Oleh
Max Regus
Kandidat PhD School of Humanities
Tilburg University, Belanda
MEDIA memberitakan
sejumlah langkah pemimpin baru DKI Jakarta hampir sebulan sesudah pelantikan.
Fenomena yang menyita perhatian publik berhubungan dengan saling
"mendekatnya" pemimpin baru ini dengan sejumlah elemen
"non-negara". Elemen ini tersingkir dari ranah ekonomi-politik Ibu
Kota selama lima tahun terakhir.
Kompas.com
(2/11/2017) mengutip pernyataan Sandiaga Uno, Wakil Gubernur Jakarta,
"Semua masuk dalam diskusi ini, termasuk mohon maaf, termasuk
preman-premannya. Jadi, kami bicara juga sama preman-premannya. Ya, tentu
enggak di Balai Kota, tapi di tempat-tempat yang mereka biasa kumpul."
Premanisasi politik
Posisi
"preman" di ranah politik selalu menarik untuk dikaji. Satu dekade
lalu, Joshua Barker, pengajar di Universitas Toronto, Kanada, melakukan
penelitian penting tentang keberadaan kelompok-kelompok semacam ini. Cibadas,
daerah kumuh di kawasan Bandung, menjadi lokasi studinya. Dari penelitian ini,
Barker menulis artikel menarik, "Negara Beling: Street-Level Authority in
an Indonesian Slum", yang kemudian menjadi satu bab dari buku dengan judul
State of Authority: The State in Society in Indonesia (2009), di mana dia
sendiri menjadi editor bersama Gerry van Klinken, ahli Indonesia lain dari
KITLV Leiden, Belanda.
Yang masih
kontekstual dari studi Barker adalah usahanya memunculkan kawasan kumuh
perkotaan sebagai ruang penancapan kekuasaan (kekuatan) kelompok preman
(gangster). Di satu bagian ulasannya, dia menamakan kelompok ini "para
pemain". Ini bisa merujuk pada satu orang, bisa juga sekelompok orang. Di
sudut-sudut sempit perkotaan, membangun klaim atas kekuasaan. Di sini, mereka
memiliki kekuasaan mengatur, tetapi dalam kerangka melawan keteraturan hukum.
Dalam praktik
politik dan kekuasaan, sebetulnya ini bukan hal baru. Di masa akhir rezim Orde
Baru, Southeast Asia Program Publications, Cornell University, Ithaca,
menerbitkan buku Gangster, Democracy, and the State in Southeast Asia dengan
editor Carl A Trocki (1998). Dalam bagian pengantar, Trocki mengungkapkan hal
paling menonjol dari sejarah politik di kawasan Asia Tenggara tentang dinamika
gerak politis menjauhi pusat kekuasaan (sentrifugal) dan mendekati pusat
kekuasaan (sentripetal). Salah satu penunjuk penting dinamika ini ada pada
permainan posisi kelompok preman. Politik digerakkan dalam cara pandang
kepentingan kelompok preman.
Voyoukrasi
Jika dibahasakan
dalam terang pandangan Trocki, ini termasuk bagaimana kelompok ini berusaha
mendekati kekuasaan (negara), termasuk melanggengkan posisi. Yang krusial,
aktor-aktor negara juga mendekati mereka untuk dua tujuan. Pertama, mendapatkan
pengawalan dalam proses merebut kemudian. Kedua, mengamankan kekuasaan dari
serangan lawan politik dan sikap kritis publik.
Perubahan perilaku
kelompok ini juga mengikuti alur perubahan demokrasi, dari demokrasi dengan
corak memusat hingga pada karakter kelokalan. Jika dalam studi Barker
"para pemain" menjadi representasi kelompok ini, dalam pandangan
Trocki "orang kuat" adalah istilah untuk pemilik kekuasaan di level
informal perkotaan. Orang kuat akan tampil sebagai jangkar yang dimanfaatkan
aktor-aktor negara untuk mengamankan kekuasaan.
Kembali ke politik
kontemporer kita. Barker menyebutnya dengan istilah voyoukrasi (voyoucracy). Ini
secara sederhana merujuk pada kelompok preman jalanan (voyous) dan memanfaatkan
suasana kekumuhan kota sebagai habitat membangun kekuasaan. Kekuasaan ada di
tangan kelompok preman.
Voyoukrasi dalam
kajian Barker merujuk pada kekuatan korup jalanan yang bersifat ilegal dan
melawan tatanan hidup bersama (antihukum/sekaligus bisa mengatur hukum).
Dalam cara
tertentu, mereka bisa lebih terorganisasi dibandingkan institusi resmi negara.
Pada atmosfer seperti sekarang, kelompok ini sedang membungkus gerakan mereka
dalam baju yang berbeda. Sampai sejauh ini, rupanya strategi ini berhasil.
Mereka berhasil mendekati atau didekati pusat kekuasaan dengan pola ini.
Tragisnya, pemimpin
politik yang tidak memiliki legitimasi memadai dalam mengatur dan mengontrol
ruang publik akan menggunakan jasa kaum voyous ini sebagai eksekutor lapangan.
Tidak terelakkan, politik akan kelihatan begitu kumuh dalam kecenderungan
semacam ini.
Sumber: Kompas, 15 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!