Oleh Asep SalahudinTasikmalaya
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
TENTU saja
agama dan kebangsaan tidak perlu diperlawankan. Agama tanpa kebangsaan sama
naifnya dengan kebangsaan yang tidak diacukan pada spirit keagamaan.
Kebangsaan itu
adalah payung agama yang bikin agama "terlindungi" dan berpijak di
bumi. Kebangsaan itu adalah akar yang membuat setiap agama dan umat beragama
dapat menjalankan dan menghayati agamanya sesuai kepercayaan masing-masing
dengan tenang dan nyaman.
Ideologi yang
mampu menjembatani dua kutub itu tidak lain adalah Pancasila. Dalam Pancasila,
agama ditarik satu helaan napas dengan kebangsaan. Setiap silanya melambangkan
satu upaya penuh bagaimana warga bangsa punya kemampuan menyelami nilai-nilai
agama dan merasuk dalam pengalaman kebangsaan secara utuh. Ketuhanan yang
dipadupadankan dengan persatuan Indonesia lewat metode kemanusiaan yang beradab
(sila kedua) dan musyawarah mufakat (sila keempat) dan trajektorinya adalah
sila kelima: terdistribusikannya rasa keadilan merata kepada khalayak.
Kebangsaan
justru menjadi "perkakas Tuhan", hal mana kehidupan menjadi menemukan
rohnya yang asasi. Dalam "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" (Di Bawah Bendera Revolusi), Bung Karno
menulis, "Nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat
cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat
pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
nasionalisme yang membuat kita menjadi 'perkakasnya Tuhan' dan membuat kita
menjadi 'hidup dalam roh'".
Defisit
imajinasi
Kalau hari ini
masih juga ada kelompok yang mempertentangkan agama dengan kebangsaan, mazhab
seperti ini bukan hanya tidak paham makna ontologis agama dan hakikat
kebangsaan, malah tidak menutup kemungkinan kelompok seperti ini mengalami
rabun sejarah. Buta terhadap masa silam leluhurnya. Harus ditegaskan bahwa
Pancasila itu "digali" dari agama dan kekayaan kultur masyarakat.
Pancasila dihadirkan untuk menjawab persoalan kebangsaan yang multikultural.
Justru di
sanalah letaknya kenyataan agung bagaimana para pendiri bangsa selepas terlepas
dari kaum penjajah mereka tidak begitu lama bersepakat menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara. Gagasan itu relatif diamini semua kelompok yang datang
dari berbagai kutub dan semua membawa pikirannya masing-masing.
Dalam
sidang-sidang Konstituante, perdebatan itu berlangsung tajam. Namun, ketika
sudah sampai pada titik kesepakatan, mereka haram untuk mengkhianatinya.
Itulah
ekspresi berpolitik dengan jiwa lapang, mendahulukan kepentingan bersama,
menjadikan akal sehat sebagai daulat
utama. Berpolitik yang mampu melucuti sikap eksklusif, partisan, diskriminatif,
dan mau menang sendiri. Bagi mereka menyelamatkan bangsa harus lebih
didahulukan ketimbang meloloskan kepentingan kelompok, agama, etnik, apalagi
kepentingan partainya. Ya, politik yang melambangkan pribadi-pribadi yang akrab
dengan bacaan, terbiasa dengan diskusi dan olah nalar. Tentu tidak ada keputusan
yang memuaskan semua kalangan. Namun, ketika keputusan tersebut sudah diambil,
maka semua tunduk, mematuhi, dan melaksanakannya.
Dalam sebuah
ilustrasi yang dinyatakan Bung Karno tahun 1945: "Untuk pihak Islam,
inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang
Islam-maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna-tetapi kalau
Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan
akan dapati tak lain tidak bukan hati Islam. Dan, hati Islam Bung Karno ini,
ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat,
kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat."
Mereka telah
berhasil menjadikan sidang di majelis Konstituante itu sebagai ruang publik
tempat di mana argumentasi deliberatif disampaikan dengan berpegang teguh pada
kepentingan bersama lewat bahasa yang disepakati dan dapat dipahami semuanya.
Maka, tidak heran kalau produknya UUD 1945 dan Pancasila masih terpakai sampai
hari ini, tidak lekang oleh waktu dan tidak juga ketinggalan zaman. Tema-tema
universalnya terwadahi dan hal-hal partikular-teknisnya diberi kesempatan untuk
kelak ketika memungkinkan diamandemen.
Kebangsaan
multikultural
Kalau dalam
bangsa (nation) melekat penghargaan tinggi terhadap multikulturalisme sebagai
fakta sosial dan hukum alam dan semuanya diposisikan pada kedudukan setara,
maka dalam agama hal yang sama telah diguratkan. Pilihan yang berbeda bukan
alasan untuk saling menistakan, melainkan kesempatan untuk berlomba melakukan tindakan kebaikan.
Multikulturalisme hanya bisa diselesaikan
tidak lewat cara diseragamkan, apalagi melalui kekerasan, tetapi lewat upaya
laten saling belajar, mengenali, dan memahami dengan penuh empati (taaruf).
Taaruf, seperti sering ditating Tuhan, adalah proses membuka diri demi
terlaksananya proses dialog terbuka. Atau, meminjam istilah Levinas,
taarufadalah satu rute eksistensial tentang perjumpaan banyak wajah. Wajah bukan sekadar bagian dari
tubuh fisikal, melainkan mencerminkan tentang ikhtiar saling menatap dengan
tulus, tersenyum secara ikhlas dan menyapa penuh keakraban. Pertemuan dengan
lyan itu berkesan atau tidak, pintu masuknya bisa dilihat dari tampilan wajahnya.
Maka, dalam bahasa kita wajah sering kali disebut muka. Muka sebagai halaman
terdepan yang mampu mendefinisikan konsep kita baik sebagai umat maupun bagian
dari bangsa. Mukalah yang bisa menanamkan kesan pertama sekaligus dapat
menyimpulkan apakah persahabatan itu dapat diteruskan atau tidak. Keikhlasan
atau kemunafikan salah satunya dapat dideteksi dari raut muka.
Maka, dalam
konsep Islam, wajah itu harus dibasuh lima kali sehari ketika wudu. Makna
simboliknya, kata seorang sufi, Ibnu Arabi, karena wajah bisa memancarkan
keagungan Tuhan. Wajah sebagai epifani Sang Ilahi.
Itulah
barangkali yang dibilang filsuf religius neo-socratisme, Gabriel Marcel, betapa
hubungan kemanusiaan itu harus dijangkarkan di atas garis kudus ketuhanan, Toi
Absolu. Tuhan sebagai landasan metafisis dari persekutuan manusia. Itu juga
yang dimaksudkan mengapa Tuhan sering kali mengidentifikasi diri-Nya dengan
"wajah" dan kita bisa menemukan wajah-Nya di setiap penjuru agama,
keyakinan dan mazhab yang beragam. Faainama tuwallu fa tsamma wajah Allah,
"Ke mana pun kalian menghadap akan kalian temui wajah Tuhan".
Hari ini,
diakui atau tidak, baik wajah agama ataupun bangsa, sedang mengalami tantangan
berat terutama dengan munculnya kebangkitan kaum puritan. Mereka lebih berminat
menampilkan wajah beragama yang tidak simpatik bahkan juga tidak ramah terhadap
capaian manusia pergerakan. Beragama dengan wajah marah, bukan ramah. Tragis!
Sumber: Kompas, 20 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!