Headlines News :
Home » » Politik yang Kumuh

Politik yang Kumuh

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, November 15, 2017 | 9:24 AM

Oleh Max Regus
Kandidat PhD School of Humanities
Tilburg University, Belanda

MEDIA memberitakan sejumlah langkah pemimpin baru DKI Jakarta hampir sebulan sesudah pelantikan. Fenomena yang menyita perhatian publik berhubungan dengan saling "mendekatnya" pemimpin baru ini dengan sejumlah elemen "non-negara". Elemen ini tersingkir dari ranah ekonomi-politik Ibu Kota selama lima tahun terakhir.

Kompas.com (2/11/2017) mengutip pernyataan Sandiaga Uno, Wakil Gubernur Jakarta, "Semua masuk dalam diskusi ini, termasuk mohon maaf, termasuk preman-premannya. Jadi, kami bicara juga sama preman-premannya. Ya, tentu enggak di Balai Kota, tapi di tempat-tempat yang mereka biasa kumpul."

Premanisasi politik

Posisi "preman" di ranah politik selalu menarik untuk dikaji. Satu dekade lalu, Joshua Barker, pengajar di Universitas Toronto, Kanada, melakukan penelitian penting tentang keberadaan kelompok-kelompok semacam ini. Cibadas, daerah kumuh di kawasan Bandung, menjadi lokasi studinya. Dari penelitian ini, Barker menulis artikel menarik, "Negara Beling: Street-Level Authority in an Indonesian Slum", yang kemudian menjadi satu bab dari buku dengan judul State of Authority: The State in Society in Indonesia (2009), di mana dia sendiri menjadi editor bersama Gerry van Klinken, ahli Indonesia lain dari KITLV Leiden, Belanda.

Yang masih kontekstual dari studi Barker adalah usahanya memunculkan kawasan kumuh perkotaan sebagai ruang penancapan kekuasaan (kekuatan) kelompok preman (gangster). Di satu bagian ulasannya, dia menamakan kelompok ini "para pemain". Ini bisa merujuk pada satu orang, bisa juga sekelompok orang. Di sudut-sudut sempit perkotaan, membangun klaim atas kekuasaan. Di sini, mereka memiliki kekuasaan mengatur, tetapi dalam kerangka melawan keteraturan hukum.

Dalam praktik politik dan kekuasaan, sebetulnya ini bukan hal baru. Di masa akhir rezim Orde Baru, Southeast Asia Program Publications, Cornell University, Ithaca, menerbitkan buku Gangster, Democracy, and the State in Southeast Asia dengan editor Carl A Trocki (1998). Dalam bagian pengantar, Trocki mengungkapkan hal paling menonjol dari sejarah politik di kawasan Asia Tenggara tentang dinamika gerak politis menjauhi pusat kekuasaan (sentrifugal) dan mendekati pusat kekuasaan (sentripetal). Salah satu penunjuk penting dinamika ini ada pada permainan posisi kelompok preman. Politik digerakkan dalam cara pandang kepentingan kelompok preman.

Voyoukrasi

Jika dibahasakan dalam terang pandangan Trocki, ini termasuk bagaimana kelompok ini berusaha mendekati kekuasaan (negara), termasuk melanggengkan posisi. Yang krusial, aktor-aktor negara juga mendekati mereka untuk dua tujuan. Pertama, mendapatkan pengawalan dalam proses merebut kemudian. Kedua, mengamankan kekuasaan dari serangan lawan politik dan sikap kritis publik.

Perubahan perilaku kelompok ini juga mengikuti alur perubahan demokrasi, dari demokrasi dengan corak memusat hingga pada karakter kelokalan. Jika dalam studi Barker "para pemain" menjadi representasi kelompok ini, dalam pandangan Trocki "orang kuat" adalah istilah untuk pemilik kekuasaan di level informal perkotaan. Orang kuat akan tampil sebagai jangkar yang dimanfaatkan aktor-aktor negara untuk mengamankan kekuasaan.

Kembali ke politik kontemporer kita. Barker menyebutnya dengan istilah voyoukrasi (voyoucracy). Ini secara sederhana merujuk pada kelompok preman jalanan (voyous) dan memanfaatkan suasana kekumuhan kota sebagai habitat membangun kekuasaan. Kekuasaan ada di tangan kelompok preman.

Voyoukrasi dalam kajian Barker merujuk pada kekuatan korup jalanan yang bersifat ilegal dan melawan tatanan hidup bersama (antihukum/sekaligus bisa mengatur hukum).

Dalam cara tertentu, mereka bisa lebih terorganisasi dibandingkan institusi resmi negara. Pada atmosfer seperti sekarang, kelompok ini sedang membungkus gerakan mereka dalam baju yang berbeda. Sampai sejauh ini, rupanya strategi ini berhasil. Mereka berhasil mendekati atau didekati pusat kekuasaan dengan pola ini.

Tragisnya, pemimpin politik yang tidak memiliki legitimasi memadai dalam mengatur dan mengontrol ruang publik akan menggunakan jasa kaum voyous ini sebagai eksekutor lapangan. Tidak terelakkan, politik akan kelihatan begitu kumuh dalam kecenderungan semacam ini. 
Sumber: Kompas, 15 November 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger