Headlines News :
Home » » Menyingkap Harta Karun Nusalontar

Menyingkap Harta Karun Nusalontar

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, July 16, 2017 | 2:47 PM

SEPULUH perupa NTT memotret daerahnya dengan pendekatan seni rupa pada pameran tiga hari, pada Minggu-Kamis (9-13/7) di Taman Ismail Marzuki. Pameran itu pun menyingkap potensi perupa dan budaya daerah Nusalontar itu.

Mulai saja dari kekayaan warisan budaya dan tradisi. Pada ranah ini, budaya menjadi lokus yang melahirkan kearifan, falsafah, dan cara hidup yang menjiwai setiap tindakan masyarakat NTT. Masyarakat yang hidup di ujung barat Pulau Flores misalnya, memiliki perilaku yang unik dalam membagikan bidang tanah ulayat atau lingko.

Tanah untuk kebun bagi warga kampung dibagi dengan cara atau model jaring laba-laba. Mula-mula di tengah lahan ulayat yang beratus hektare luasnya ditancap tonggak yang disebut mangka. Dari mangka yang menjadi titik pusat ini setiap warga menarik patokan keluar sejauh yang ditentukan. Jadi, tampak setiap warga memiliki kebun menyerupai segitiga sama sisi dengan ujung kerucut pada satu titik pusat. Fakta yang sama juga akan ditemukan dalam model kampung yang berbentuk lingkaran.

Di tengah kampung ada compang, yaitu tugu dari undakan batu dengan tiang kokoh di tengah sebagai tempat ritual adat berlangsung. Rumah gendang atau rumah adat pun demikian, selalu ada tiang sentral, penopang utama. Falsafah di balik itu, yaitu satu titik orientasi menjadi dasar dan tujuan kebersamaan, kekerabatan yang begitu kukuh dari masyarakat Manggarai.

Kebersamaan itu diwujudkan dalam tindakan dan kata. Kekayaan kultur ini yang diangkat oleh perupa muda Efraim J Pranamantara. Aim, begitu dia disapa, merupakan alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), Ledalero, Maumere, yang berminat mengeksplorasi budaya dan tradisi masyarakat Manggarai di Flores Barat.

Pemuda kelahiran Kupang, 13 Maret 1986 ini mengeksplorasinya dalam ranah seni rupa. Pada pameran kali ini Aim menyertakan empat karyanya, yaitu The Elder of Circle Village (Wae Rebo), medium cat air di atas kertas berukuran 77x55 cm, Tuka Wing (Rahim) dengan medium pigmen bebatuan kali dan cat air pada kanvas 80x100 cm, Paradoks II : Menderita untuk Bebas (Cat minyak di atas kanvas, 120x100 cm), dan karya berjudul Lingko, medium cat minyak di atas kanvas 150x100 cm.

Melalui karya bertajuk Lingko, Aim sekaligus melontarkan kritikan dan mengungkapkan luhurnya nilai di balik sistem pembagian tanah model jaring laba-laba. Dalam pandangannya, salah satu permasalahan sosial di NTT adalah kemiskinan.

Kesenjangan sosial antara miskin dan kaya tampak dalam kehidupan masyarakat NTT. Salah satu penyebabnya, yaitu kepemilikan tanah yang dikuasai oleh sebagian masyarakat yang memiliki “darah biru” atau keturunan bangsawan. Akibatnya mereka yang tidak memiliki tanah sulit untuk memperoleh penghasilan dari bertani.

Walaupun bertani, tidak di tanah sendiri akhirnya penghasilan mereka terbagi karena harus membayar sewa tanah. Lingko, jelasnya, merupakan sistem pembagian tanah masyarakat Manggarai di NTT. Bentuknya melingkar menyerupai jaring laba-laba. Lingkaran bagi masyarakat Manggarai adalah simbol persatuan dan keadilan. “Sistem pembagian tanah ini dimaksudkan agar setiap suku memperoleh luas tanah yang sama besar dan sama-sama dialiri air.

Pembagiannya seperti potongan kue tar atau piza dari tengah ke pinggir sebanyak kepala keluarga di dalam suku. Falsafah tentang keadilan ini mungkin bisa menjadi wejangan atau petunjuk bagi masyarakat luas agar selalu berlaku adil satu sama lain,” beber Aim. Selain Aim, sembilan perupa lain yang ikut pada pameran ini adalah Allen Fernandez (perempuan), Apri Manu, Fecky Messah, Feryry Wabang, Jacky Lau, Maryam Mukin (perempuan), Peri Katemak, Tinik Royaniwati (perempuan), dan Yopie Liliweri.

Apa yang disoroti para seniman lewat karya seperti menyingkap berbagai potensi keindahan alam dan budaya NTT. Kepala Dinas Kebudayaan NTT Mikhael Fernandez dalam sambutan tertulisnya mengapresiasi karya-karya kesepuluh perupa. Bagi Fernandez, pameran tersebut merupakan ajang memperkenalkan NTT ke kancah internasional.

Karena itu, pemerintahan daerah NTT akan terus mendorong para seniman untuk menampilkan karya mereka di kancah nasional ataupun internasional. “Pameran ini merupakan media visual guna memberikan gambaran sosiokultural daerah Nusa Tenggara Timur yang kaya dengan keindahan alam, keunikan budaya material, serta immaterial,” kata Fernandes.

Pameran bertajuk Nusalontar: Pilar Seni Rupa Indonesia Timur itu dikurasi oleh Yusuf Susilo Hartono. Judul tersebut merujuk pada satu kenyataan bahwa NTT memiliki kekayaan alam yang melimpah. Salah satu di antaranya pohon lontar yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pameran bertajuk Nusalontar ingin mendorong kemampuan perupa melihat daerah yang kaya itu dari berbagai pendekatan.

Menurut penilaian Yusuf, karya-karya yang tampil pada pameran ini bukan potret mentah Nusalontar. “Akan tetapi lebih dekat dengan pandangan Hidegger bahwa karya-karya seni ini sebagai siasat untuk memantapkan dan mengubah persepsi sehari-hari dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam menafsirkan kenyataan yang ada”. Meski seni rupa NTT selama ini berada di luar arus utama seni rupa di Indonesia, Yusuf berharap, pameran Nusalontar bisa mengangkat eksistensi seni rupa NTT dan menjadi tiang seni rupa di Indonesia Timur. (Donatus Nador) 
Sumber: Koran Sindo, 16 Juli 2017 
Ket foto: Sepuluh perupa asal NTT menggelar pameran bersama di Galeri III, Taman Ismail Marzuki, dari 9-13 Juli 2017. Pameran bertajuk Nusalontar: Pilar Seni Rupa Indonesia Timur itu menyingkap kekayaan alam dan budaya yang ada di NTT
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger