Headlines News :
Home » » Terseret Durian Runtuh

Terseret Durian Runtuh

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, September 06, 2010 | 12:48 PM

Amplop putih 20 sentimeter bertulisan "Daniel Tandjung" disorongkan ke politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. Pembawa amplop, Endin A.J. Soefihara, koleganya di fraksi partai yang sama, mengatakan, "Ini ada rezeki, durian jatuh: travellers cheque lima ratus juta."

Daniel, kini 76 tahun, baru tiba di Gedung Dewan pada Rabu, 9 Juni 2004. Bertemu di Gedung Nusantara I, Endin mengajak Daniel mampir ke ruang kerjanya sebagai sekretaris fraksi. Malam sehari sebelumnya, Komisi IX yang membidangi Keuangan dan Perbankan, tempat kedua politikus menjadi anggota, baru saja memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Daniel mengatakan segera menerima amplop. "Terima kasih, tapi ini dari mana?" ia bertanya. Endin menjawab, "Dari seseorang yang telah menitipkan kepada saya." Daniel bertanya lagi, "Siapa?" Koleganya itu menjawab: "Dari Miranda." Anggota Dewan periode 1999-2004 itu mafhum dan segera kembali ke ruangannya dengan menggenggam "durian jatuh" itu.

Empat tahun setelah serah-terima amplop, skandal penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior terbongkar. Adalah Agus Condro Prayitno dari PDI Perjuangan yang membuka suara. Diperiksa sebagai saksi untuk kasus lain di Komisi Pemberantasan Korupsi pada Agustus 2008, ia mengaku menerima 10 lembar cek, sehari setelah pemilihan. Ia yakin, cek Rp 500 juta itu imbalan dari pendukung Miranda yang dimotori rekan-rekan fraksinya.

Agus mencairkan empat lembar cek pada 10 Juni 2004. Duitnya dipakai membeli sedan Mercedes-Benz. Tiga hari kemudian, ia mencairkan enam cek di Batang, Jawa Tengah, kota asalnya. Duit dimasukkan ke rekeningnya dan rekening istrinya. Ketika diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, ia menyerahkan buku tabungannya. Dengan bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, jejak cek pun bisa ditelusuri. Nomor seri cek dan kantor penerbitnya terendus dengan cepat. Aliran duit ke Senayan menjadi terang-benderang.

Pengakuan Agus menyeret empat bekas koleganya di Komisi Keuangan DPR: Dudhie Makmun Murod dari PDI Perjuangan, Endin Soefihara dari Partai Persatuan Pembangunan, Hamka Yandhu dari Partai Golkar, dan Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri. Di pengadilan, Dudhie, Endin, dan Udju dihukum masing-masing dua tahun. Adapun Hamka dua setengah tahun.

Berbekal putusan itu, Rabu pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan 26 anggota Komisi Keuangan Dewan 1999-2004 sebagai tersangka. Sebanyak 14 orang dari PDI Perjuangan, 10 dari Partai Golkar, dan 2 orang dari Partai Persatuan Pembangunan. "Barang bukti yang dibutuhkan sudah cukup kuat," kata Bibit Samad Rianto, wakil ketua komisi itu.

Agus Condro dan Daniel Tandjung masuk daftar tersangka. Begitu juga dengan Panda Nababan, sekretaris Fraksi PDI Perjuangan ketika itu, dan T.M. Nurlif, mantan anggota Fraksi Partai Golkar, kini anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Paskah Suzetta, mantan wakil ketua komisi dan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan, pun menjadi tersangka.

Adapun tiga tentara yang sudah ditetapkan menjadi tersangka sebelumnya, yakni Darsup Yusuf, R Sulistiyadi, dan Suyitno, diserahkan ke Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Hingga kini proses hukum terhadap ketiganya belum jelas.

PEMILIHAN Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang memenangkan Miranda diikuti 57 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan. Dalam pemilihan yang berlangsung pada Selasa malam, 8 Juni 2004, itu Miranda menang mutlak, mengantongi 41 suara, mengalahkan kandidat lainnya, Budi Rochadi dan Hartadi A. Sarwono.

Proses pemilihan telah diawali pada pagi hari yang sama, pukul 09.00, dengan uji kelayakan dan kepatutan ketiga calon. Dipimpin Ketua Komisi Emir Moeis, rapat juga diikuti tiga wakil ketua komisi, yakni Paskah Suzetta, Faisal Baasir (Partai Persatuan Pembangunan), dan Ali Masykur Musa (Partai Kebangkitan Bangsa). Para anggota sibuk menyimak pemaparan visi dan misi sang calon.

Kesibukan lain berlangsung di lantai 27 gedung Artha Graha, kawasan SCBD, Jakarta Selatan, kantor PT First Mujur Plantation & Industry. First Mujur adalah perusahaan milik Hidayat Lukman alias Teddy Uban, orang dekat bos Artha Graha, Tomy Winata. Budi Santoso, direktur keuangan perusahaan itu, juga kerabat sang taipan.

Pagi itu, Budi mengaku diperintah Teddy Uban memindahkan Rp 24 miliar ke rekening penampungan perusahaan di Bank Artha Graha. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang memeriksanya, Juni tahun lalu, Budi mengatakan duit disediakan buat membayar kerja sama ekspansi kebun sawit dengan seorang pengusaha bernama Suhardi Suparman alias Ferry Yen.

Bukannya mempermudah proses transaksi, menurut Budi, Ferry Yen meminta pembayaran dilakukan dengan cek pelawat masing-masing Rp 50 juta. Atas permintaan itu, Budi meminta stafnya mengurus pembelian cek ke Bank Artha Graha, yang kemudian membelinya ke Bank Internasional Indonesia. Menjelang tengah hari, menurut Budi, 480 lembar cek telah diserahkan ke Ferry (lihat: Berhulu di Gedung Uang).

Komisi Pemberantasan Korupsi tak akan pernah bisa meminta keterangan Ferry. Ia meninggal pada 2007, setahun sebelum kasus ini meledak ke publik. Tapi, kepada Tempo, seorang kerabatnya mengatakan Ferry dulu bekerja di Artha Graha.

Teddy Uban sejak kasus ini dibuka juga tidak pernah bisa dimintai keterangan. Keluarganya mengirim surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi, menyatakan Teddy dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Adapun Tomy Winata belum bisa dihubungi. "Bapak di luar kota," kata seseorang di telepon yang biasa dipakai Tomy, ketika dihubungi Jumat pekan lalu.

Alih-alih disalurkan ke kebun sawit, cek pelawat itu ditebar di Gedung Dewan, sejam setelah keluar dari Artha Graha, menjelang pemilihan Miranda. Cek lebih dulu diserahkan ke kantor PT Wahana Esa Sejati. Nunun Nurbaetie, istri Adang Daradjatun, ketika itu Wakil Kepala Kepolisian RI dan kini anggota Dewan, menjadi direktur utama.

Pada pukul 10.00 hari yang sama, Nunun memanggil Ahmad Hakim Safari Malangjudo atau Arie, direktur perusahaan itu. Di ruangan telah hadir seorang pria berjas, berambut kelimis, sedikit bicara-dialah Hamka Yandhu. Nunun meminta Arie mengantarkan "tanda terima kasih ke anggota Dewan". Sempat protes, Arie setuju memenuhi perintah itu. "Nanti bapak ini akan menghubungi Pak Arie," kata Nunun sambil menunjuk Hamka.

Hamka menunjuk empat kantong belanja dari karton di samping meja Nunun. "Sudah kita atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, dan putih di kantong itu," kata politikus Golkar itu. Arie setuju. Tengah hari, seorang pria meneleponnya. "Saya mau mengambil yang merah," kata sang penelepon. "Bapak siapa?" Tidak menjawab, penelepon mengatakan, "Saya tunggu di Restoran Bebek Bali di Taman Ria Senayan." Telepon dimatikan.

Arie pun menghubungi Nunun, menyampaikan pesan dari penelepon. Nunun memerintah seorang pesuruh mengantar empat kantong berkode merah, kuning, hijau, dan putih ke ruang kerja Arie. Sang direktur memasukkan semua tas ke bagasi mobil, dan segera meluncur ke Restoran Bebek Bali. Di jalan, seseorang menelepon dan mengatakan, "Saya mau mengambil." Sambil bercanda, Arie mengatakan, "Merah, kuning, atau hijau?" "Hijau," penelepon sigap menjawab. "Saya tunggu pukul 15.00 di Hotel Century, kafe lobi atas."

Di Restoran Bebek Bali, pria bertopi menunggu di balik pembatas ruangan dan pintu masuk. "Dari Ibu Nunun?" ia bertanya. Arie mengiyakan. Pria itu, belakangan diketahui sebagai Dudhie Makmun Murod, menyambar tas merah. "Sori, saya terburu-buru, ada pertemuan lain," katanya, seperti ditirukan Arie kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Arie lalu menuju Hotel Atlet Century, tak jauh dari Restoran Bebek Bali. Ia langsung menuju kafe di lobi lantai dua, melihat seorang pria duduk di sana. Melihat Arie, pria itu berdiri dan bertanya, "Dari Ibu Nunun, ya?" Arie menjawab, "Ya, hijau." Si pria, dialah Endin Soefihara. Misi selesai, Arie kembali ke kantor. Sore hari pukul 17.00, Hamka Yandhu menelepon, mengatakan hendak mengambil tas kuning. Hamka datang menjelang magrib.

Lewat magrib, Udju Djuhaeri dan tiga anggota Fraksi TNI/Polri datang. Kantong putih berpindah tangan. Di depan Arie, Udju meminta rekan-rekannya membuka amplop berisi cek pelawat. "Bapak-bapak harap buka sekarang, jangan ada yang tidak puas dan saya disalahin," katanya. Setelah amplop dibuka, Udju bertanya, "Bagaimana, Pak?" Tiga rekannya serempak menjawab, "Cukup."

Segera setelah penyerahan tas merah, hijau, kuning, dan putih, cek pelawat menyebar dengan cepat ke para anggota Dewan. Sebagian besar penerimanya mencairkan cek pada hari-hari setelah terpilihnya Miranda. Di Fraksi PDI Perjuangan, menurut Dudhie di pengadilan, pembagian diatur oleh Panda Nababan. Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Panda membantah keterangan itu.

Sebagian penerima cek mencairkan sendiri, sebagian lain dicairkan istri, anak, ajudan, staf, atau kerabatnya. Mereka yang mencairkan sendiri antara lain Dudhie M. Murod, Max Moein, Budiningsih, Soewarno, Agus Condro, Marthin Bria Seeran, dan Ni Luh Mariani Tirtasari. "Saya siap diproses secara hukum," kata Marthin. "Pengadilan akan membuktikan kalau saya benar-benar tidak terlibat kasus ini."

Cek jatah politikus Partai Golkar, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dicairkan istrinya, Fatma Sari Tahir, pada akhir Juni 2004. Bobby menerimanya dari Hamka, yang pada suatu sore meneleponnya, "Om, ada amplop, kalau bisa mampir ke sini." Bobby lalu mengambil amplop berisi 10 lembar cek di ruang kerja Hamka.

Menurut keterangan BII kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, 462 lembar senilai Rp 23,1 miliar dicairkan pada 2004. Sebanyak 16 lembar senilai Rp 800 juta dicairkan pada 2005. Dan dua lembar belum dicairkan pada saat kasus ini terungkap.

PROSES penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dikatakan selesai setelah Hamka, Dudhie, Endin, dan Udju diadili. Para penyidik hanya menunggu proses hukum selesai. "Tidak ada penyadapan atau penguntitan lagi," kata seorang pejabat komisi itu. "Para penyidik hanya melakukan analisis terhadap keterangan saksi-saksi dan terdakwa."

Bulan lalu, menurut sumber Tempo, Komisi Pemberantasan Korupsi memutuskan akan fokus pada aliran dana ke hilir, bukan asal dana. Bukti-bukti buat menjerat penerima suap dinilai lebih kuat. Adapun bukti untuk mengejar para sponsor dianggap belum cukup.

Pada 27 Agustus, rapat pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi membentuk enam tim penyidik untuk menangani 26 tersangka baru. Di tengah proses ini, menurut sumber lain, "alarm" di komisi itu berbunyi. Dua perwira penyidik diindikasikan sering berkomunikasi dengan seorang pengusaha yang dicurigai ikut menjadi sponsor cek pelawat. Sayangnya, belum ada bukti telak. Walhasil, dua perwira itu tetap dilibatkan dalam tim tapi dengan pengawasan ketat.

M. Jasin, wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, menolak menjelaskan proses penentuan 26 politikus menjadi tersangka. "Itu rahasia dapur kami," katanya. Ia hanya menjelaskan prosedur normal, "Kami melakukan gelar perkara. Jika sudah ada bukti cukup, prosesnya berlanjut. Prosesnya memang agak lama, tapi tidak lama-lama banget."

Menurut pimpinan KPK Bibit Samad Rianto, komisinya masih meneliti kemungkinan keterlibatan tiga politikus lainnya. "Sedang kami dalami," katanya. Bibit tak mau buka mulut tentang tiga calon tersangka itu. Keterangan yang lebih jelas datang dari sumber lain di KPK.

Menurut sumber itu, ketiganya adalah anggota DPR 1999-2004 dari sebuah partai besar. Meski terlibat, dasar hukum menyidik ketiganya belum kuat betul. Satu orang misalnya diketahui menerima cek pelawat tapi tak hadir dalam rapat penyusunan strategi pemenangan Miranda yang berbuntut rasuah itu. Seorang lainnya hadir dalam rapat tapi menerima cek setelah proses pemilihan Miranda usai, bukan sebelumnya. Oleh pemberi cek pelawat-rekannya yang kini jadi tersangka-rezeki nomplok itu disebut sebagai biaya kampanye pemilu. Seorang lainnya belum bisa dibuktikan menerima suap meski ikut dalam rapat bagi-bagi duit.

KPK tampaknya ekstrahati-hati dalam melangkah. Maklum, komisi ini tak punya hak menghentikan perkara (SP3) jika ternyata kasus yang mereka angkat tak kuat masuk pengadilan.

Legislator yang menerima cek pelawat tapi tak ikut rapat, misalnya, di pengadilan hanya bisa dikenai pasal gratifikasi-pasal yang hanya menghukum ringan pelakunya. Anggota Dewan yang menerima cek atas nama biaya kampanye juga belum disidik karena dasar hukum pemberian suap belum kukuh. Meski demikian, sumber itu memastikan, "Akan mendalami peran ketiganya dalam pemeriksaan 26 tersangka yang lain."

Segera setelah penetapan 26 tersangka, politikus merespons. Pada Rabu malam pekan lalu, pengurus PDI Perjuangan menggelar rapat dan menemui Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Dipimpin Trimedya Panjaitan, ketua dewan pimpinan pusat partai itu, sejumlah politikus datang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat pekan lalu.

Beberapa tokoh populer juga berusaha menghubungi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi pintu ditutup rapat-rapat. Enam tahun lebih setelah "durian runtuh" ditebar, para penadahnya bakal segera masuk bui.

Para Pencair

Sehari setelah pemilihan yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom, cek terbagi ke sebagian besar anggota Komisi Keuangan Dewan. Beberapa dari mereka mencairkan sendiri. Ada juga yang dicairkan istri, anak, sopir, atau kerabat. Mereka yang mencairkan sendiri dengan mudah terendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI
• Agus Condro Prayitno: Rp 500 juta
• Williem Tutuarima: Rp 500 juta
• Sutanto Pranoto: Rp 600 juta
• Jeffrey Tongas Lumban: Rp 500 juta
• Poltak Sitorus: Rp 500 juta
• Budiningsih: Rp 500 juta
• Muhammad Iqbal: Rp 500 juta
• Mathoes Pormes: Rp 500 juta
• Engelina Pattiasina: Rp 500 juta
• Rusman Lumbantoruan: Rp 500 juta
• Soewarno: Rp 500 juta
• Max Moein: Rp 500 juta

Fraksi Golongan Karya DPR-RI
• T.M. Nurlif: Rp 550 juta
• Bobby Suhardiman: Rp 500 juta
• Baharuddin Aritonang: Rp 350 juta
• Hengky Baramuli: Rp 500 juta
• Reza Kamarullah: Rp 500 juta
• Antony Zeidra Abidin: Rp 600 juta
• Marthin Brian Seran: Rp 250 juta
• Paskah Suzetta: Rp 600 juta
• Ahmad Hafiz Zamawi: Rp 600 juta
• Asep Ruchimat Sudjana: Rp 150 juta

Fraksi PPP DPR-RI
• Sofyan Usman: Rp 500 juta
• Daniel Tandjung: Rp 500 juta

Berhulu di Gedung Uang

Cek pelawat yang ditebar dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, enam tahun silam, bersumber dari PT First Mujur Plantation & Industry. Dibeli dari Bank Internasional Indonesia, 480 lembar cek masing-masing senilai Rp 50 juta dibayar melalui rekening perusahaan itu di Bank Artha Graha.

