Oleh Sutejo
"Sekolah Literasi Gratis" STKIP PGRI Ponorogo
DI
Hari Aksara Internasional, 8 September lalu, menarik mengaitkannya dengan
berita Kompas (6/9), yakni tentang optimisme industri perbukuan yang
menjanjikan di masa depan. Sebuah penanda kehidupan literasi.
Optimisme itu
diungkapkan oleh Deputi Bidang Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif Joshua
Simandjuntak. Pertama, industri penerbitan termasuk lima terbesar dari 16
subsektor industri kreatif sehingga perlu terus didorong kualitasnya. Kedua,
penerbit buku perlu memastikan kontennya bermutu, menarik, dan mampu
memanfaatkan strategi pemasaran global. Jika pesan ini terealisasi, maka akan
mendorong penguatan budaya literasi yang telah dicanangkan.
Jauh sebelum
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Gramedia telah memelopori dengan menerbitkan Bukuku Kakiku (2004).
Buku menarik yang dieditori oleh St Sularto, diprakatai Jakob Oetama, dan
"dikatapengantari" Fuad Hassan itu begitu inspiratif.
Buku itu
meresonansikan ingatan pada dua hal. Pertama, fenomena boomingbuku Harry Potter
jilid I, yang jika dibanding kejadian di Taiwan, Thailand, dan Australia
sungguh berbeda. Ilustrasi ketimpangan budaya literasi itu ditulis oleh Jakob
Oetama. Ia berkesimpulan begini, "Kita disadarkan, dibandingkan dengan
rasio penduduknya, jumlah tiras buku yang terbit di negeri kita lebih rendah
bukan saja dibandingkan Jepang atau negara-negara industri Barat, melainkan
juga India, bahkan juga lebih rendah daripada sesama negara Asia
Tenggara." (2004:vii-viii).
Kedua, filosofi
buku sebagai kaki, yang dieksplorasikan oleh Sindhunata, kemudian dijadikan
judul buku. Sungguh tidaklah sederhana. Filosofi itu melingkar-lingkar di
tataran filsafat, sastra, kesadaran, psikologi-sosial, peradaban, kebudayaan,
sejarah, bahkan-yang paling substil-lingkaran spiritual-perenial yang
transenden (2004: 337-353). Sebuah tamasya spiritual yang indah dan menggugah.
Tetapi, kemudian
kita jengah ketika menjejaki kaki literasi di negeri ini. Saya ikut empati atas
keprihatinan Taufiq Ismail tentang lemahnya budaya literasi di Indonesia,
sebagaimana diberitakan dalam separuh halaman Kompas dengan judul
"'Horison' dan Gerakan Sastra di Sekolah" (15/9/2003, hal 34). Sebuah
realita ironis ketika itu, ketika Taufiq menghadap Mendikbud Wardiman
Djojonegoro, justru dijawab untuk membuktikan pernyataan keprihatinannya dengan
dasar angka-angka (data).
Saat itulah,
tantangan itu dibuktikan Taufiq dengan melakukan riset sederhana, snapshot
(potret sesaat), untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan. Snapshot itu
diarahkan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan
pengajaran sastra di SMA tempat mereka belajar. Hasilnya? Tentu saja
mencemaskan.
Fajar literasi
Di era Mendikbud
Anies Baswedan, ada fajar literasi yang menjanjikan, yakni program GLS yang
pokok inspirasinya: (i) target pembelajaran berbasis literasi dengan kewajiban
membaca buku non-teks pelajaran 6 buku (SD), 12 buku (SMP), dan 18 buku
(SMA/SMK); (ii) dibentuknya tim literasi sekolah (TLS) yang bertanggung jawab atas
operasionalisasi GLS; (iii) kewajiban 15 menit sebelum pelajaran untuk membaca
buku non-pelajaran berikut kegiatan pengiringnya; dan (iv) integrasi GLS dengan
penumbuhan budi pekerti.
Buku desain GLS
sendiri baru Januari 2016 ditandatangani. Dari desain GLS itu, dapat dimengerti
posisi kemampuan literasi kita di peringkat ke-2 dari bawah (PISA, 2012) dari
65 negara peserta dan peringkat ke-4 dari bawah (riset PIRLS, 2011) dari 48
negara peserta di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana desain dan tahapan penting
itu berorientasi memajukan budaya literasi di Indonesia. Bahkan, kecerdasan
literasi yang diimpikan tak saja pada tataran literasi dini (early literacy),
literasi dasar (basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy), juga
literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), dan
literasi visual (visual literacy).
Meski Mendikbud
ganti, GLS tidak boleh henti. Jadikan GLS sebagai gerakan nasional yang perlu
didukung semua pihak: pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Ini sebuah
tonggak perubahan besar dan mendasar untuk memajukan budaya literasi. Satu poin
terpenting adalah kewajiban membaca selama 15 menit sebelum kegiatan belajar
dimulai. Apabila Jepang hanya memprogramkan 10 menit membaca di awal pelajaran
bisa seperti sekarang ini, jika bangsa ini konsisten melakukannya, maka tentu
lebih dahsyat hasilnya.
Belajar dari
Jepang, yang melaksanakan pembiasaan 10 menit membaca sebelum pembelajaran
sejak sekitar 35 tahun lalu (era 1980-an), tak mengherankan jika kini Jepang
tercatat sebagai negara dengan tingkat akselerasi peradaban ilmu paling depan.
Hebatnya, kebijakan itu mendapatkan dukungan penuh orangtua dan masyarakat yang
dikenal sangat fanatik. Meski mendapatkan banyak kritik dari ahli pendidikan
karena terlalu behavioristik karena faktor reward danpunishment sebagai
pengiringnya. Tak heran, bangsa Jepang dalam bukuSpiritual Reading karya Raghib
As-Sirjani dituliskan sebagai negara dengan tingkat konsumsi buku paling tinggi
di dunia dengan 40 buku per orang dalam setahun. Sementara Eropa rata-rata 10
buku, Arab rata-rata 20 lembar, dan Indonesia belum diketahui (2007:78).
Kembali pada
inspirasi Bukuku Kakiku, kado berarti dari Gramedia di Hari Buku Nasional
2004 yang bertemakan "Dengan Buku Menuju Indonesia Baru", maka ada
hal inspiratif yang menarik dikemukakan meski ini terjadi 12 tahun yang lalu.
Buku berisi 22 artikel inspiratif dari orang-orang inspiratif, saksi peradaban
dan kebudayaan Indonesia, yang menuangkan pengalamannya bergulat mesra
bersama buku. Mereka rata-rata tergerak, terinspirasi, berubah, dan
terakselerasi hidupnya lewat buku.
Mereka itu di
antaranya Ajip Rosidi, Ariel Haryanto, Azyumardi Azra, Benjamin Mangkoedilaga,
Budi Darma, Daoed Joesoef, Franz Magnis-Suseno, Meilani Budianta, Mochtar Pabottinggi,
Sudhamek AWS, Sindhunata, Yohanes Surya, dan Taufik Abdullah. Sebuah
keteladanan dalam berliterasi yang menarik untuk dicatat dalam sejarah
kebudayaan negeri ini. Juga sebuah harmonisasi keteladanan penerbit buku dan
tokoh literasi untuk dijadikan cermin inspirasi di satu sisi dan di sisi lain
pentingnya memanfaatkan momentum "fajar literasi" yang telah
diagendakan bangsa Indonesia.
Akhirnya
Untuk menghidupkan
GLS, tak boleh melupakan inspirasi pergulatan tokoh-tokoh itu dalam berliterasi
di kancah nasional dan internasional. Hidup sesungguhnya hanyalah peniruan
berulang dari yang telah terjadi, kemudian dimodifikasi-kreasikan sesuai dengan
tuntutan waktu.
Di sinilah, maka
GLS justru penting untuk diakselerasikan dalam mendorong kemajuan bangsa.
Tinggal lagi konsistensi Kemendikbud dalam merealisasikannya. Jangan sampai
justru adagium "ganti menteri ganti pula kebijakannya" mengalami
pembenaran empirik.
Kita tunggu saja
action Mendikbud untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar berbasis budaya
literasi.
Sumber: Kompas, 18 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!