MUSIM perburuan ikan paus di Desa Lamalera,
Nusa Tenggara Timur, berlangsung pada Mei hingga Oktober. Akhir bulan lalu,
wartawan Jawa Pos Tri Mujoko Bayuaji mengikuti aksi perburuan yang menegangkan
terhadap spesies terbesar di laut itu.
Berburu ikan paus di laut lepas adalah
tradisi unik berumur ratusan tahun yang hidup di tengah warga Lamalera. Selain
hanya menggunakan peledang, yakni perahu kayu tradisional sebagai sarana
perburuan, terdapat sosok lamafa. Dia memiliki tugas vital, yakni menikam ikan
paus hanya dengan menggunakan sebilah tempuling atau tombak.
Karir seorang lamafa atau juru tikam di Desa
Lamalera termasuk panjang. Hingga memasuki usia senja, seorang lamafa terbilang
masih aktif turun ke laut untuk menikam buruan. Salah seorang lamafa senior
yang hingga kini belum pensiun adalah Aloysius Gnesser Tapoona.
Alo –sapaan akrabnya– sudah berusia 59 tahun.
Pada Oktober nanti, usianya sudah genap 60 tahun. Alo menuturkan, sejak 1976
memulai pekerjaannya sebagai seorang lamafa. Alo mengaku banyak belajar dari
lamafa senior di masa itu. ”Saya waktu itu masih 22 tahun,” ungkapnya saat
dikunjungi Jawa Pos di kediamannya di Desa Lamalera.
Sebelum menjadi lamafa, Alo hanyalah seorang
pemuda yang kadang-kadang membantu ayahnya melaut. Ayahnya adalah seorang lamauri atau juru kemudi. Alo belajar
menjadi lamafa tidak melalui latihan langsung, tetapi hanya mendengar dari
perbincangan para lamafa ketika itu.
”Kalau zaman dulu, para lamafa sering
berkumpul bersama jadi satu. Mereka duduk melingkar. Tugas saya mengedarkan
tuak ke mereka,” kata Alo.
Selama minum tuak, para lamafa itu mulai
merasakan mabuk. Biasanya, kata Alo, ketika itu ada saja seorang lamafa yang
bercerita pengalaman-pengalamannya saat di laut. ”Ada yang cerita salah tikam,
lalu yang lamafa lain menimpali, terus kasih nasihat begini baiknya. Jadi, saya
awalnya memang belajar dari orang mabuk,” tuturnya sambil tertawa.
Dahulu pekerjaan lamafa diwariskan
turun-temurun. Menurut Alo, di masa lalu bapak para lamafa rata-rata kikir
ilmu. Dirinya bersama sejumlah pemuda saat itu adalah pendobrak tradisi,
belajar menjadi lamafa hanya dengan cerita-cerita pengalaman saja. ”Kalau
sekarang, saya punya banyak mahasiswa lamafa. Biasanya, kalau ada baleo
(panggilan paus terlihat, Red) selalu saya panggil untuk bersama ke laut,”
ujarnya.
Syarat menjadi seorang lamafa, kata Alo,
adalah mental. Lamafa memiliki posisi krusial di perahu karena dituntut
memiliki mental kuat dan mampu mengambil keputusan saat berburu. Selain itu,
seorang lamafa harus bisa berdiri di haluan depan perahu selama berjam-jam saat
melakukan perburuan.
”Masalah saat tikam tidak tepat sasaran itu
lain soal karena bisa diperbaiki. Yang penting berdiri kukuh dulu,” ujarnya.
Berdiri dan memegang tempuling atau tombak
sambil menghadapi angin dan ombak tentu bukan hal yang mudah. Alo menuturkan,
banyak orang yang bertanya mengapa seorang lamafa mampu berdiri di haluan
tempuling dengan mudahnya. ”Yang penting adalah perut dan lutut tidak boleh
kaku. Ikuti saja ke mana arah tamparan ombak,” ujarnya.
Untuk menjadi lamafa yang tangguh, lanjut
Alo, seseorang harus belajar menangkap ikan kecil dahulu. Tetapi, Alo menyebut
”ikan kecil” yang dimaksud adalah menangkap atau membunuh ikan pari yang
besarnya bisa mencapai satu meja makan. ”Kalau bisa sekali di perahu bisa tikam
dua sampai tiga ikan pari, itu lamafa yang hebat. Kalau tikam ikan paus kan
seperti tikam batu saja. Dia kan besar,” ujar Alo, memberikan gambaran.
Selain berburu ikan pari, para nelayan
Lamalera juga berburu hiu. Hiu yang disasar pun mulai dari paus hiu, hiu
martil, hiu putih. Tidak jarang, dijumpai nelayan Lamalera yang mendapatkan
lumba-lumba hingga ikan kecil seperti tuna dan ikan terbang untuk kebutuhan
sehari-hari. Untuk ikan kecil, biasanya para nelayan cukup menggunakan cara
konvensional, yakni menggunakan jala nilon seperti halnya nelayan wilayah lain.
Seorang lamafa juga bisa diibaratkan seorang
pemimpin saat perburuan. Sebab, saat melihat baleo, lamafa akan memimpin doa
sebelum peledang turun melakukan perburuan. Lamafa bersama matros (tukang dayung), breung
alep (asisten lamafa), dan lamauri juga
tidak boleh memiliki masalah saat di darat. Masalah itu harus diselesaikan agar
perburuan berjalan lancar. ”Karena kalau masih ada masalah, perburuan terkadang
sulit. Ikan terus melawan, tangkapan pun bisa lepas,” ujar Alo, mengingatkan.
Jika ada masalah di darat, kata Alo, terdapat
ungkapan seperti sora gei kene levo, levo rae sare hala. Ungkapan itu kurang
lebih berarti bahwa kerbau (paus, Red) tidak jinak, ada masalah di kampung.
”Masalah itu bisa karena pribadi, tetapi biasanya itu masalah antarkampung,”
ujarnya.
Selama lebih dari 35 tahun menjadi lamafa,
Alo sudah mendapatkan lebih dari 100 paus. Sebab, dalam beberapa waktu ada masa
banyak paus yang bermigrasi sehingga nelayan di Lamalera bisa mendapatkan
banyak paus. Namun, lebih banyak waktu ketika Paus jarang terlihat. ”Kalau
untuk tahun ini, sudah ada enam paus ditangkap,” tutur Alo.
Untuk mendapatkan paus, nelayan di Lamalera
tidak begitu saja terjun ke laut dan mencari hingga ke tengah samudra Laut
Sawu. Mereka tetap beraktivitas di darat, sambil sewaktu-waktu melihat ke
lautan. Siapa pun yang melihat paus akan meneriakkan baleo, kemudian disambung
bersahut-sahutan memenuhi isi desa. ”Siapa tahu ada semburan muncul atau ada
lompatan. Nah, itu paus datang ke kami,” ujarnya.
Semburan yang dimaksud adalah pancaran air
yang dikeluarkan paus saat muncul di permukaan. Nelayan di Lamalera selalu
mengincar paus sperma atau koteklema yang memiliki semburan tepat di atas
kening. Nelayan Lamalera tidak memburu paus biru atau kelaru yang memiliki
semburan tepat di atas kepala mereka. ”Kami tidak memburu kelaru karena itu
perintah nenek moyang,” kata Alo.
Selain koteklema, nelayan Lamalera juga
memburu orca atau paus pembunuh. Dalam istilah Lamalera, paus pembunuh disebut
dengan seguni. ”Tapi, seguni jarang lewat ke sini. Biasanya satu kali setahun
atau tidak sama sekali. Seguni juga ganas karena berontak lebih parah,”
ujarnya.
Jawa Pos yang sudah menyiapkan diri untuk
mengikuti perburuan paus terpaksa harus gigit jari. Sebab, ditunggui sampai
tujuh hari, paus sperma tidak kunjung muncul. Selama sepekan itu, para penduduk
Desa Lamalera melakukan serangkaian prosesi adat, sambil melihat Laut Sawu,
barangkali ada koteklema yang terlihat. Para nelayan hanya menemukan semburan
kelaru atau paus biru. Kelaru yang terlihat sangat dekat, hanya sekitar 200
meter dari bibir pantai Laut Sawu.
Tantangan seorang lamafa saat menaklukkan
paus terjadi ketika akan menghunjamkan tombak. Untuk koteklema, tombak
dihunjamkan tepat di belakang kepala karena di situlah bagian yang lunak.
Sebaliknya, memburu seguni lebih sulit karena para nelayan Lamalera mengincar
bagian ketiaknya agar tempuling bisa menusuk langsung ke jantung paus pembunuh
itu.
”Kalau sudah kena tikam, pasti perahu diseret
bisa masuk ke dalam,” kata Alo.
Tikaman pertama amat krusial. Nyawa lamafa
dan awak perahu menjadi taruhan. Sebab, satu sabetan ekor paus bisa seketika menghancurkan
perahu nelayan. Para nelayan harus menunggu sampai paus itu lemas. Dalam
hitung-hitungan Alo, biasanya paus akan lemas setelah 45–50 menit. Darah akan
menggenangi laut dan paus akan kembali ke permukaan.
Saat itu paus akan didekati dan awak perahu
terjun ke badan paus untuk kembali melakukan tikaman dengan pisau. Jika perlu,
tikaman bisa dilakukan hingga berkali-kali. Tujuannya, memastikan paus itu mati
saat dibawa ke darat.
Lamafa senior lainnya, Rofinus Sanga, 57
tahun, menyebut jika yang diburu adalah satu atau dua paus, prosesnya akan
relatif lebih mudah. Aturannya, peledang yang pertama berada di dekat paus
itulah yang berhak untuk menikam lebih dulu. Peledang lain hanya bisa menunggu
dan bisa membantu jika peledang yang pertama membutuhkan bantuan. ”Tapi, lain
persoalan jika pausnya bergerombol,” kata Sanga saat ditemui tengah berada di
pinggir pantai utama Desa Lamalera.
Sanga mengibaratkan paus yang bermigrasi
sendirian itu seperti remaja yang tengah pergi berpetualang sendiri. Jika ada
gerombolan paus, itu adalah kumpulan keluarga besar, mulai dari yang paling tua
dan paling besar, sampai ke keturunannya yang memiliki ukuran agak kecil. ”Itu
mulai dari ibunya sampai cucu-cucunya, ada semua. Terkadang sampai 30 ekor,”
ujar Sanga.
Risiko yang sering terjadi di perburuan paus
berkelompok, kata Sanga, adalah tali yang terkait dengan tempuling akan
terbelit-belit. Karena paus akan berontak dan bergerak ke sana kemari. Karena
itu, sebelum menancapkan tempuling, setiap peledang harus tetap bersabar,
sambil berusaha memisahkan kelompok paus besar itu dalam jarak perburuan yang
berbeda. ”Lebih baik tangkap lebih banyak paus karena banyak orang di desa yang
menunggu,” ujarnya.
Selain perburuannya yag menegangkan,
pembagian daging paus hasil buruan juga merupakan ciri khas tersendiri
masyarakat Lamalera. Sanga menyatakan, pembagian daging paus sudah merupakan
kebiasaan turun-temurun sehingga dipastikan tidak ada rebutan saat daging itu
dipotong. Intinya, pihak yang memiliki keterkaitan dengan Desa Lamalera, dengan
perahu yang mendapatkan paus, akan mendapatkan haknya.
”Masing-masing sudah tahu hak dan
pembagiannya,” ujarnya. Pola pembagian ini memang dikhususkan untuk ikan-ikan
yang berukuran besar.
Untuk mereka yang berburu di laut, sudah ada
aturan pembagiannya. Sanga memberikan contoh, selain peledang, ada juga perahu
johnson atau perahu dengan motor yang mengikuti perburuan. Jika di peledang ada
sembilan awak perahu dan di johnson ada dua awak, mereka semua mendapatkan
haknya. ”Di johnson itu ada tukang
kemudi, ada tukang bantu tarik tali,” ujarnya.
Para awak perahu mendapatkan bagian paus yang
diistilahkan dengan meng. Untuk meng ini, banyak bagian yang bisa dipotong dan
dibagi-bagikan ke awak perahu.
Benda mati pun, kata Sanga, juga mendapatkan
hak daging paus. Peledang dan johnson akan mendapatkan bagian. Ini belum
termasuk hak yang didapat pemilik peledang dan pemilik johnson. Atamola atau
arsitek pembuat perahu meski tidak memiliki peledang dan johnson juga
mendapatkan haknya.
Bagian sirip kanan dan kiri, misalnya, sudah
dipastikan masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan
kepada lango fujo atau suku tuan tanah. Ekor dibagi menjadi banyak bagian karena
di sana terdapat hak lamafa, laba ketilo, matros, lamauri. Para janda juga
mendapatkan hak daging paus. ”Mama janda pasti mendapatkan hak karena mereka
biasanya kasih jagung atau kasih rokok ke kami,” ujarnya.
Sumber: Jawa Pos, 5
Juni 2014
Ket foto: Lamafa Aloysius Gnesser Tapoona (gbr 1) bersama sang kakak (gbr 2).
Dok foto:Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!