Di persidangan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sejumlah saksi berusaha memutus aliran dana ini. Budi Santoso, Direktur Keuangan First Mujur, misalnya, menyatakan cek yang dikeluarkan perusahaannya merupakan pembayaran kepada Ferry Yen alias Suhardi S., untuk kerja sama bisnis kebun sawit. Ia menyatakan tidak mengetahui mengapa cek itu bisa sampai ke anggota Dewan. Ferry, bekas karyawan Artha Graha, tak bisa lagi dimintai konfirmasi. Ia meninggal pada 2007. Betulkah demikian? Kronologi aliran dana berikut ini mematahkan argumen tersebut.

Budi Riza
8 Juni 2004
09:00
Budi Santoso mengatakan diperintah Hidayat Lukman alias Teddy Uban, Presiden Direktur First Mujur, untuk mengeluarkan Rp 24 miliar dari rekening perusahaannya. Seorang anggota staf lalu berangkat menuju Bank Artha Graha di kawasan SCBD, Jakarta. Bank Artha Graha menghubungi Bank Internasional Indonesia, menanyakan apakah bank itu memiliki 480 cek pelawat. Dijawab tersedia, Bank Artha Graha mengirim surat pemesanan melalui faksimile.

08:30
Bank Artha Graha mengirim Rp 24 miliar ke BII melalui RTGS untuk pembayaran.

09:30
Kepala Seksi Traveller's Cheque BII menuju Bank Artha Graha untuk menyerahkan pesanan. Ia tiba setengah jam kemudian.

11:00
Cash Officer Bank Artha Graha menyerahkan cek pesanan ke staf First Mujur, yang kemudian diserahkan ke Budi Santoso, Direktur Keuangan First Mujur Plantation. Menurut Budi, cek-cek itu diserahkan ke Ferry Yen. Tapi, anehnya, cek mulai didistribusikan ke para anggota Dewan satu jam setelahnya.

12:00
Direktur PT Wahana Esa Sembadha Arie Malangjudo menerima telepon dari seseorang mengaku dari "Fraksi Merah". Penelepon menanyakan jatah fraksinya. Arie menghubungi direktur utama, Nunun Nurbaetie Daradjatun. Nunun memerintahkan office boy mengantar empat tas berkode merah, kuning, hijau, dan putih ke ruang kerja Arie. Tas berisi sejumlah amplop cokelat berisi cek pelawat. Nomor serinya sama persis dengan cek pesanan First Mujur. Arie diperintah Nunun mengantarnya ke sejumlah orang.

13:00
Arie tiba di Restoran Bebek Bali, Taman Ria Senayan, Jakarta Selatan. Ia menyerahkan tas berkode merah ke seseorang yang bertopi dan berjaket. Belakangan diketahui penerima tas adalah Dudhie M. Murod, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Di persidangan, Dudhie mengaku datang atas perintah koleganya, Panda Nababan.

15:00
Arie datang ke Hotel Atlet Century, Senayan, untuk bertemu Endin A.J. Soefihara dari Partai Persatuan Pembangunan. Di lantai dua hotel itu, tas berkode hijau berpindah tangan.

18:00
Hamka Yandhu dari Partai Golkar datang ke kantor Wahana Esa Sembadha, Menteng, Jakarta Pusat. Ia mengambil tas berkode kuning.

19:00
Udju Djuhaeri, R. Sulistiyadi, Suyitno, dan Darsup Yusuf dari Fraksi TNI/Polri juga datang ke kantor Arie. Mereka pulang me-ngantongi masing-masing sepuluh lembar cek senilai Rp 500 juta.
Sumber: Tempo edisi 28/39 tanggal 6 September 2010
Ket foto: Miranda Gultom
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger