Headlines News :
Home » » Iba Anak Sulung Aidit

Iba Anak Sulung Aidit

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, September 14, 2015 | 12:03 PM

Oleh Oleh Franz Magnis-Suseno, SJ 
Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Jakarta 

IBARRURI Puteri Alam atau akrab disapa Iba, adalah nama anak sulung Dipa Nusantara Aidit, ketua terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI). Nama Ibarruri dipilih Aidit karena kekagumannya terhadap Dolores Ibarruri, pendekar legendaris Partai Komunis Spanyol dalam perang saudara Spanyol 1936-1939. Dan buku ini adalah otobiografi (bukan "roman biografis" seperti ditulis penerbit) Ibarruri Puteri Alam ini.

Untuk mengatakannya langsung: Ini buku bagus luar biasa. Ditulis dengan gaya menarik, enak dibaca, tanpa uraian-uraian teoretis berat, dalam bahasa yang lancar, tanpa nada-nada pahit, faktual, dan menarik dari permulaan sampai akhir, dalam bahasa yang hidup-personal, tetapi tak pernah emosional. Buku ini termasuk buku yang bisa dibaca dari permulaan sampai akhir tanpa mau berhenti.

Bagi saya yang mengasyikkan adalah melalui buku ini saya bisa menyaksikan bagaimana seorang anak tokoh komunis, yang sejak kecil sudah di luar negeri, kemudian tak bisa kembali ke Indonesia karena orang-orang komunis di tanah air dikejar, ditahan atau dibunuh, merasakan diri dan berkomunikasi.

Berkomunikasi biasa dengan anggota keluarga, dengan kawan-kawan yang kebanyakan berlatar belakang komunitas Partai Komunis Indonesia juga. Dia sebagai puteri Ketua Partai Komunis terbesar di dunia non-komunis. Dan meskipun sikapnya tegas yakin bahwa partai ayahnya adalah partai yang pro-rakyat, suatu keyakinan yang tak pernah goyang -kiranya ia mewarisinya dari ibunya Soetanti, -tetapi Iba tanpa pernah menjadi ideologis, tak pernah menggurui, tak pernah menegaskan bahwa ia memiliki kebenaran sejarah (yang menjadi keyakinan dasar Marxisme-Leninisme).

Membaca buku Iba kita mulai mengerti sesuatu yang saya anggap teramat penting: bahwa orang Komunis pun orang normal-biasa-tidak biadab-manusiawi dalam arti baik dan juga dengan segala kelemahannya. Dalam arti ini buku Iba, meskipun itu kiranya sama sekali di luar pikirannya, merupakan sebuah demitologisasi terhadap sosok identitas komunis-ngeri sebagaimana disuntikkan oleh Orde Baru Suharto ke dalam kesadaran kolektif bangsa Indonesia.

Kita bisa jadi bertanya: kalau pun kita (saya) menolak partai komunis karena alasan politik, tetapi kok bagaimana sampai kita jadi mengucilkan, menahan sambil menyiksa serta memperkosa selama bertahun-tahun, mempersetan dan membunuh orang-orang itu? Setan apa yang merasuk ke hati bangsa sehingga sampai bisa berbuat biadab begitu terhadap jutaan saudara dan saudari?

Tahun 1970 mereka sampai di Beijing. Tiongkok masih dalam suasana Revolusi Kebudayaan tetapi suasana fanatik semula sudah surut, ekses-eksesnya sudah tidak mencolok. Iba terkesan dengan perbedaan cara ia dan Ilya disambut di Beijing daripada di Moskow.

Pengalaman paling mengesan didapatinya pada hari buruh tanggal 1 Mei 1970. Iba dan Ilya diundang menyaksikan kembang api di Tian An Men dari tribun VIP. Mendadak ada petugas memanggil mereka, mereka naik lift. Di lantai paling atas mereka ternyata sudah ditunggu oleh Perdana Menteri "kawan" Zhou Enlai yang membawa mereka langsung menemui Mao Zedong Sang Ketua Agung sendiri (Pembesrevnya Revolusi Kebudayaan) yang antara lain didampingi oleh Pangeran Sihanouk, raja Kamboja (yang baru saja dikudeta oleh Jenderal Lonnol dengan dukungan Amerika Serikat), dan istrinya Ratu Monique.

Mao memandang Iba dan Ilya dengan ramah dan hanya mengungkapkan kalimat "Melawan revisionisme adalah baik, harus terus berjuang melawan revisionisme" (revisionisme tentunya "dosa" PKUS).

Pertanyaan ini adalah pertanyaan pembahas, Iba sendiri tidak menulis begitu. Iba memang juga bertanya, ia suka menempatkan apa yang dialami rakyat Indonesia, ayah dan ibunya dan rekan-rekan komunisnya ke dalam konteks Mahabharata, tetapi ia melakukannya dengan tenang, seakan-akan (ya memang!) tidak bisa mengerti apa yang terjadi di Indonesia. Justru karena buku ini tidak ideologis, dan karena buku ini bebas dari segala nafsu dendam dan dari keinginan membuat perhitungan, buku ini begitu mengesan.

Kita jadi tahu tentang pemuda D. N. Aidit yang belum berumur 30 tahun, yang bersama dua pemuda lain, Nyoto dan Sudisman, membangun kembali PKI yang hancur sebagai akibat peristiwa Madiun (1948). Ibarruri lahir 1949. Ia menceriterakan bagaimana keluarga Aidit beberapa kali pindah rumah di Jakarta dan selalu hidup sederhana. Kita membaca tentang adik-adik Aidit dan keluarga lain. Dan tentu tentang ibunya, Sutanti, yang oleh kawan dekat disebut Bolletje karena agak sedikit gemuk dan bundar.

Tahun 1958, ia belum berumur sembilan tahun, Iba disekolahkan orangtuanya di Moskow, jadi ia hidup terpisah dari ayah dan ibunya -yang studi doktor di Korea Utara, -namun ada anggota keluarga Aidit juga di Moskow. Kadang-kadang ayahnya datang ke Moskow dengan delegasi PKI. Iba disusul oleh Ilya, adik perempuannya, Ilya, yang juga disekolahkan di Moskow. Bulan Mei 1965 Iba dan Ilya memakai libur sekolah untuk ke Moskow. Iba terkesan oleh semangat PKI dan Pemuda Rakyat.

Ia masa terakhir di mana ia melihat ayah dan ibunya. Pada permulaan bulan September 1965 Iba dan Ilya kembali ke Moskow karena libur sekolah sudah selesai. Iba tidak melupakan bahwa waktu ia berpisah dari ayahnya, ayah kelihatan sepertinya cemas, menyindir kemungkinan akan ada "teror putih" sangat mengerikan. Iba tidak mengerti.

Di Moskow Iba mengikuti dengan rasa ngeri berita-berita dari Jakarta. Semula ia tidak mau percaya bahwa ayahnya dibunuh -dan baru sesudah berkunjung ke Indonesia dengan paspor Prancisnya 2003, ia mendengar dari seorang saksi penangkapan Aidit di Solo bagaimana akhir hidup ayahnya. Dengan ibunya Iba juga tidak bertemu lagi. Sutanti ditangkap 1966 dan karena ia keras kepala ia diperlakukan dengan kejam. Ia baru dilepaskan 1980. Iba hanya beberapa kali bisa bertukar surat dengaan ibunya. Ibunya meninggal 1991, sebelum Iba bisa pulang.

Yang menarik juga tentu pengalaman dan hidup Iba di sekian banyak negara. Selama 12 tahun Iba hidup di Uni Soviet bersama adiknya Ilya. Kita melihat hubungan akrab dalam komunitas Indonesia di Moskow. Tetapi dengan konflik ideologis dan geopolitis antara Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok semakin terbuka, dan sesudah Gerakan 30 September di mana Aidit di Moskow dianggap gegabah karena berpihak ke RRT, masyarakat Indonesia di Moskow mulai dicurigai aparat Soviet.

Aidit dianggap musuh. Dan karena Iba dan Ilya tetap berpihak pada garis pro-RRT PKI mereka semakin mengalami pelbagai pembatasan dan dimata-matai oleh intel-intel Soviet. Akhirnya Iba dan Ilya memutuskan pindah ke Tiongkok.

Dengan tetap menerima perlakuan istimewa sebagai anak Ketua PKI yang dianggap martir Iba dan adiknya kemudian juga ikut bersama dengan pemuda-pemudi Indonesia lain yang terdampar di Tiongkok komunis dikirim ke daerah untuk bekerja di desa. Iba belajar akupunktur dan selama beberapa waktu bekerja dalam rumah sakit pemberontak komunis di Myanmar. 1979 Iba nikah dengan Budiman Sudharsono ("Mas Bud"). Mereka memutuskan pindah ke Makao di mana mereka betul-betul harus hidup dari pekerjaan tangan mereka. Akhirnya perjalanan Iba sebagai pengungsi politik berakhir di Paris.

Buku ini kadang-kadang mengharukan. Kita mendapat pandangan intim ke komunitas orang-orang yang diasingkan karena tak dapat pulang ke tanah air. Iba adalah pengamat yang tajam, dan seperti Ibunya ia tegas dan tidak bersedia berubah haluan dan tetap yakin akan cita-cita ayah, ibu dan partainya. Ia tidak berdebat.

Ia sekali-sekali menyebutkan bahwa di negara-negara komunis juga terjadi hal-hal yang buruk, misalnya dalam Revolusi Kebudayaan di Tiongkok pimpinan Mao. Namun, barangkali ada yang kecewa karena Iba tidak pernah mendiskusikan keberatan-keberatan orang-orang serius non-atau anti-komunis terhadap komunisme, Marxisme-Leninisme, kepemimpinan Mao Zedong di Tiongkok komunis dan lainnya. Iba tidak masuk ke dalam suatu debat teoretis.

Menurut saya itu sebenarnya sesuai logika bukunya. Iba bicara sebagai manusia. Ia tidak mempersoalkan nasib PKI di Indonesia dari sudut politik atau ideologi, tetapi ia mengangkat kejahatan kemanusiaan, keherannya kok orang-orang komunis bisa diperlakukan begitu. Ia kagum dengan sikap tegas ibunya Soetanti. Iba sendiri -tanpa sedikit pun menonjolkan diri -muncul sebagai orang yang berbudi luhur, kuat karakternya, dengan perhatian nyata mendalam untuk orang-orang lemah, dengan rasa keadilan yang tak goyah.

Membaca buku ini saya merasa diperkaya. Buku ini sangat tepat diterbitkan dan diharapkan dibaca banyak orang. Buku ini tidak akan memperdalam perpecahan dalam bangsa Indonesia, melainkan sebaliknya bisa membuat kita sadar bahwa sesuatu seperti yang terjadi sesudah peristiwa Gerakan 30 September tidak boleh terulang lagi, atau, lebih aktual, sadar agar sisa-sisa kecurigaan dan kebencian yang sampai sekarang masih mengancam setiap usaha untuk bersama-sama merefleksikan peristiwa-peristiwa mengerikan itu hendaknya kita lepaskan.

Justru karena buku itu bebas dari segala hasutan dan kebencian serta tenang dan objektif dalam bahasanya, buku ini merupakan sumbangan penting ke arah suatu rekonsiliasi nasional yang hanya mungkin kalau kita berani melihat masa lampau dengan mata, budi dan hati terbuka.


Data Buku

Judul            : Ibarruri Putri Alam, Anak sulung D.N. Aidit
Editor           : Joesoef Isak
Pengantar    : Goenawan Muhamad
Penerbit       : Ledalero 2015
Sumber: Pos Kupang, 13 September 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger