Oleh Paulinus Yan Olla
Rohaniwan Kongregasi MSF;
Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto di Spiritualita
Teresianum
PERNYATAAN Presiden Joko Widodo tentang Indonesia yang mengalami
"demokrasi kebablasan" telah menuai reaksi dari berbagai kalangan,
terutama dari pejabat negara dan petinggi parlemen ataupun parpol.
Alih-alih
menjernihkan praktik demokrasi, ruang publik malah semakin ditaburi suasana
saling menyudutkan antarelite penguasa (Kompas.com, 23/2/2017). Tanpa harus
memberikan label "pengamat" kepada Presiden atas pernyataannya,
seperti dilakukan politisi tertentu, praktik penyelewengan demokrasi memang
terjadi. Indonesia telah dinobatkan The Economist sebagai negara yang cacat
demokrasinya (baca: flawed democracy). Dalam perspektif etis pun, praktik
demokrasi di negeri ini telah lama mengabaikan keutamaan publik.
Hampir lima
tahun silam, penulis dalam opini "Membangun Keutamaan Publik"
(Kompas, 3/9/2012) menegaskan perlunya pembangunan keutamaan publik sebagai
landasan bagi sebuah negara demokratis. Keutamaan publik berbeda, sekaligus
berkaitan dengan keutamaan pribadi.
Keutamaan
pribadi berurusan dengan nilai-nilai seperti integrasi diri, kejujuran, dan
kemampuan mengontrol diri, sedangkan keutamaan publik lebih menunjuk pada
nilai-nilai publik yang perwujudannya berupa pengorbanan kepentingan pribadi
demi pembelaan kepentingan lebih besar sebuah bangsa.
Wacana
"demokrasi kebablasan" sejatinya mengungkapkan situasi keterpurukan
nilai-nilai publik yang telah diderita secara akut bangsa ini. Di negeri ini
makin jarang ditemukan pengorbanan pribadi demi kepentingan-kepentingan bangsa
yang lebih besar. Alih-alih mengorbankan kepentingan pribadi,
kepentingan-kepentingan bangsa dan seluruh rakyat justru sering dibelenggu oleh
kepentingan sektarian dan pemaksaannya melalui mobilisasi kekuatan massa
berbaju SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Laporan Amnesty
International seharusnya menyadarkan banyak pihak untuk melihat betapa
sentralnya keteladanan etis para pemimpin dalam membendung atau memperluas
konflik SARA.
Seperti
diketahui, dalam laporan bertajuk "The State of the World's Human
Rights" yang dirilis di Paris, Perancis (22/2/2017), Amnesty International
telah menobatkan sejumlah kepala negara/pemerintahan, seperti Trump, Duterte,
Erdogan, dan Viktor Orban, sebagai pemecah belah masyarakat melalui retorika
dan agenda-agenda mereka yang dianggap "beracun" (Kompas, 23/2/2017).
Abad kegeraman
Bryan Walsh
mencoba menjelaskan bagaimana globalisasi ekonomi bisa melahirkan para pemimpin
otoriter-populis modern. Menurut dia, dunia kita sedang menjalani suatu
"abad kegeraman" (age of anger) yang bersumber pada suatu sejarah
panjang ketidakpuasan terhadap janji-janji ekonomi yang tak terwujud. Ada
jurang begitu dalam antara harapan-harapan pribadi dalam sanubari terdalam dan
kenyataan pahit yang dialami dalam realitas. Keterpecahan antara kerinduan hati
dan kenyataan itu menimbulkan rasa sakit hati, rasa terhina, dan geram yang
berbaur dalam sentimen penolakan/pemberontakan (ressentiment) terhadap situasi
yang dihadapi.
Dalam situasi
demikian, muncul pemimpin-pemimpin otoriter yang memanfaatkan sentimen-sentimen
negatif dengan menempatkan diri sebagai "pembela" para korban
globalisasi kendati mereka mengabaikan nilai- nilai etis publik ("How the
Enlightenment Predicted Modern Populism", Time, 20/2/2017).
Pemaparan di
atas memperlihatkan betapa penting peran para elite penguasa dalam merajut
keutamaan publik. Namun, yang menyedihkan, baik di tingkat internasional maupun
di Tanah Air, ujaran kebencian, rasisme, pelanggaran HAM, dan pengabaian
berbagai nilai etis di ranah publik kini seakan menjadi "bahasa" yang
dianggap normal.
Sikap,
keputusan, dan ujaran yang bersifat sektarian, koruptif, manipulatif justru
menjadi "mode" yang laku dijual dalam perebutan kekuasaan ataupun
dalam pencapaian tujuan-tujuan sempit pribadi/kelompok. Padahal, dalam situasi
kegeraman, seperti telah diungkapkan, keterpurukan etis yang diteladankan para
pemimpin/elite penguasa mempunyai daya ledak yang bisa menghancurkan seluruh
bangsa.
Indonesia,
seperti negara Asia lain, sebenarnya punya tradisi panjang nilai-nilai budaya
(budaya Timur) yang seharusnya melengkapi demokrasinya. Ironisnya, ketika
bangsa-bangsa Asia lain, seperti Singapura, Korea Selatan, atau Jepang, mampu
mengolah nilai-nilai ketimuran, seperti budaya patriarkal, gotong royong, dan
kekeluargaan, untuk menjadi bangsa pemenang, Indonesia justru kehilangan jati
dirinya melalui politisasi SARA di bawah payung demokrasi.
Untuk
membangun demokrasi, nilai-nilai etis publik tak perlu diimpor dari negeri
asing, jika para pemimpin di negeri ini tetap berpegang pada Pancasila sebagai
"jiwa bangsa" atau "kepribadian bangsa," seperti diyakini
Bung Karno. Demokrasi di Indonesia punya "corak kepribadian kita"
yang tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang dipergunakan bangsa lain
secara teknis (Bung Karno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, 1960: 112).
Di negeri yang
sedang gamang menjalankan demokrasinya ini, sebenarnya sangat dirindukan
lahirnya pemimpin-negarawan yang tak memanipulasi "kegeraman" rakyat
demi kekuasaan sektarian. Kita justru lebih memerlukan pemimpin-pemimpin yang
mampu menjadi panutan rakyat dalam membangun etika publiknya. Hari-hari ini,
ketika demokrasi diselimuti "hawa kegeraman" yang menggerahkan jiwa
dan rawan mencabik keutuhan bangsa, kita merindukan hadirnya pemimpin-pemimpin
yang menjadi pemersatu dan keteladanannya menyejukkan hati. Sayangnya, pemimpin
yang demikian telah semakin jarang kita jumpai di negeri ini.
Sumber: Kompas,
13 Maret 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!