Headlines News :
Home » » Kisah Para Lamafa, Juru Tombak Ikan Paus dari Lamalera

Kisah Para Lamafa, Juru Tombak Ikan Paus dari Lamalera

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, January 21, 2015 | 2:49 PM

MUSIM perburuan ikan paus di Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur, berlangsung pada Mei hingga Oktober. Akhir bulan lalu, wartawan Jawa Pos Tri Mujoko Bayuaji mengikuti aksi perburuan yang menegangkan terhadap spesies terbesar di laut itu.

Berburu ikan paus di laut lepas adalah tradisi unik berumur ratusan tahun yang hidup di tengah warga Lamalera. Selain hanya menggunakan peledang, yakni perahu kayu tradisional sebagai sarana perburuan, terdapat sosok lamafa. Dia memiliki tugas vital, yakni menikam ikan paus hanya dengan menggunakan sebilah tempuling atau tombak.

Karir seorang lamafa atau juru tikam di Desa Lamalera termasuk panjang. Hingga memasuki usia senja, seorang lamafa terbilang masih aktif turun ke laut untuk menikam buruan. Salah seorang lamafa senior yang hingga kini belum pensiun adalah Aloysius Gnesser Tapoona.

Alo –sapaan akrabnya– sudah berusia 59 tahun. Pada Oktober nanti, usianya sudah genap 60 tahun. Alo menuturkan, sejak 1976 memulai pekerjaannya sebagai seorang lamafa. Alo mengaku banyak belajar dari lamafa senior di masa itu. ”Saya waktu itu masih 22 tahun,” ungkapnya saat dikunjungi Jawa Pos di kediamannya di Desa Lamalera.

Sebelum menjadi lamafa, Alo hanyalah seorang pemuda yang kadang-kadang membantu ayahnya melaut. Ayahnya adalah seorang lamauri atau juru kemudi. Alo belajar menjadi lamafa tidak melalui latihan langsung, tetapi hanya mendengar dari perbincangan para lamafa ketika itu.

”Kalau zaman dulu, para lamafa sering berkumpul bersama jadi satu. Mereka duduk melingkar. Tugas saya mengedarkan tuak ke mereka,” kata Alo.

Selama minum tuak, para lamafa itu mulai merasakan mabuk. Biasanya, kata Alo, ketika itu ada saja seorang lamafa yang bercerita pengalaman-pengalamannya saat di laut. ”Ada yang cerita salah tikam, lalu yang lamafa lain menimpali, terus kasih nasihat begini baiknya. Jadi, saya awalnya memang belajar dari orang mabuk,” tuturnya sambil tertawa.

Dahulu pekerjaan lamafa diwariskan turun-temurun. Menurut Alo, di masa lalu bapak para lamafa rata-rata kikir ilmu. Dirinya bersama sejumlah pemuda saat itu adalah pendobrak tradisi, belajar menjadi lamafa hanya dengan cerita-cerita pengalaman saja. ”Kalau sekarang, saya punya banyak mahasiswa lamafa. Biasanya, kalau ada baleo (panggilan paus terlihat, Red) selalu saya panggil untuk bersama ke laut,” ujarnya.

Syarat menjadi seorang lamafa, kata Alo, adalah mental. Lamafa memiliki posisi krusial di perahu karena dituntut memiliki mental kuat dan mampu mengambil keputusan saat berburu. Selain itu, seorang lamafa harus bisa berdiri di haluan depan perahu selama berjam-jam saat melakukan perburuan.

”Masalah saat tikam tidak tepat sasaran itu lain soal karena bisa diperbaiki. Yang penting berdiri kukuh dulu,” ujarnya.

Berdiri dan memegang tempuling atau tombak sambil menghadapi angin dan ombak tentu bukan hal yang mudah. Alo menuturkan, banyak orang yang bertanya mengapa seorang lamafa mampu berdiri di haluan tempuling dengan mudahnya. ”Yang penting adalah perut dan lutut tidak boleh kaku. Ikuti saja ke mana arah tamparan ombak,” ujarnya.

Untuk menjadi lamafa yang tangguh, lanjut Alo, seseorang harus belajar menangkap ikan kecil dahulu. Tetapi, Alo menyebut ”ikan kecil” yang dimaksud adalah menangkap atau membunuh ikan pari yang besarnya bisa mencapai satu meja makan. ”Kalau bisa sekali di perahu bisa tikam dua sampai tiga ikan pari, itu lamafa yang hebat. Kalau tikam ikan paus kan seperti tikam batu saja. Dia kan besar,” ujar Alo, memberikan gambaran.

Selain berburu ikan pari, para nelayan Lamalera juga berburu hiu. Hiu yang disasar pun mulai dari paus hiu, hiu martil, hiu putih. Tidak jarang, dijumpai nelayan Lamalera yang mendapatkan lumba-lumba hingga ikan kecil seperti tuna dan ikan terbang untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk ikan kecil, biasanya para nelayan cukup menggunakan cara konvensional, yakni menggunakan jala nilon seperti halnya nelayan wilayah lain.

Seorang lamafa juga bisa diibaratkan seorang pemimpin saat perburuan. Sebab, saat melihat baleo, lamafa akan memimpin doa sebelum peledang turun melakukan perburuan. Lamafa bersama matros (tukang dayung), breung alep (asisten lamafa), dan lamauri juga tidak boleh memiliki masalah saat di darat. Masalah itu harus diselesaikan agar perburuan berjalan lancar. ”Karena kalau masih ada masalah, perburuan terkadang sulit. Ikan terus melawan, tangkapan pun bisa lepas,” ujar Alo, mengingatkan.

Jika ada masalah di darat, kata Alo, terdapat ungkapan seperti sora gei kene levo, levo rae sare hala. Ungkapan itu kurang lebih berarti bahwa kerbau (paus, Red) tidak jinak, ada masalah di kampung. ”Masalah itu bisa karena pribadi, tetapi biasanya itu masalah antarkampung,” ujarnya.

Selama lebih dari 35 tahun menjadi lamafa, Alo sudah mendapatkan lebih dari 100 paus. Sebab, dalam beberapa waktu ada masa banyak paus yang bermigrasi sehingga nelayan di Lamalera bisa mendapatkan banyak paus. Namun, lebih banyak waktu ketika Paus jarang terlihat. ”Kalau untuk tahun ini, sudah ada enam paus ditangkap,” tutur Alo.


Untuk mendapatkan paus, nelayan di Lamalera tidak begitu saja terjun ke laut dan mencari hingga ke tengah samudra Laut Sawu. Mereka tetap beraktivitas di darat, sambil sewaktu-waktu melihat ke lautan. Siapa pun yang melihat paus akan meneriakkan baleo, kemudian disambung bersahut-sahutan memenuhi isi desa. ”Siapa tahu ada semburan muncul atau ada lompatan. Nah, itu paus datang ke kami,” ujarnya.

Semburan yang dimaksud adalah pancaran air yang dikeluarkan paus saat muncul di permukaan. Nelayan di Lamalera selalu mengincar paus sperma atau koteklema yang memiliki semburan tepat di atas kening. Nelayan Lamalera tidak memburu paus biru atau kelaru yang memiliki semburan tepat di atas kepala mereka. ”Kami tidak memburu kelaru karena itu perintah nenek moyang,” kata Alo.

Selain koteklema, nelayan Lamalera juga memburu orca atau paus pembunuh. Dalam istilah Lamalera, paus pembunuh disebut dengan seguni. ”Tapi, seguni jarang lewat ke sini. Biasanya satu kali setahun atau tidak sama sekali. Seguni juga ganas karena berontak lebih parah,” ujarnya.

Jawa Pos yang sudah menyiapkan diri untuk mengikuti perburuan paus terpaksa harus gigit jari. Sebab, ditunggui sampai tujuh hari, paus sperma tidak kunjung muncul. Selama sepekan itu, para penduduk Desa Lamalera melakukan serangkaian prosesi adat, sambil melihat Laut Sawu, barangkali ada koteklema yang terlihat. Para nelayan hanya menemukan semburan kelaru atau paus biru. Kelaru yang terlihat sangat dekat, hanya sekitar 200 meter dari bibir pantai Laut Sawu.

Tantangan seorang lamafa saat menaklukkan paus terjadi ketika akan menghunjamkan tombak. Untuk koteklema, tombak dihunjamkan tepat di belakang kepala karena di situlah bagian yang lunak. Sebaliknya, memburu seguni lebih sulit karena para nelayan Lamalera mengincar bagian ketiaknya agar tempuling bisa menusuk langsung ke jantung paus pembunuh itu.

”Kalau sudah kena tikam, pasti perahu diseret bisa masuk ke dalam,” kata Alo.

Tikaman pertama amat krusial. Nyawa lamafa dan awak perahu menjadi taruhan. Sebab, satu sabetan ekor paus bisa seketika menghancurkan perahu nelayan. Para nelayan harus menunggu sampai paus itu lemas. Dalam hitung-hitungan Alo, biasanya paus akan lemas setelah 45–50 menit. Darah akan menggenangi laut dan paus akan kembali ke permukaan.

Saat itu paus akan didekati dan awak perahu terjun ke badan paus untuk kembali melakukan tikaman dengan pisau. Jika perlu, tikaman bisa dilakukan hingga berkali-kali. Tujuannya, memastikan paus itu mati saat dibawa ke darat.

Lamafa senior lainnya, Rofinus Sanga, 57 tahun, menyebut jika yang diburu adalah satu atau dua paus, prosesnya akan relatif lebih mudah. Aturannya, peledang yang pertama berada di dekat paus itulah yang berhak untuk menikam lebih dulu. Peledang lain hanya bisa menunggu dan bisa membantu jika peledang yang pertama membutuhkan bantuan. ”Tapi, lain persoalan jika pausnya bergerombol,” kata Sanga saat ditemui tengah berada di pinggir pantai utama Desa Lamalera.

Sanga mengibaratkan paus yang bermigrasi sendirian itu seperti remaja yang tengah pergi berpetualang sendiri. Jika ada gerombolan paus, itu adalah kumpulan keluarga besar, mulai dari yang paling tua dan paling besar, sampai ke keturunannya yang memiliki ukuran agak kecil. ”Itu mulai dari ibunya sampai cucu-cucunya, ada semua. Terkadang sampai 30 ekor,” ujar Sanga.

Risiko yang sering terjadi di perburuan paus berkelompok, kata Sanga, adalah tali yang terkait dengan tempuling akan terbelit-belit. Karena paus akan berontak dan bergerak ke sana kemari. Karena itu, sebelum menancapkan tempuling, setiap peledang harus tetap bersabar, sambil berusaha memisahkan kelompok paus besar itu dalam jarak perburuan yang berbeda. ”Lebih baik tangkap lebih banyak paus karena banyak orang di desa yang menunggu,” ujarnya.

Selain perburuannya yag menegangkan, pembagian daging paus hasil buruan juga merupakan ciri khas tersendiri masyarakat Lamalera. Sanga menyatakan, pembagian daging paus sudah merupakan kebiasaan turun-temurun sehingga dipastikan tidak ada rebutan saat daging itu dipotong. Intinya, pihak yang memiliki keterkaitan dengan Desa Lamalera, dengan perahu yang mendapatkan paus, akan mendapatkan haknya.

”Masing-masing sudah tahu hak dan pembagiannya,” ujarnya. Pola pembagian ini memang dikhususkan untuk ikan-ikan yang berukuran besar.

Untuk mereka yang berburu di laut, sudah ada aturan pembagiannya. Sanga memberikan contoh, selain peledang, ada juga perahu johnson atau perahu dengan motor yang mengikuti perburuan. Jika di peledang ada sembilan awak perahu dan di johnson ada dua awak, mereka semua mendapatkan haknya.  ”Di johnson itu ada tukang kemudi, ada tukang bantu tarik tali,” ujarnya.

Para awak perahu mendapatkan bagian paus yang diistilahkan dengan meng. Untuk meng ini, banyak bagian yang bisa dipotong dan dibagi-bagikan ke awak perahu.

Benda mati pun, kata Sanga, juga mendapatkan hak daging paus. Peledang dan johnson akan mendapatkan bagian. Ini belum termasuk hak yang didapat pemilik peledang dan pemilik johnson. Atamola atau arsitek pembuat perahu meski tidak memiliki peledang dan johnson juga mendapatkan haknya.

Bagian sirip kanan dan kiri, misalnya, sudah dipastikan masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan kepada lango fujo atau suku tuan tanah. Ekor dibagi menjadi banyak bagian karena di sana terdapat hak lamafa, laba ketilo, matros, lamauri. Para janda juga mendapatkan hak daging paus. ”Mama janda pasti mendapatkan hak karena mereka biasanya kasih jagung atau kasih rokok ke kami,” ujarnya. 
Sumber: Jawa Pos, 5 Juni 2014
Ket foto: Lamafa Aloysius Gnesser Tapoona (gbr 1) bersama sang kakak (gbr 2).
Dok foto:Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger