Oleh Ignatius Haryanto
Pengajar Jurnalistik di
Universitas
Multimedia Nusantara, Serpong
FENOMENA hoaks menyita perhatian kita belakangan
ini. Polri telah menangkap sekelompok penggiat media sosial bernama Saracen,
yang diduga telah melakukan sejumlah kegiatan memfabrikasi berita, menebarkan
berita bohong (hoaks), dan menyebarluaskan kebencian kepada sejumlah pihak
tertentu atas dasar pesanan.
Penulis tak ingin
mengulas hal ini dari sisi politik atau dampak ikutannya. Sejumlah pihak telah
membahasnya di beberapa tempat lain. Penulis ingin fokus pada upaya mengimbangi
fenomena hoaks itu. Ya, mengimbangi, karena hoaks sulit jika dilawan. Ketika
sebuah sumber produksi hoaks ditutup, akan mudah menciptakan yang baru dan
seterusnya, apalagi ketika hoaks itu didasari motif ekonomi dan politik. Karena
itu, yang lebih perlu dikembangkan adalah kembali ke dasar, kembali pada
tradisi membaca sebagai upaya mengimbangi fenomena hoaks.
Terampil baca
spesifik
Apakah membaca
sudah melekat dalam diri kita sebagai masyarakat yang hidup di abad ke-21,
ketika angka buta huruf di Indonesia relatif sudah menurun? Survei terakhir,
yang disebutkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), mengungkapkan
bahwa angka buta huruf di Indonesia kini tinggal 3,56 persen dari seluruh
penduduk Indonesia (atau 5,7 juta orang). Betul bahwa membaca sudah melekat
pada masyarakat Indonesia, tetapi melek huruf (membaca) dalam konteks saat ini
tidaklah cukup.
Kita perlu
keterampilan lebih lanjut, kemampuan membaca pesan dalam media atau kemampuan
literasi media (digital). Kita yang berada dalam lingkungan media yang banjir
informasi seperti hari ini sangat bisa tersesat. Untuk itu dibutuhkan
keterampilan membaca yang lebih spesifik.
Hari ini jumlah
informasi yang ada di sekitar kita meningkat berpuluh hingga beratus kali lipat
dibandingkan masa sebelumnya. W James Potter dalam Media Literacy (Edisi 6,
2013) mengatakan bahwa pada abad ke-14, perpustakaan Universitas Sorbonne,
Paris, hanya memiliki koleksi 1.338 buku. Perpustakaan Sorbonne merupakan yang
terbesar di Eropa pada zamannya. Dalam tempo 700 tahun jumlah buku yang
diproduksi meningkat lebih banyak dan buku yang hendak dikumpulkan pun
meningkat luar biasa.
Potter menyebut
bahwa tahun 2004 Google punya ambisi bisa mendigitalkan sekitar 130 juta judul
buku dan hingga tahun 2010 Potter mencatat bahwa ambisi itu sudah mencapai 10
persen dari targetnya. Hari ini di dunia ada sekitar 2 miliar orang yang
menjadi "warga negara" Facebook. Jika angka ini kita samakan dengan
jumlah pengguna internet, rata-rata ada 300 miliar surat elektronik beredar,
sedangkan Twitter mencatat tak kurang 70 juta cuitan per hari. Youtube setiap
hari menerima 50.000 jam unggahan video. Itu data tahun 2010.
Dengan tsunami
informasi yang kita temui sehari-hari, toh waktu kita mengonsumsi itu semua
tidak bertambah. Satu hari tetap sama dengan 24 jam, dan tak semua dari waktu
itu kita habiskan untuk membaca media dan merespons semua hal di sana. Di
sinilah keterampilan membaca media menjadi sangat penting, terutama-seperti
yang ditekankan Potter-pengendalian dalam diri manusia memilih prioritas mana
yang ia mau ambil dari media yang ada di sekitarnya. Memiliki suatu tujuan pada
saat mengonsumsi media adalah hal penting ketimbang kita membiarkan diri
terombang-ambing dalam gelombang media yang penuh riak itu.
Membaca adalah
kegiatan yang butuh konsentrasi sendiri. Kadang membaca bisa diidentikkan
dengan kegiatan yang sama dengan mengisolasi diri. Memang kedengarannya membaca
ini merupakan kegiatan yang berjalan dengan lambat. Tidak mengapa, justru
kelambatan inilah yang menjadi salah satu pengimbang melawan berita bohong,
yang sebaliknya bergerak dengan sangat cepat. Kelambatan dalam kegiatan membaca
membuat kita harus selektif memilih mana yang mau kita baca, mana yang tidak.
Untuk itu kita pun akan memilah di antara berbagai pilihan yang sangat banyak
itu.
Kelambatan dan
penetral
Kegiatan membaca
pun membawa seseorang pada kedalaman informasi, keutuhan informasi, serta
pemikiran kritis yang menyertainya. Refleksi akan mudah dihasilkan dari mereka
yang memiliki kebiasaan membaca buku untuk mendalami suatu masalah tertentu.
Kebiasaan seperti ini akan berdampak pada pola pikir seseorang agar tak mudah
tergopoh-gopoh, tak mudah ditipu dengan informasi sekilas yang banyak beredar
di sekitar kita. Kekritisan akan menyertai mereka yang setia dalam dunia baca,
sementara di dunia luar informasi atau berita bohong berkejar- kejaran,
kelambatan dalam mencerna informasi menjadi senjata menetralkan berita bohong.
Pada 2010 Nicholas
Carr dari Amerika yang banyak menulis perkembangan teknologi menerbitkan buku
The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia pada 2011). Buku ini finalis Hadiah Pulitzer pada 2011 untuk
kategori nonfiksi. Pada buku ini, Carr menggambarkan bagaimana internet
mengubah cara manusia berpikir, bertindak, dan hidup. Carr memfokuskan pada
efek buruk internet ketika hiperteks yang tampil di internet kerap membuat otak
manusia terfragmentasi, mudah buyar konsentrasinya, melihat sesuatu tidak
secara utuh, tidak memiliki kedalaman, dan pendeknya ingatan manusia akibat
membaca lewat internet.
Mari sejenak mundur
ke sejarah peradaban dunia dan sejarah kemunculan buku di dunia yang ditandai
dengan ditemukannya mesin cetak pada abad ke-15 oleh Johannes Gutenberg.
Ditemukannya mesin cetak ini membuat ketersediaan buku lebih mudah. Pengetahuan
yang disebarkan melalui buku menjadi dapat dijangkau siapa saja, yang
sebelumnya didominasi dan dipegang kaum klerus.
Sejarawan Perancis
Lucien Febvre menulis buku The Coming of the Book: The Impact of Printing
1450-1800 (1976), dan sejarawan Amerika, Elizabeth Eisenstein, menulis buku
klasik The Printing Press as an Agent of Change (1979). Dua rujukan ini
menekankan tentang bagaimana kehadiran buku telah memberikan dampak luar biasa pada
peradaban manusia.
Kini setelah sekian
abad berlalu, menurut penulis, buku seharusnya kembali menemukan penguatannya
kembali sebagai bagian dari pengimbangan bagi gelombang berita bohong alias
hoaks. Buku menawarkan kedalaman, keutuhan informasi, berikut dengan konteks
yang menyertai suatu masalah. Buku pun menawarkan dialog antara (pengarang)
buku dan pembacanya, serta kekritisan akan menyertai mereka yang setia pada
tradisi baca (klasik) seperti ini.
Apa yang mau
dibaca, berapa lama mau membaca, diserahkan kepada mereka yang membutuhkan.
Namun, paling tidak membaca adalah kegiatan yang mengajak manusia hari ini
untuk tetap memelihara akal sehat dan kekritisan relatif dalam mencerna segala
apa yang ditawarkan di depan mata. Nah, buku apa yang terakhir Anda baca?
Sumber:
Kompas, 14 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!