin.

Ketiga, banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor. Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan-bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di belum memiliki kantor sendiri. Mereka masih menyewa rumah-rumah warga untuk dijadikan kantor.

Persoalan-persoalan yang tertinggal pemimpin terdahulu seperti di atas mesti juga ikut diselesaikan segera. Pada 25 Agustus 2012 Lembata Baru genap berusia setahun. Pada 13 Oktober 2012, Lembata juga memasuki 13 tahun otonomi. Dua momentum itu menjadi kesempatan refleksi para pemimpin serta pelayan masyarakat lainnya bersama masyarakat melanjutkan pengabdian untuk Lembata yang lebih baik. Bupati dan wakil harus kembali ke visi dan misi awalnya menjadi pemimpin tanah lepanbatan membawa masyarakat lebih sejahtera. Para pemimpin, seperti diingatkan presiden, mesti menjalankan sumpah jabatan, yaitu menomorsatukan tugas dan kewajiban melayani rakyat.

Masyarakat juga mesti mengawal sekaligus mengawasi pemimpinnya (termasuk DPRD) agar tidak bermental saudagar yang punya kalkulasi untung-rugi. Saudagar punya watak dasar mengejar keuntungan secepat kilat namun dengan modal seupil. Mereka adalah “binatang ekonomi” atau homo economicus.
Sumber: Flores Pos, 24 Agustus 2012

Penembakan: Bus Freeport Ditembaki Orang Tak Dikenal

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 16, 2012 | 10:44 PM


Sebuah bus milik PT Freeport Indonesia, Kamis (16/8/2012), ditembaki orang tak dikenal saat melintas di Mil 40. Tak ada korban dalam penembakan itu.

Tembakan itu menyebabkan kaca bus pecah dan serpihannya melukai sopir bus tersebut. Penembakan terjadi sekitar pukul 06.45 WIT.

Juru Bicara PT Freeport Indonesia Ramdani Sirait membenarkan adanya peristiwa tersebut. Sopir yang terluka telah mendapat perawatan medis. Saat ini polisi tengah menyelidiki kasus tersebut.
Sumber: Kompas.com, 16 Agustus 2012
Ket foto: Tambang terbuka Grasberg merupakan bagian dari gunung api yang telah mati. Tambang tersebut memiliki cadangan mineral seperti tembaga dan emas yang cukup besar. Tambang yang fotonya diambil, Jumat (25/11/2011) itu rencananya akan dihentikan operasi penambangannya pada tahun 2016. PT Freeport Indonesia akan memfokuskan operasi mereka pada tambang bawah tanah.

Memaknai Kemerdekaan

Oleh F Budi Hardiman
Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara

”Apa yang meninggikan manusia; tak lain daripada kepribadian, yaitu kebebasan dan kemerdekaan dari mekanisme seluruh alam.” Menarik untuk merenungkan makna kemerdekaan yang dirumuskan oleh Immanuel Kant ini. Tiada kemerdekaan tanpa kepribadian dan tiada kemerdekaan selama kita menjadi korban ”mekanisme seluruh alam”.

Frasa terakhir ini mengacu pada dorongan bertahan hidup/kesintasan (survival) manusia sebagai makhluk hidup di alam ini. Kemerdekaan bukan sekadar persoalan survival, melainkan penemuan jati diri. Demikian juga apa yang meninggikan suatu bangsa adalah kemampuan bangsa itu untuk menemukan jati dirinya yang mengatasi desakan-desakan survival-nya.

”Zoe” dan ”Bios”

Teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta 67 tahun yang lalu dimulai dengan frasa ”Kami Bangsa Indonesia”. Kemerdekaan adalah sebuah penegasan diri, yaitu lepas dari kuk perhambaan, dekolonisasi. Kelompok ini –yang kemudian menyebut diri ’bangsa Indonesia’– menegaskan eksistensinya di hadapan penindasnya.

Eksklusi dari kalangan tuan-tuan penjajah itu diiringi kehendak untuk inklusi ke dalam kalangan bangsa-bangsa merdeka dan setara. Adanya musuh bersama memungkinkan inklusi berbagai subkelompok di dalamnya menjadi suatu bangsa. Dilihat dari sisi ini kemerdekaan adalah bagian survival suatu kelompok di dalam medan pertarungan antarbangsa.

Tentu kemerdekaan suatu bangsa lebih dari sekadar persoalan survival karena kehidupan manusia tidak melulu tunduk pada mekanisme biologis. Orang Yunani kuno memiliki dua kata yang berbeda untuk ’kehidupan’, yakni zoe dan bios. Kata zoemengacu pada kehidupan pada umumnya yang dimiliki makhluk hidup, entah itu tetumbuhan, hewan, atau manusia.

Seperti spesies lain kita manusia menjalani keniscayaan survival dengan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi, dan ekskresi. Zoe adalah hidup alamiah yang dijalani semua makhluk hidup, Dalam Homo Sacer, Giorgio Agamben berpendapat, zoe dijalani oleh mereka yang kehilangan hak-hak dan identitasnya. Para tahanan kamp konsentrasi Nazi, misalnya, diidentifikasi sebagai nomor belaka. Kehidupan mereka tidak terlindung, rentan terhadap kesewenang-wenangan, maka disebutnya la nuda vita(hidup belaka).

Kata lain untuk kehidupan adalah bios. Yang diacu di sini adalah cara atau ”bentuk kehidupan spesifik” yang pantas dijalani hanya oleh manusia sebagai individu atau kelompok. Bios inilah yang dimaksud Aristoteles dalam Politica dengan kehidupan bernegara, suatu cara hidup yang ditempa oleh proses berbagi nilai, identitas, dan narasi bersama lewat pemakaian bahasa.

Dengan bernegara manusia tak hidup sebagai makhluk belaka, melainkan sebagai warga negara, yaitu memiliki identitas, martabat, dan dilindungi oleh hak-hak keanggotaan dalam negara. Aristoteles menulis tujuan bernegara bukanlah untuk bertahan hidup belaka, melainkan mengejar ”hidup yang baik”. Dalam arti ini bernegara, bios politikos merupakan ungkapan kebebasan yang melampaui keniscayaan alamiah. Ciri lebih inilah yang disebut oleh Hegel Geist (roh).

Suatu bangsa disebut ’merdeka’ dalam arti bios ini bila bangsa itu mengorganisasikan diri ke dalam sebuah tatanan hukum yang disahkannya sendiri. ”Kami bangsa Indonesia” lalu juga berarti suatu tekad moral untuk hidup bersama secara politis yang melampaui tembok-tembok suku, agama, ras, dan golongan. Itulah dasar ”kepribadian” yang dimaksud oleh Kant. Dari tengah-tengah anonimitas bangsa terjajah kepribadian itu tampil ke muka oleh keberanian untuk memulai suatu permulaan baru. Bagaikan ’mukjizat’ tindakan pendasaran republik modern itu menembus hal-hal yang mustahil sekaligus tak terduga, bahaya sekaligus peluang perubahan. Tekad moral untuk hidup bersama dalam republik itulah yang menjadikan kita Indonesia.

Tantangan Globalisasi

Globalisasi pasar adalah tantangan bagi bios. Ekonomi beroperasi dengan logikasurvival yang merupakan ciri zoe. Sejauh pasar mendikte wilayah politik, logika survivalmengambil alih bios. Keutamaan, karakter, pendirian, dan bahkan jati diri yang memberikan ciri spesifik bios memudar ditelan universalitas kehidupan yang didikte oleh desakan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi, dan ekskresi. Negara sebagai sistem hukum bagaikan bendungan yang tidak sanggup lagi menahan pasar sehingga politik kontemporer makin sulit membedakan dirinya dari ekonomi. Ketika uang menjadi segalanya dan jual- beli menjadi paradigma hubungan sosial, yang tersisa tinggal suatu kehidupan yang tidak terlindung dari kesewenangan, zoe.

Sosok enigmatis yang menjadi judul buku Agamben dapat menjelaskan bagaimana zoemenjadi aturan harian politik kontemporer. Homo sacer adalah istilah yuridis Romawi kuno untuk seorang yang dikucilkan dari kota karena pelanggaran berat. Sejak diumumkan sebagai homo sacer orang ini boleh dibunuh siapa saja, tetapi tak boleh dipakai sebagai korban nyawa dalam ritual religius. Singkatnya, homo sacer adalah seorang yang kehilangan semua hak dan pribadi moralnya sehingga ia menjalani hidup belaka yang penuh kesewenang-wenangan, la nuda vita.

Dalam politik kontemporer sosok itu adalah para pengungsi, para korban perdagangan manusia, para korban penggusuran, kaum marjinal, para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan seterusnya. Kalau komersialisasi dan kepentingan privat melanda semua hubungan, termasuk politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, agama, dan hukum, gagal membatasinya untuk melindungi individu, setiap orang menjadi korban potensial bagi orang lain. Kita lalu boleh setuju dengan Zizek yang mengatakan bahwa dalam milenium ketiga ini kita semua adalah homines sacri. Dalam kompleksitas baru itu kemerdekaan terkait dengan keberhasilan demokratisasi dan supremasi HAM dalam masyarakat kita.

Suatu bangsa yang dirongrong oleh penyakit kronis korupsi, diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran HAM, dan dihantui oleh kemiskinan menjalani kehidupan yang tidak terproteksi dari kesewenang-wenangan. Sulitlah menyebut kehidupan seperti itu sebagai merdeka. Karena itu, kemerdekaan sebagai dekolonisasi memang telah diraih, tetapi kemerdekaan sebagai perwujudan kehidupan di dalam republik para warga negara adalah suatu proyek yang belum selesai. Akan selalu dibutuhkan negarawan-negarawan seperti Soekarno dan Hatta yang berani memulai suatu permulaan yang baru. Keberanian kenegarawanan itu pada gilirannya berasal dari suatu kepribadian yang merdeka. 
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2012

Ratusan Masjid Rohingya Dibakar

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, August 10, 2012 | 7:03 PM

Pemimpin Organisasi Solidaritas Rohingya, Muhammad Imran Saeed mengecam pemerintah Myanmar karena berlarut-larutnya penyelesaian konflik antaretnis di negara bagian Rakhine. Akibat konflik berkepanjangan itu, ratusan masjid telah menjadi target pembakaran.

"Pemerintah Myanmar ambil bagian dalam upaya menghapuskan etnis Rohingya. Sedikitnya 135 masjid telah dihancurleburkan oleh etnis Budha yang didukung pasukan pemerintah," kata Imran Saeed seperti dilansir The News International, Jumat (10/8).

Ia juga mengutuk sikap pemerintah Bangladesh terhadap penderitaan para pengungsi Rohingya. Menurut dia, tidak semestinya Bangladesh mengambil lagkah punitif dengan menginstruksikan tembak di tempat kepada tiap pengungsi Rohingya yang menyeberang perbatasan.

"Semestinya Bangladesh bersimpati terhadap saudara Muslim mereka yang teraniaya," tandasnya. 
Sumber: Republika, 9 Agustus 2012
Ket foto: Pengungsi Muslim Rohingnya

Prahara di Tambang Kita

Oleh Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, LIPI

Seandainya Mozes Kilangin masih hidup, entah apa yang ada di benaknya soal renegosiasi kontrak karya Freeport, perusahaan tambang AS yang ingin memperpanjang eksploitasi tambang tembaga, emas, dan perak di Grasberg dan Ertsberg, Papua, sampai 2041.

Pada 9 Agustus 1999, empat hari sebelum Mozes meninggal, ia mengatakan kepada Dominggus A Mampioper, wartawan yang mewawancarainya, ”Kini Freeport sudah masuk dan semua orang dapat berkat, tetapi ada juga yang tidak memperoleh apa-apa, tetapi tujuan kita agar masyarakat Amungme memperoleh manfaat besar kalau tambang dibuka”.

Saat itu Freeport baru delapan tahun melakukan kontrak karya (KK) kedua pada 1991 yang memperluas area kerjanya. Pada 2012, Freeport ingin memperpanjang KK yang akan berakhir 2021 menjadi 2041. Areanya juga akan diperluas hingga wilayah Nabire. Freeport bukan hanya menambang bagian atas bumi, melainkan juga sampai ke dalam perut bumi.

Mozes Kilangin, yang namanya diabadikan sebagai nama Bandara Internasional Timika, Papua, sebenarnya seorang guru lokal di Akimuga. Ia bertindak sebagai negosiator dan sekaligus penunjuk jalan bagi ekspedisi pertama Freeport di Bumi Amungsa pada 1960. 
Antara Juli dan September 1960, Mozes mendampingi tim ekspedisi Freeport pimpinan Forbes Wilson mendaki Gunung Yelsegel Ongopsegel (Ertsberg). Tim ekspedisi ini menempuh rute Omoga menuju Belakama terus ke Tsinga Jongkogama-Waa (Mile 68 sekarang)-Osekindi-Bayulkase (Mile 74 sekarang). Ekspedisi yang berjalan kaki tersebut membawa bebatuan sebanyak 30 karung sebagai sampel penelitian.

Dari contoh bebatuan itulah akhirnya Forbes Wilson dan tim ekspedisinya mengetahui secara nyata, betapa kaya wilayah pegunungan yang indah itu. Wilson mengabadikan ekspedisi ke Ertsberg itu dalam bukunya Conquest of the Copper Mountain(Penaklukan Gunung Tembaga). Kini, 62 tahun kemudian, gunung indah itu sudah berwajah bopeng-bopeng dan banyak lubang dalam menganga. Alam sekitarnya juga penuh dengan bahan-bahan kimia yang tentunya memberikan dampak negatif bagi penduduk sekitarnya.

Memang ada manfaat dari keberadaan Freeport bagi Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Mimika, dan sebagian elite sipil, polisi, ketua adat, serta militer di Jakarta dan Papua. Ada juga program-program tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan Freeport untuk tujuh suku yang terkena dampak pertambangan tersebut, seperti pemberian beasiswa, pemberdayaan perempuan, pemberdayaan ekonomi, sekolah asrama, dan pelatihan Newangkawi. Namun, apa yang didapat penduduk setempat tak sebanding dengan penderitaan panjang yang mereka alami sejak tambang mulai dibangun pada 1967.

Jika protes, mereka dicap anggota atau pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika ada pembunuhan atau penyerangan, OPM pasti jadi kambing hitam. Jika para buruh mogok, seperti terjadi 15 September-17 Desember 2011, tak jarang para pekerja ini juga dipandang sebagai penghambat pembangunan dan merugikan negara karena berkurangnya pendapatan negara akibat pemogokan itu.

Aksi mogok 8.000 dari 23.000 karyawan Freeport itu telah memengaruhi produksi Freeport pada kuartal I-2012, yaitu penurunan produksi tembaga dari 284 juta pound pada 2011 menjadi hanya 123 juta pound kuartal I-2012. Produksi emas juga turun dari 441.000 ounce pada 2011 menjadi hampir separuhnya, 229.000 ounce kuartal I-2012. 

Penerimaan negara juga menurun drastis karena kehilangan sekitar 6,7 juta dollar AS (Rp 57,3 miliar) per hari selama pemogokan berlangsung, sedangkan potensi penurunan penjualan Freeport mencapai 19 juta dollar AS per hari. Kegiatan Freeport di lahan 213.000 hektar itu menyumbang 68 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Timika. Pada 2010, Freeport menyumbang 1,9 miliar dollar AS pajak dan 2,1 miliar dollar AS berupa gaji dan upah karyawan.

Konsesi Ekonomi Amat Mahal

Jika kita tilik sejarahnya, kekayaan alam di area pertambangan Freeport itu sudah diketahui para geolog Belanda sejak 1930-an. Ekspedisi oleh peneliti AS baru dilakukan 30 tahun kemudian. Ingat, tahun 1960, wilayah Papua masih di bawah kekuasaan langsung Ratu Belanda. Dasar hukum PMA di Indonesia dimulai sejak Pemerintah RI membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), pembuka jalan bagi Freeport melakukan eksploitasi tambang di Irian Barat. Satu hal yang menarik, UU itu ditandatangani Presiden Soekarno yang saat itu sudah dalam tahanan rumah rezim Soeharto di Wisma Yaso, rumah kediaman istri Bung Karno asal Jepang, Ratna Sari Dewi, yang kini menjadi Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala. Padahal, Bung Karno sebelumnya sering meneriakkan semboyan ”Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” saat Konfrontasi dengan Malaysia dan ”Go to hell with your aid” kepada AS saat perusahaan-perusahaan AS menawarkan pembangunan prasarana transportasi asalkan Indonesia hanya mengimpor mobil produk AS.

Banyak analisis soal ini. Aktivis LSM Australia, Robin Osborne, penulis bukuIndonesia’s Secret War (Kibaran Sampari) yang diterbitkan oleh Pandora Pr, Desember 1985, pernah mengatakan di dalam seminar ”Peace Study” di Sydney University, Australia (1988), yang penulis hadiri, konsesi bagi Freeport yang beroperasi di Irian Jaya (Papua) itu diberikan sebagai bayaran atas dukungan politik AS terhadap Indonesia dalam persoalan Irian Barat.

Sri-Edi Swasono menerka kemungkinan Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dinyatakan tertutup bagi modal asing. Bidang tersebut, yaitu pelabuhan, produksi, transmisi, distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, tenaga atom, dan media massa (Kompas, 2/1/2012). Sejarawan militer mengatakan kepada penulis bahwa Bung Karno tidak bisa ditekan, jadi mungkin ia diiming-imingi untuk mendapatkan kembali otoritas politiknya yang sudah diambil Mayjen Soeharto sejak Bung Karno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966, asalkan Presiden Soekarno mau menandatangani UU No 1/1967 itu.

Rezim Orde Baru yang mengeluarkan PP No 20/1994 yang menjadi awal dominasi asing dan rezim-rezim pada era Reformasi yang mengegolkan dan melaksanakan UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang menggelar karpet merah buat investasi asing karena tak ada lagi pembedaan dengan investasi dalam negeri, bagaikan komprador asing yang kian membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967. 

Terlebih pada era Presiden SBY yang seakan selalu menerima apa saja permintaan AS sejak Obama menjadi presiden. Fenomena Obama memang seakan menyihir masyarakat Indonesia, termasuk kalangan kampus. Untungnya, saat sebagian besar mahasiswa UI mengelu-elukan Obama saat berkunjung ke kampus UI Depok akhir 2010, masih ada mahasiswa yang menggelar spanduk bertuliskan: ”Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment”.

Manfaat yang Tidak Seimbang

Manfaat keberadaan Freeport di tanah Papua bagi Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua terasa tak seimbang dengan penerimaan Freeport dan permasalahan yang ditimbulkan PT Freeport Indonesia (FI) pada kehidupan rakyat Papua. Per 31 Desember 2011 Freeport memiliki cadangan 119,7 miliar pound tembaga, 33,9 juta ounce emas, 330,3 juta ounce perak, dan 0,86 miliar pound kobalt. Sebanyak 95 persen cadangan Freeport itu ada di tambang Grasberg, Papua.

Pada 20 Desember 2010, cadangan tambang Grasberg 2.574.744 ton dengan kadar tembaga 0,98 persen, emas 0,83 persen gram per ton (g/t atau part per million – ppm), dan perak 4,11 g/t. PT FI mampu memproses 200.000-250.000 ton bijih per hari. Tambang terbuka Grasberg mengontribusi 75 persen, sedangkan tambang bawah tanah sekitar 25 persen. Dari sisi saham, Freeport McMoran menguasai 90,64 saham PT FI dan hanya 9,36 persen saham yang dimiliki Pemerintah Indonesia! Ini sangat tak adil dan menyakitkan. Bandingkan saham negara Amerika Latin di mana Freeport McMoran juga beroperasi yang mencapai 32 persen.

Dalam laporan keuangan 2010, PT FI menjual 1,2 miliar pound tembaga dengan harga rata-rata 3,69 per pound atau dengan kurs Rp 9.000 setara Rp 39,42 triliun. Freeport juga menjual 1,8 juta ounce emas dengan harga rata-rata 1.271 dollar AS per ounce atau setara Rp 20,59 triliun. Jadi total penjualannya Rp 60,01 triliun. Itu baru dari tembaga dan emas, belum mineral lain, seperti perak dan kobalt. Satu hal yang mencengangkan, majalah Forbes menobatkan James R Moffet, bos besar PT FI, salah satu dari sepuluh pria bergaji tertinggi di dunia: 48 juta dollar AS atau sekitar Rp 432 miliar sepanjang 2006!

Namun, kerusakan lingkungan sebagai dampak dari eksplorasi tambang sangatlah masif! Setiap tahun Indonesia kehilangan 300.000 hektar hutan, belum lagi pencemaran lingkungan akibat pembuangan tailing atau limbah tambang ke lembah Cartenz, lembah Wanagon, dan Sungai Ajkwa. Secara khusus, Sungai Ajkwa mengalami pendangkalan di beberapa titik, dari semula 50 meter, kini tinggal 5 meter. Pada 2001, tailing itu mencapai laut Arafuru dan gradasi pencemaran lautnya mencapai 10 kilometer dari garis pantai.

UU No 4/2009 soal Mineral dan Batubara memerintahkan agar pengelolaan pertambangan minerba harus berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan serta berpihak pada kepentingan bangsa. Paling tidak ada enam isu strategis harus dipatuhi: luas wilayah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.

Freeport selama ini selalu berada di atas angin dalam renegosiasi KK. Perusahaan ini selalu mengusulkan renegosiasi KK ketika ia ingin memperluas wilayah kerja dan memperpanjang KK. Saat inilah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendesak Freeport agar menaikkan royalti emas dari 1 persen menjadi 5-6 persen dan memaksa Freeport memproses gumpalan mineral ini di Tanah Air dan bukan langsung dikirim ke negara-negara pengimpor. Divestasi saham juga harus dilakukan agar negara memiliki saham lebih besar dari yang dimiliki saat ini. Tanpa itu, pemerintah hanyalah komprador asing yang selalu meluluskan kepentingan Freeport.

Kita tak ingin tambang tembaga di Grasberg dan Etsberg jadi daerah konflik berkepanjangan seperti terjadi dengan tambang Panguna di Bougainville, Papua Niugini, ketika Francis Ona dan Bougainville Revolutionary Army angkat senjata pada 1989 dan baru berakhir dengan Kesepakatan Damai pada 2005. Namun, kita juga tak ingin hanya jadi penonton alat-alat pengeruk dan penggergaji bebatuan bekerja 24 jam penuh, alat peledak berdentuman memecah bebatuan, truk- truk raksasa berkapasitas 250-400 ton berseliweran di daerah tambang, pasir mineral digelontorkan melalui pipa-pipa dari gunung ke pelabuhan, dan semua itu bukan kita punya. Jangan sampai setelah KK pada 2041 berakhir, yang tersisa adalah lubang-lubang besar menganga dan limbah beracun yang meluas di daratan, sungai dan lautan, sementara Freeport lari membawa keuntungan ratusan triliun rupiah! Kita tak ingin prahara datang silih berganti di tambang tembaga itu.
Sumber: Kompas, 9 Agustus 2012


 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger