Oleh Ferdy Hasiman
Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia
PEMERINTAH,
melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, telah mencapai kata sepakat
dengan PT Freeport Indonesia terkait beberapa klausul krusial dalam renegosiasi
kontrak.
Klausul penting
yang disepakati adalah konversi kontrak karya (KK) menjadi izin usaha
pertambangan khusus (IUPK), divestasi 51 persen saham, pembangunan smelter, dan
peningkatan penerimaan negara. Jika empat syarat itu konsisten dijalankan,
Freeport akan mendapat kepastian perpanjangan kontrak sampai 2041.
Meski demikian,
Freeport tetap menganggap kesepakatan itu harus satu paket. Artinya,
perpanjangan kontrak jadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan isu
perubahan KK menjadi IUPK, divestasi saham, pembangunan smelter, dan peningkatan
penerimaan negara.
Alasan Freeport
tentu masuk akal. Kepastian perpanjangan kontrak memudahkan Freeport
merealisasikan investasi pembangunan pabrik smelter berkapasitas 3 juta ton
tembaga senilai 2,3 miliar dollar AS dan pabrik logam mulia (emas) berlokasi di
Gresik, Jawa Timur. Freeport juga bisa merealisasikan investasi 17 miliar
dollar-20 miliar dollar (2021-2031) untuk pembangunan tambang bawah tanah:
Grasberg Block Cave (cadangan 45 persen), Kucing Liar (24 persen), Deep Mill
Level Zona (18 persen), Big Gosan (6 persen), dan Doz Block Cave. Jika tambang
bawah tanah tuntas, Freeport akan memproduksi konsentrat tembaga sekitar
230.000 metrik ton per hari.
Pada 2004-2016,
Freeport menginvestasikan 8 miliar dollar AS guna membangun terowongan dan
tunnel di tambang bawah tanah untuk mengantisipasi masa puncak pertambangan
open-pit (Grasberg). Freeport baru benar-benar menikmati produksi dari tambang
bawah tanah setelah 2022. Sementara pengembalian modal investasi baru terjadi
setelah 2031. Tanpa ada kepastian perpanjangan kontrak, Freeport akan sulit
membangun smelter dan membangun tambang bawah tanah karena kesulitan pendanaan.
Lembaga keuangan seperti perbankan global pasti akan sulit memberikan pinjaman
karena Freeport belum mendapat kepastian perpanjangan kontrak dari pemerintah.
Ada dua kemungkinan
mengapa perpanjangan kontrak tak satu paket dengan empat klausul lain. Pertama,
Freeport selama ini tak pernah mengikuti aturan main pemerintah. Terkait
divestasi, misalnya, Freeport sebelumnya diperintahkan mendivestasikan 30
persen saham ke pihak nasional, tetapi Freeport malah menawarkan harga tak
wajar kepada pemerintah sehingga divestasi tak pernah tuntas. Begitu pun dengan
pembangunan smelter. Pemerintah sejak 12 Januari 2014 telah melarang semua
perusahaan tambang mengekspor bahan mentah dan wajib membangun smelter dalam
negeri agar memberi dampak pelipatan bagi pembangunan. Namun, Freeport hanya
berjanji membangun pabrik smelter tembaga.
Kedua, tekanan
politik. Boleh jadi pemerintah sebenarnya mau memperpanjang kontrak Freeport
sampai 2041. Hanya saja, pemerintah masih mencari alasan dan penjelasan yang
masuk akal ke publik di Tanah Air mengapa Freeport harus diperpanjang
kontraknya sampai 2041. Tanpa alasan yang kuat, isu perpanjangan kontrak akan
menjadi amunisi bagi lawan politik untuk menjatuhkan pamor dan citra
pemerintah. Lawan politik bisa saja berkampanye bahwa Presiden Jokowi adalah
pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perpanjangan kontrak Freeport.
Skema lebih baik
Publik perlu
memberikan acungan jempol kepada pemerintahan Jokowi-Kalla, lebih khusus kepada
Menteri ESDM dan Menteri Keuangan yang sukses bernegosiasi dengan Freeport.
Renegosiasi kontrak dengan Freeport sudah berlangsung sejak era kepemimpinan
SBY-Boediono. Namun, renegosiasi mengalami jalan buntu karena tarik-menarik
kepentingan nasional dan global. Klausul-klausul penting dalam renegosiasi
kontrak, seperti divestasi saham, perpanjangan kontrak, dan pembangunan
smelter, tak pernah diputuskan.
Dua tahun pertama
kepemimpinan Jokowi, di bawah komando Menteri ESDM Sudirman Said, renegosiasi
kontrak dengan Freeport juga gagal. Meskipun Sudirman memberikan disposisi dan
jaminan perpanjangan kontrak kepada Freeport sampai 2041, pembangunan smelter
tak pernah dijalankan (baca: Annual Report Freeport McMoRan, 2015).
Renegosiasi kontrak
baru menemukan titik terang ketika Kementerian ESDM di bawah kendali Ignas
Jonan. Jonan tak pernah bisa didikte Freeport. Jonan tegas mengatakan, Freeport
wajib mendivestasikan 51 persen ke pihak nasional dan wajib membangun smelter
jika ingin melanjutkan operasi tambang Grasberg. Meskipun begitu, Jonan tidak
bisa berbuat banyak tanpa dukungan Presiden. Di bawah kepemimpinan Jokowi,
negara baru kelihatan memiliki taring terhadap Freeport, bukan menjadi negara
centeng (tunduk pada kehendak korporasi). Di bawah kepemimpinan Jokowi, negara
menunjukkan keperkasaan memaksa korporasi tunduk pada aturan main yang dibuat
negara.
Skema renegosiasi
kontrak pun menjadi lebih baik dan lebih konstitusional. Pada era SBY,
misalnya, Freeport hanya diperintahkan mendivestasikan 30 persen saham dengan
dalih perusahaan itu membangun hulu-hilir dan tambang bawah tanah. Terkait
perpanjangan kontrak, rezim SBY memberikan perpanjangan sampai 2041. Sementara
pemerintahan Jokowi mewajibkan Freeport mendivestasikan 51 persen saham,
kewajiban membangun smelter, penerimaan negara, dan mewajibkan Freeport
mengubah KK menjadi IUPK.
Perubahan KK jadi
IUPK berimplikasi langsung pada penguatan peran negara. Negara jadi berdaulat
serta bisa menuntut korporasi menaikkan penerimaan negara dan membangun
smelter. Berbeda dengan KK yang meletakkan pemerintah sejajar dengan korporasi.
KK membuat negara tak berdaulat atas sumber daya alam (SDA) dengan implikasi
potensi pertambangan yang begitu besar gagal mengangkat kesejahteraan rakyat.
Lingkungan tak terurus dan pembagian keuntungan tak adil. Tak berlebihan jika
dikatakan, korporasi tidak ada bedanya seperti kanker yang hanya peduli pada
pertumbuhannya sendiri dan lupa bahwa ia hidup dalam komunitas sosial. Melalui
IUPK, peran negara menguat, seperti perintah konstitusi, UUD 1945, yang
mengamanatkan pertambangan strategis harus dikendalikan negara untuk
kesejahteraan rakyat.
Dengan berubah jadi
IUPK, Freeport wajib membangun smelter dan mendivestasikan 51 persen saham ke
pihak nasional. Karena Pemerintah Indonesia telah mengantongi 9,34 persen
saham, saham Freeport yang akan dilepas menjadi 41,64 persen. Berdasarkan
aturan itu, pemerintah pusat memiliki first right untuk mengakuisisi saham
Freeport. Namun, proses divestasi mustahil dilakukan pada 2018 karena
pemerintahan tak memiliki alokasi dana divestasi di APBN 2018. Apalagi beban
APBN sangat berat untuk pembangunan infrastruktur. Pemerintah pusat bisa saja
mengikuti divestasi 7 persen saham Newmont di era pemerintahan SBY, melalui
Pusat Investasi Pemerintah. Namun, mekanisme itu sulit karena secara prosedural
divestasi yang menggunakan keuangan negara harus melalui persetujuan DPR.
Opsi terbaik dalam
divestasi saham Freeport adalah membagi secara proporsional kepada
perusahaan-perusahaan BUMN dan pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi Papua dan
Kabupaten Timika). Dari 41,64 persen saham, 31,64 persen diakuisisi oleh BUMN
dan 10 persen diserahkan kepada Pemprov Papua.
Perusahaan-perusahaan
BUMN saat ini berencana membentuk holding yang dipimpin PT Indonesia Asahan
Alumina (Inalum) bersama PT Aneka Tambang, PT Timah, dan PT Bukit Asam Tbk.
Holdingadalah gagasan bernas agar perusahaan tambang BUMN jadi besar. Jika
dikombinasikan (nilai buku, 2015), aset BUMN tambang menjadi Rp 55 triliun dan
penjualan sebesar Rp 28 triliun. Jika 31,64 persen saham Freeport
diakuisisiholding BUMN, di masa depan aset BUMN tambang jadi pesaing raksasa
tambang global, seperti BHP Balliton dengan total aset 124.580 dollar (2015 )
dan Rio Tinto 91.568 miliar dollar (2015). Aset yang sangat besar itu
mempermudah BUMN tambang mendapat dana segar dari bank dan penerbitan surat
utang untuk membeli 31,64 persen saham Freeport dan mempersiapkan investasi
bersama Freeport di tambang bawah tanah.
Freeport beruntung
jika berpartner dengan perusahaan BUMN yang juga berpengalaman mengolah
tambang. Inalum, misalnya, bisa diandalkan mengolah bauksit jadi aluminium.
Inalum dan Antam juga sedang membangun fasilitas Smelter Grade Alumina (SGA) aluminium
di Mempawah, Kalimantan Barat. Antam dan Bukit Asam juga sedang mengembangkan
pabrik feronikel di Halmahera, tempat Bukti Asam bertugas menyuplai batubara
untuk pembangkit listrik.
Freeport dan BUMN
bisa saling mengisi. Bahan ikutan tembaga yang dikelola PT Smelting Gresik,
misalnya, menghasilkan 1.800 ton anode slime per tahun (untuk pemurnian emas
dan perak). Antam memiliki kapasitas membangun pabrik anode slime. Barangkali
itu sebabnya, pada April 2017, Antam menandatangani nota kesepahaman (MOU)
dengan Freeport dan PT Smelting (joint venture antara Freeport dan Mitsubishi)
untuk pembangunan pabrik anode slime. Selain itu, Freeport akan dipermudah
membangun smelter karena PTBA bisa jadi penyuplai batubara untuk menunjang
pembangkit listrik. Singkatnya, berpartner dengan BUMN mempermudah ekspansi
bisnis Freeport di Grasberg ke depan.
Alasan pemberian 10
persen saham ke Pemprov Papua pun masuk akal. Warga Papua beranggapan KK
bermasalah. Bagi mereka, KK Freeport hanyalah perjanjian sepihak antara pemerintah
pusat dan Freeport, tanpa melibatkan masyarakat Papua. Padahal, wilayah operasi
tambang Grasberg adalah tanah hak ulayat suku Amungme. Warga Papua beranggapan,
Freeport hanya datang mengeksplorasi kekayaan alam, tapi tak mau membangun
Papua. Demi asas keadilan, masuk akal jika Pemprov Papua mendapat 10 persen
saham Freeport secara gratis karena itu adalah tanah hak ulayat suku Amungme.
Dengan pembelian gratis saham Freeport, Pemprov Papua tak perlu bekerja sama
dengan perusahaan swasta untuk membeli saham. Jadi, kita tak ingin saham
Freeport jatuh ke pebisnis lokal yang tak memberikan manfaat bagi rakyat.
Dengan memiliki
saham Freeport, Papua bisa mengirim wakilnya dalam manajemen Freeport dan
memiliki hak suara dalam setiap rapat umum pemegang saham (RUPS). Selain
mendapat keuntungan finansial dari dividen, wakil Papua dalam manajemen juga
bisa memasukkan isu-isu strategis dan memperjuangkan kepentingan orang Papua.
Kehendak Presiden
Dengan alasan
investasi tambang bawah tanah dan penggunaan teknologi tinggi untuk
pengolahannya, serta realisasi pembangunan smelter, pemerintah perlu memberikan
jaminan perpanjangan kontrak kepada Freeport sampai 2041. Tanpa kepastian
hukum, percuma juga mendesak Freeport membangun smelter karena pasti sulit
terealisasi.
Sementara itu,
terkait divestasi saham Freeport harus dikembalikan ke tangan Presiden.
Presiden harus melihat skema yang paling menguntungkan siapa yang layak membeli
saham Freeport. Divestasi pertambangan strategis, seperti Freeport, perlu
diserahkan ke perusahaan BUMN agar perusahaan milik negara berpartisipasi dalam
pengelolaan aset pertambangan strategis dan turut andil dalam menopang
penerimaan negara, seperti perusahaan BUMN di China. Maka, Menteri BUMN harus
menangkap peluang ini.
Gagasan holding BUMN
jangan hanya wacana, tetapi harus jadi peristiwa. Sudah saatnya BUMN bersinergi
agar tumbuh jadi besar dan jadi andalan. Setelah itu, tambang Freeport harus
dikelola secara transparan untuk kesejahteraan rakyat.
Sumber: Kompas, 25
September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!