Headlines News :
Home » » Imbangi Hoaks dengan Tradisi Baca

Imbangi Hoaks dengan Tradisi Baca

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, September 14, 2017 | 6:40 PM

Oleh Ignatius Haryanto
Pengajar Jurnalistik di 
Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

FENOMENA hoaks menyita perhatian kita belakangan ini. Polri telah menangkap sekelompok penggiat media sosial bernama Saracen, yang diduga telah melakukan sejumlah kegiatan memfabrikasi berita, menebarkan berita bohong (hoaks), dan menyebarluaskan kebencian kepada sejumlah pihak tertentu atas dasar pesanan.

Penulis tak ingin mengulas hal ini dari sisi politik atau dampak ikutannya. Sejumlah pihak telah membahasnya di beberapa tempat lain. Penulis ingin fokus pada upaya mengimbangi fenomena hoaks itu. Ya, mengimbangi, karena hoaks sulit jika dilawan. Ketika sebuah sumber produksi hoaks ditutup, akan mudah menciptakan yang baru dan seterusnya, apalagi ketika hoaks itu didasari motif ekonomi dan politik. Karena itu, yang lebih perlu dikembangkan adalah kembali ke dasar, kembali pada tradisi membaca sebagai upaya mengimbangi fenomena hoaks.

Terampil baca spesifik

Apakah membaca sudah melekat dalam diri kita sebagai masyarakat yang hidup di abad ke-21, ketika angka buta huruf di Indonesia relatif sudah menurun? Survei terakhir, yang disebutkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), mengungkapkan bahwa angka buta huruf di Indonesia kini tinggal 3,56 persen dari seluruh penduduk Indonesia (atau 5,7 juta orang). Betul bahwa membaca sudah melekat pada masyarakat Indonesia, tetapi melek huruf (membaca) dalam konteks saat ini tidaklah cukup.

Kita perlu keterampilan lebih lanjut, kemampuan membaca pesan dalam media atau kemampuan literasi media (digital). Kita yang berada dalam lingkungan media yang banjir informasi seperti hari ini sangat bisa tersesat. Untuk itu dibutuhkan keterampilan membaca yang lebih spesifik.

Hari ini jumlah informasi yang ada di sekitar kita meningkat berpuluh hingga beratus kali lipat dibandingkan masa sebelumnya. W James Potter dalam Media Literacy (Edisi 6, 2013) mengatakan bahwa pada abad ke-14, perpustakaan Universitas Sorbonne, Paris, hanya memiliki koleksi 1.338 buku. Perpustakaan Sorbonne merupakan yang terbesar di Eropa pada zamannya. Dalam tempo 700 tahun jumlah buku yang diproduksi meningkat lebih banyak dan buku yang hendak dikumpulkan pun meningkat luar biasa.

Potter menyebut bahwa tahun 2004 Google punya ambisi bisa mendigitalkan sekitar 130 juta judul buku dan hingga tahun 2010 Potter mencatat bahwa ambisi itu sudah mencapai 10 persen dari targetnya. Hari ini di dunia ada sekitar 2 miliar orang yang menjadi "warga negara" Facebook. Jika angka ini kita samakan dengan jumlah pengguna internet, rata-rata ada 300 miliar surat elektronik beredar, sedangkan Twitter mencatat tak kurang 70 juta cuitan per hari. Youtube setiap hari menerima 50.000 jam unggahan video. Itu data tahun 2010.

Dengan tsunami informasi yang kita temui sehari-hari, toh waktu kita mengonsumsi itu semua tidak bertambah. Satu hari tetap sama dengan 24 jam, dan tak semua dari waktu itu kita habiskan untuk membaca media dan merespons semua hal di sana. Di sinilah keterampilan membaca media menjadi sangat penting, terutama-seperti yang ditekankan Potter-pengendalian dalam diri manusia memilih prioritas mana yang ia mau ambil dari media yang ada di sekitarnya. Memiliki suatu tujuan pada saat mengonsumsi media adalah hal penting ketimbang kita membiarkan diri terombang-ambing dalam gelombang media yang penuh riak itu.

Membaca adalah kegiatan yang butuh konsentrasi sendiri. Kadang membaca bisa diidentikkan dengan kegiatan yang sama dengan mengisolasi diri. Memang kedengarannya membaca ini merupakan kegiatan yang berjalan dengan lambat. Tidak mengapa, justru kelambatan inilah yang menjadi salah satu pengimbang melawan berita bohong, yang sebaliknya bergerak dengan sangat cepat. Kelambatan dalam kegiatan membaca membuat kita harus selektif memilih mana yang mau kita baca, mana yang tidak. Untuk itu kita pun akan memilah di antara berbagai pilihan yang sangat banyak itu.

Kelambatan dan penetral

Kegiatan membaca pun membawa seseorang pada kedalaman informasi, keutuhan informasi, serta pemikiran kritis yang menyertainya. Refleksi akan mudah dihasilkan dari mereka yang memiliki kebiasaan membaca buku untuk mendalami suatu masalah tertentu. Kebiasaan seperti ini akan berdampak pada pola pikir seseorang agar tak mudah tergopoh-gopoh, tak mudah ditipu dengan informasi sekilas yang banyak beredar di sekitar kita. Kekritisan akan menyertai mereka yang setia dalam dunia baca, sementara di dunia luar informasi atau berita bohong berkejar- kejaran, kelambatan dalam mencerna informasi menjadi senjata menetralkan berita bohong.

Pada 2010 Nicholas Carr dari Amerika yang banyak menulis perkembangan teknologi menerbitkan buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2011). Buku ini finalis Hadiah Pulitzer pada 2011 untuk kategori nonfiksi. Pada buku ini, Carr menggambarkan bagaimana internet mengubah cara manusia berpikir, bertindak, dan hidup. Carr memfokuskan pada efek buruk internet ketika hiperteks yang tampil di internet kerap membuat otak manusia terfragmentasi, mudah buyar konsentrasinya, melihat sesuatu tidak secara utuh, tidak memiliki kedalaman, dan pendeknya ingatan manusia akibat membaca lewat internet.

Mari sejenak mundur ke sejarah peradaban dunia dan sejarah kemunculan buku di dunia yang ditandai dengan ditemukannya mesin cetak pada abad ke-15 oleh Johannes Gutenberg. Ditemukannya mesin cetak ini membuat ketersediaan buku lebih mudah. Pengetahuan yang disebarkan melalui buku menjadi dapat dijangkau siapa saja, yang sebelumnya didominasi dan dipegang kaum klerus.

Sejarawan Perancis Lucien Febvre menulis buku The Coming of the Book: The Impact of Printing 1450-1800 (1976), dan sejarawan Amerika, Elizabeth Eisenstein, menulis buku klasik The Printing Press as an Agent of Change (1979). Dua rujukan ini menekankan tentang bagaimana kehadiran buku telah memberikan dampak luar biasa pada peradaban manusia.

Kini setelah sekian abad berlalu, menurut penulis, buku seharusnya kembali menemukan penguatannya kembali sebagai bagian dari pengimbangan bagi gelombang berita bohong alias hoaks. Buku menawarkan kedalaman, keutuhan informasi, berikut dengan konteks yang menyertai suatu masalah. Buku pun menawarkan dialog antara (pengarang) buku dan pembacanya, serta kekritisan akan menyertai mereka yang setia pada tradisi baca (klasik) seperti ini.

Apa yang mau dibaca, berapa lama mau membaca, diserahkan kepada mereka yang membutuhkan. Namun, paling tidak membaca adalah kegiatan yang mengajak manusia hari ini untuk tetap memelihara akal sehat dan kekritisan relatif dalam mencerna segala apa yang ditawarkan di depan mata. Nah, buku apa yang terakhir Anda baca? 
Sumber: Kompas, 14 September 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger