Oleh Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
TAHUN 1961, saat
diadili di Jerusalem, seusai ditangkap di pinggiran Buenos Aires pada 11 Mei
1960, Adolf Eichmann bersikukuh tidak bersalah atas pembantaian lebih dari 6
juta orang Yahudi oleh Nazi. Ia menolak adanya motif personal.
Eichmann
hanyalah arsitek dari "solusi final" mekanisme Hitler mengatasi
masalah Yahudi (Arendt, 1963; Harel, 1975). Hannah Arendt (1963)-filsuf modern
Jerman berdarah Yahudi yang meliput langsung persidangan Eichmann-menyimpulkan
ini sebagai BanalitÄt des BÖsen, banalitas kejahatan. Ada desepsi diri yang
total sehingga kejahatan terasa sesuatu yang netral, di dalamnya tak ada
pengakuan dan penyesalan.
Mengapa
umumnya koruptor tersenyum di layar kaca seperti pemain sinetron dadakan? Kaum
moralis klasik berkesimpulan, mereka mengalami penumpulan sensibilitas moral
secara konstan yang berdampak pada hilangnya rasa malu secara permanen.
Benarkah semudah itu?
Dari
pengalaman Eichmann, kita mengerti tanggung jawab atas tindakan politik selalu
menjadi perdebatan. Apakah pegawai rendahan Gayus Tambunan dalam megakorupsi
pajak cukup bertanggung jawab sendiri atau semestinya secara kolektif? Apakah
Prasetyo, M Taufik, dan semua anggota DPRD DKI Jakarta digerakkan oleh motivasi
personal atau kolektif untuk menggalang hak angket atas Basuki Tjahaja Purnama?
Apakah Rp 12,1 triliun yang diduga dana siluman wujud dari ambisi personal atau
sistem?
Masalah etika
jabatan selalu melahirkan dua bentuk tanggung jawab: personal dan kolektif.
Diminusi tanggung jawab pribadi biasa terjadi dalam konteksabuse of power
dengan alasan "atas perintah atasan" dan untuk "kebaikan
bersama" sistem. Korupsi politik modern tak pernah bersifat tunggal. Ia
selalu merupakan kerja kolektif sebagai modus vivendi, cara sistem bertahan
hidup. Tidak usah heran mengapa politisi kaya melakukan korupsi atau bekas
tokoh agama menjadi arsitek korupsi sistemik.
Tak bisa
dimungkiri, ada instink individual dalam melakukan kejahatan. Selalu ada porsi
ambisi pribadi di dalam korupsi besar. Hanya saja, porsi itu tidak bisa bekerja
tanpa dorongan dan penguatan oleh ambisi kolektif.
Stimulasi
penjara dalam eksperimen Philip Zimbardo (1971) memberikan konfirmasi yang
baik: bahwa dalam kondisi terkunci, terikat oleh hubungan otoriter yang
hierarkal, imposisi aturan, dan relasi kekuasaan yang tak setara, manusia
bertindak secara tertentu. Eksperimen yang seharusnya dua minggu, dihentikan
pada hari keenam karena adanya kebrutalan psikologis dan fisik yang menyentuh
ambang batas. Para mahasiswa yang terlibat eksperimen terkejut melihat video
selama mereka dalam penjara.
Studi ini
menegaskan, sistem yang kuat dan hierarki posisi yang tegas membentuk tindakan
seseorang. Tesis ini penting untuk memahami bahwa moralitas personal tak begitu
punya korelasi langsung dengan tindakan korupsi. Pelaku langsung korupsi
politik adalah onderdil dari mesin korupsi yang melibatkan banyak tangan,
posisi, dan peran. Maka, memberantas korupsi secara menyeluruh seharusnya
dengan menghancurkan logika dasar dan sistem kerja dari korupsi, bukan hanya
dengan memborgol tangan-tangan kelihatan.
Orientasi etis
Ada dua
orientasi dalam etika, yaitu orientasi deontologis dan orientasi teleologis
(Cooper, 2012). Orientasi deontologis fokus pada penegakan prinsip etis,
seperti keadilan, kebebasan, dan kebenaran. Orientasi teleologis memikirkan
konsekuensi lanjutan dari penegakan prinsip etis tersebut. Kaum utilitarian
kebanyakan menganut alur ini.
Dalam konteks
ini, kita bisa menemukan akar kemelut DPRD DKI Jakarta dan Gubernur Basuki
Tjahaja Purnama. Pertama, korupsi sistemik sudah menjadimodus vivendi, cara
bertahan hidup, dari kelompok politik. Di dalamnya individu mengalami desepsi
diri secara total. Koruptor tak merasa korupsi. Maka tak ada penyesalan. Malah,
mereka semakin galak. Inilah ekspresi lain dari pengalaman Eichmann soal
banalitas kejahatan.
Kedua, masalah
etika jabatan. Dalam sistem yang korup, prinsip etis hanyalah naskah, bukan
tindakan. Terjadi krisis kesadaran teleologis dalam mengaitkan tindakan politik
dengan kebaikan umum. Tindakan politik tak lebih dari sekadar "perintah
sistem" sehingga ketika sistem "memerintahkan" korupsi melalui
kebijakan, setiap unsur yang ada di dalam sistem akan bekerja dengan baik.
Maka, tidak aneh kalau SKPD sejalan dengan DPRD dalam rapat soal anggaran!
Konflik
menjadi tajam karena Basuki melihat masalah sebagai masalah, sementara lawannya
sama sekali tak melihat masalah. Ini bukan soal kepura-puraan. Mereka bekerja
dengan logika kolektif yang terbangun secara tak sadar sehingga mereka pun
tidak sadar bahwa itu masalah. Komunikasi adalah solusi paling murah, tetapi
paling menyesatkan. Politik yang seperti ini tidak pernah bisa diselesaikan
dengan dialog. Di permukaan, ini memang konflik dua kamar: eksekutif vs
legislatif. Namun, di balik layar, ini perang kekuatan politik: kekuatan yang
memproduksi korupsi sistemik dan kekuatan yang melawannya. Islah itu pendekatan
moral konvensional, sementara ini kejahatan non-konvensional. Penegakan hukum
adalah solusi yang ideal. Biarkan KPK bekerja menyelidiki potensi korupsi dalam
APBD yang diajukan DPRD. Pembuktian itu tidak hanya menentukan salah-benar,
tetapi juga memberi efek terapi jangka panjang: bahwa modus korupsi sistemik
melalui kebijakan terbongkar. Pelaku lain, dalam konteks lain, akan berpikir
ulang untuk melakukan praktik serupa.
Sumber: Kompas, 18 Maret 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!