Headlines News :

Artikel Terbaru

Bupati Paling Produktif di Tanah Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, October 06, 2020 | 1:17 AM

KALAU kita ajukan pertanyaan kepada orang asli Papua, siapa Bupati atau Walikota di Bumi Cenderawasih itu paling produktif menulis buku, bisa saja jawaban beragam. Apalagi bertanya, para pemimpin (Bupati-Walikota) lokal dengan usia tergolong muda. Bisa dipastikan Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa adalah pemimpin lokal paling produktif dalam menerbitkan buku sepanjang sejarah pengabdiannya entah sebagai anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) sebelum didapuk warga jadi Bupati Dogiyai bersama 'pengantin', Wakil Bupati Oscar Makai. 
 
Di atas mereka, para bupati maupun walikota, juga pernah menghasilkan karya tulis berupa buku. Gubernur Papua Lukas Enembe juga pernah menulis (kalau tak salah) 'Jalan Terjal Anak Koteka', karya bernasnya yang melukiskan perjalanan panjang anak koteka dari Tollikara bertaruh waktu untuk sekolah hingga akhinya terpilih jadi Bupati Puncak sebelum akhirnya mendapat mandat rakyat Papua mengemban tugas sebagai Gubernur hingga dua periode kepemimpinannya. 
 
Selevel dengan Kobus (saya kerap menyapa akrab Yakobus Dumupa begitu di jejaring maya), ada juga Eltinus Omaleng, Bupati Mimika, kabupaten yang bertabur emas, tembaga, perak, dan lain-lain, yang dikelola PT Freeport Indonesia, Tbk kemudian menjadi penopang strategis pemasukan bagi negara. Omaleng, kepala suku besar pemilik ulayat tanah Namangkawi, gunung bertabur kekayaan alam melimpah yang membuat raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, tergila-gila melebarkan sayap usaha tambangnya di wilayah itu. Bupati Omaleng menerbitkan karyanya, 'Papua Minta Saham' kemudian buku itu dibedah dalam sebuah kesempatan di Hotel Borobudur, kawsan Lapangan Banteng, tak jauh dari stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat. 
 
Mengapa menulis buku 
 
Nama Bupati Kobus tentu tak banyak warga Papua atau Indonesia, kenal. Saya sejenak bersua dengan sosok anak muda ini dari buku karyanya. Buku itu, Demokrasi Tak Selamanya Lurus, yang terbit tatkala ia menjabat anggota Majelis Rakyat Papua, wadah kultural penyambung lidah rakyat seturut perintah Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus), UU yang dianggap efektif menjembatani pro-kontra ketertinggalan Papua dalam seluruh dimensi pembangunan sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1961. 
 
Para intelektual Papua tak sekadar dihitung dengan jari. Sangat banyak. Mereka tak sekadar lahir dari kalangan masyarakat biasa. Namun juga Gereja lokal juga memiliki 'mutiara' berkelas yang ikut merawat peradaban umat manusia melalui karya tulis bagi generasinya. Saya mencatat ada tokoh Gereja lokal semisal Pendeta Dr Benny Giyai, Pendeta Dr Socratez Sofyan Yoman, (Alm) Pastor Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr, Markus Haluk, S. Fil, mantan wartawan Kompas & mantan Menteri Kabinet Manuel Kaisiepo, Frans Maniagasi, dan lain-lain. (Sekadar menyebut beberapa nama). Mereka ini adalah intelektual Papua yang setia merawat peradaban dunia melalui buku karya mereka untuk generasi anak-anak tanah Melanesia. 
 
Mengajukan pertanyaan kepada Bupati Kobus mengapa menulis buku, sangat menarik. Suatu waktu, iseng-iseng saya bertanya kepada beliau mengapa ia "kpala batu" mau menulis buku. Namun, merespon jawaban itu kadang lama. Bisa dimaklumi. Dogiyai adalah kabupaten di tanah Papua yang sangat sulit menerima akses telekomunikasi. Untung-untungan kalau cuaca pegunungan tengah bersahabat. Mendapat akses informasi, warga kerap menempuh jarak ratusan kilometer ke Nabire, kabupaten tetangga yang sedikit jauh lebih beruntung. Tapi, Kobus tak patah arang. Semangatnya menggunung sebagai anak kampung yang bermukim di Moanemani, kota Kabupaten Dogiyai, di bawah dekapan udara yang segar tanah leluhurnya. 
 
Beberapa waktu lalu, melalui jejaring naya Kobus buka suara ikhwal panggilannya menulis buku di tengah tugas pokoknya bersama Oscar Makai memimpin Dogiyai. Ia menyebutkan, ada dua hal yang mendorongnya menulis buku. Pertama, berawal dari kegemarannya membaca, merenung, dan berefleksi. Entah saat bertelanjang kaki berada di tengah got membersihkan saluran yang mampet atau menemami orangtuanya membersihkan kebun di sela-sela waktu luang sepulang kantor. Kobus menyampaikan beberapa alasan di balik kecintaannya menulis. 
 
Pertama, pengetahuan yang ia peroleh dengan membaca mendorongnya untuk menyalurkan pengetahuan yang ia miliki kepada orang lain. Dan sarana penyalur yang paling efektif adalah menulis. Makanya, ia selalu beralasan, penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Kedua, baginya tulisan dalam bentuk buku adalah sarana paling efektif untuk melestarikan atau mengabadikan kehidupan. Manusia punya batas waktu untuk hidup, tetapi apapun yang dirasakan, dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan bisa diabadikan melalui tulisan. 
 
"Saya berharap dari buku-buku yang saya tulis dan terbitkan ada intensi mulia. Apapun yang saya tulis dapat berkontribusi untuk kebaikan bagi semua orang. Tulisan-tulisan dan buku-buku saya dapat memotivasi orang lain untuk menulis, bahkan menjadi penulis yang lebih hebat dari saya," ujar Bupati Yakobus. Ia mengaku, hingga saat ini pihaknya telah menulis dan menerbitkan sebelas buah buku beragam tema. Selain itu masih ada sembilan naskah buku yang dalam proses penyelesaian penulisan. 
 
Bagi orangtua talenta yang diberikan Tuhan kepada puteranya, Kobus, adalah berkat yang wajib dibagikan kepada semakin banyak orang demi keagungan dan keluhuran nama-Nya. Ia mengaku, sesungguhnya kedua orang tuanya juga tidak begitu kaget sang putera menjadi penulis buku. Sebab mereka tahu anak mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan itu. "Orang tua saya hanya berharap agar saya terus menulis dan berharap semoga buku-buku saya berguna untuk kebaikan semua orang," kata Yakobus Dumupa. Awal Oktober 2020, Kobus menerbitkan buku barunya, 'Ungkapan Kegelisahan: Catatan Harian 2012', yang di-handle Penerbit Ikan Paus Jakarta. 
 
Jakarta, 2 Oktober 2020 
Ansel Deri 
Orang udik dari kampung; 
Pernah ke Jayapura & Timika 
Ket foto: Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa bersama Presiden Joko Widodo

Membasuh Jiwa dalam Sisi Lain Tuhan Chee

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, August 11, 2020 | 10:11 PM

TAK banyak penyair setia mengendus kata dalam jejak sepi. Si penyair kayanya perlu semacam mantra sakti lalu menepi di sunyi puisi. Doa sudah pasti: di tempat sepi di kaki gunung, misalnya. Kadang di kamar biara. Di tengah savana. Pun di altar Gereja. Memeluknya dengan riang. Chee, salah satunya. Pasangan burung Gereja pun ia pelototi (dalam imajinasi) demi kata yang ia cari kemudian hadir dalam bait-bait. Tatkala pasangan burung bercinta pun, mata penyair ini tak sudi berpaling.

Chee, si penyair dalam "Sisi Lain Tuhan", mengamati burung Gereja yang tengah dalam desah. Chee, lengkapnya Chee Nardi Liman, menyadari diri di sisi, di hadapan Tuhan: ia seperti manusia biasa, umat yang tak pernah merasa bebas dari dosa. Ia (manusia, umat) adalah makluk berlumur dosa karena, misalnya, kerap selingkuh. Dan syair itu lahir dari kedalaman hatinya; lebih pas batin. Ia (penyair) -tentu juga penikmat puisi & sastra umumnya- seperti membasuh jiwa dalam syair; menyadari diri sebagai makluk yang lemah di hadapan Sang Sabda. Katanya, “Maaf Tuhan, hamba-Mu doyan selingkuh di bangku-bangku bait-Mu,” kata Chee dalam Birahi, salah satu bait dalam Sisi Lain Tuhan, antologi puisi perdananya.

Paling kurang puluhan karya sastra (baca: puisi) Chee dalam antologi ini menegaskan satu hal: kedekatan penyair dengan Tuhan sebagai sumber inspirasi. Seketika kedekatan itu menjelma puisi-puisi religi dalam antologi bersampul gelap. Tambahan ilustrasi seorang (katakan musafir) tengah meneteng lentere di tengah gulita malam adalah perjalanan sunyi membasuh jiwa dalam doa. Karena itu lahirlah puisi-puisi religi (banyak saya lihat begitu) ringkas dengan lokus kelahiran puisi bertautan jauh satu sama lain. Kluang, Wisma Gaspar, Wanno Gaspar (apakah identik dengan Wisma Gaspar Chee?), Yogyakarta, Wisma Sang Penebus, dan Weetabula.

Adakah pembaca atau tepatnya penikmat puisi Chee tahu dari beberapa sudut negeri ini lahir puisi-puisi indah penyair muda ini? Yogya, Wetabula okelah. Yogya? Dunia tahu. Ia kota tempat domisili Raja Yogya sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X. Pun Weetabula. Di Pulau Sumba, menyebut Weetabula, identik dengan pusat karya para imam Katolik dari Kongregasi Redemptoris (CSsR). Begitu juga Sumba adalah tanah kelahiran Umbu Landu Paranggi, penyair unik bergelar "mantan Presiden Malioboro". Umbu, penyair kuda kayu bertangan dingin yang melahirkan banyak penyair berbakat seperti budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) atau si empunya "Pengakuan Pariyem", Linus Suryadi AG bahkan Ebiet G Ade, penyanyi dan pencipta lagu legendaris Indonesia.

Sedang Kluang? Tentu tak banyak yang tahu di mana letaknya. Tapi tidak demikian dengan Chee. Ia (Kluang) adalah kampung nun di udik, di lereng Labalekan. Tepatnya di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kluang, Belabaja dan Boto adalah tiga kampung atau dusun kecil mungil di Nagawutun yang familiar dengan Boto. Boto (desa Labalimut) adalah pusat Paroki St Joseph Boto dan bekas kota Kecamatan Nagawutun tempo doeloe sebelum pindah ke Loang, kota kecamatan saat ini. Kluang adalah dusun tempat awal gedung SMP Lamaholot Boto, sekolah swasta yang didirikan para kepala kampung tahun 60-an untuk anak-anak kampung di sekitar lereng Labalekan. Tahun 1997, sekolah menengah ini diambil alih pemerintah kemudian berubah nama jadi SMP Negeri 2 Nagawutun.

Sekolah ini menjadi lahan pengabdian Josef Ribu Liman, ayahanda terkasih penyair Chee, sebagai guru. Pun kampung tempat Marselina Jawang, ibunda Chee menghabiskan waktu membesarkan ketiga anaknya: Elfri Liman, Icha Liman, dan penyair Chee. "Chee salah satu murid kami yang pintar dan rendah hati. Ia anak yang kutu buku. Kami bangga dengan alumni seperti Chee dan pilihan hidupnya saat ini. Saya sudah pesan beberapa buku Sisi Lain Tuhan agar jadi bahan bacaan adik-adiknya dan kami para guru di almamater," kata Konrad Soni Labaona, Kepala SMP Negeri 2 Nagawutun. Setahu saya, guru Ribu Liman dan isterinya adalah aktivis sosial keagamaan. Di masanya, tatkala masih mengabdi di Boto, Ribu Liman adalah pemimpin Ibadat Sabda tatkala pastor paroki turne ke luar stasi. Begitu pula sang isteri, ibu Marselina, adalah anggota koor dan penggerak ibu-ibu di dusun ini. "Kalau liburan, anak-anak saya juga akan menghabiskan waktu liburnya di Kluang. Selain ke Lamabaka, kampung halaman dan tanah leluhurnya," kata ibu Marselina tatkala saya sambangi di Klua(ng) suatu waktu. 

Jakarta, 25 Juli 2020 

Ansel Deri 

Orang udik dari kampung; 

Penikmat sastra 

Foto: buku Sisi Lain Tuhan karya Chee..

Jejak Inspiratif Surya dari Kuta Raja

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, July 21, 2020 | 9:59 AM

Oleh Ansel Deri
Staf Anggota DPR F-NasDem 2014-2019 

KEHADIRAN partai sebagai alat perjuangan politik bagi kemaslahatan rakyat sungguh disadari segelintir elite negeri di Indonesia. Tatkala kran keterbukaan menganga menyusul berakhirnya sistem politik otoritarian Orde Baru ke sistem demokratis, peran partai politik kian disadari sangat vital para elite. Tatkala sistem demokratis diterapkan saat bersamaan memberi peluang perubahan terhadap dinamika kehidupan politik nasional. 

Sejarah politik Indonesia mencatat ada segelintir elite bangsa terpanggil melahirkan partai sebagai sarana dan alat perjuangan politik guna meraih cita-cita besar bagi kebaikan atau kesejahteraan umum, bonum commune. Partai diyakini menjadi salah satu institusi penting dan instrumen strategis bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi. Ia (partai) muncul sebagai salah satu pilar penting demokrasi. Para pakar juga meyakini bahwa tanpa partai politik demokrasi tak akan efektif bekerja.

Salah satu elite bangsa, Surya Dharma Paloh, adalah segelitir dari elite bangsa yang memenuhi panggilan mengabdi bangsa dan negara melalui partai. Pengusaha dan tokoh pers nasional dari Kuta Raja, kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam itu menghadirkan NasDem, di mana ia tampil sebagai sosok penting di balik kehadiran partai yang mengusung tagline Restorasi Indonesia. Surya memahami poin penting sikap kenegarawanan sebagai sebuah kebutuhan terbesar dan panggilan luhur.

Kepentingan komunal

Apa makna politik bagi Surya, paling kurang ada beberapa catatan. Pertama, politik tak dipahami sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Pemahaman mesti bergerak lebih ke dalam yaitu memikirkan kepentingan rakyat dalam artian sesungguhnya. Bila politik dimengerti sebatas merebut kekuasaan maka makna paling esensial politik tergerus.

Poin ini hendak menegaskan bahwa para elite partai yang tengah mengabdi di jalur politik memiliki misi kolektif menunaikan tugas-tugas partai meraih kesejahteraan bangsa dan negara. Kerja politik tak boleh dipatok untuk kepentingan kelompok tetapi demi kebutuhan dan kepentingan yang lebih luas yaitu kemaslahatan bersama.

Tak berlebihan Surya setia mengingatkan pentingnya makna dan pemahaman esensi politik bagi para elite internal. Misalnya, saat hadir dalam acara syukuran dua tahun Fraksi Partai NasDem DPR RI periode 2014-2019 di Lt 22 Gedung Nusantara 1, kompleks DPR/MPR RI Senayan, Jakarta. Ketua Fraksi (kala itu), Viktor Bungtilu Laiskodat mengundang Surya memberikan nasehat dan arahan kepada anggota fraksi bekerja dengan sumber daya, resourches yang dimiliki agar kerja politik kian berdaya guna. Para elite (kader) juga semakin memahami esensi partai dalam kerja-kerja politik demi kebaikan umum. Meski bicara secara internal, pesan ini tentu juga bagi elite lainnya.

Kedua, di tengah kehidupan yang penuh tantangan, para elite partai senantiasa diharapkan tetap berkonsolidasi, berbenah, dan berkontribusi maksimal bagi bangsa dan negara. Para elite setia mengambil peran politik, tidak sekadar berpikir mengedepankan kepentingan partai tetapi memikirkan kepentingan negara yang lebih luas. Partai mesti rela melepaskan kepentingan sesaat namun terus menyasar dan sanggup berkorban demi kebaikan bersama.

Pilihan sikap setia memberi arahan, nasehat kepada para elite internal sebagaimana dilakukan Surya dalam berbagai kesempatan ialah langkah tepat yang bertujuan memastikan satu hal penting tentang arti dan makna esensial dari politik. Bahwa esensi politik selalu berkiblat atau mengabdi kepentingan umum. Dengan demikian, partai perlu menawarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki kepada masyarakat yang merupakan muara dan pengabdian politik.

Mengapa tawaran keunggulan politik ini penting? Itu tak lain bertolak dari konsep ideal politik yang memiliki orientasi menjawab kepentingan bersama. Selain itu dalam praksis hidup politik kerap dibelokkan segelintir elite sehingga tujuan mulianya dibajak di tengah jalan. Politik berpotensi berbelok arah, berubah menjadi anak tangga menggapai kepentingan pribadi atau kelompok. Bila itu terjadi esensi politik tergerus.

Panggilan suci

Dalam Restorasi: Rekonstruksi Menuju Keberadaban Politik (2007), Surya mengapresiasi tema restorasi NasDem, partai yang ia dirikan. Kata Surya, Restorasi Indonesia sebagai tagline semangat perjuangan untuk melakukan perubahan bangsa ke arah lebih baik merupakan pilihan tepat, atraktif, dan inspiratif. Restorasi sebagai upaya melakukan rekonstruksi menuju pemberdayaan politik menjadi salah satu tawaran yang tepat.

Tak berlebihan di tangan Surya dan para elitenya pada Pemilu 2019 NasDem mendulang sukses kemudian mengantar partai itu masuk peringkat lima besar dengan perolehan 12,6 juta suara. Sukses ini bertolak dari semangat Restorasi Indonesia yang diusung dan nilai-nilai yang dipegang dan diperjuangkan selama ini.

Karena itu bila ada hal-hal terkait kinerja partai ia serahkan kepada masyarakat untuk menilai apakah partai melenceng dari semangat tujuan awal atau tidak. Baginya, tidak ada tempat bagi kader bila dia inkonsisten. Bahkan alangkah bodohnya bagi Surya sebagai pendiri dan ketua umum membuang waktu, tenaga, pikiran, energi yang dimiliki tanpa ambisi untuk satu kekuasaan formal yang ingin dicapai kalau bukan hanya karena niat baik semata-mata. Di sini, politik adalah panggilan suci mengabdi rakyat, meski kerap dilihat dalam wajah berbeda seperti berikhtiar dengan kotor.

Menurut Frumen Gions dalam Gereja Itu Politis (2012), kita hidup dengan pemahaman dan bahkan keyakinan bahwa politik itu sama dengan tipu muslihat dan laku tercela. Berpolitik berarti berikhtiar dengan kotor, bergelut dengan dusta, bertingkah dengan kasar dan berjuang dengan korup. Politik adalah wilayah penuh intrik, dendam kesumat. Padahal, kenyataan-kenyataan buruk bisa muncul dalam kehidupan bersama lantaran kita sendiri tak punya sensivitas untuk kehidupan sosial.

Dalam benak Surya, boleh jadi politik merupakan aspek kehidupan manusia yang punya nilai fundamental dan menarik. Politik adalah ruang publik, muara aneka kepentingan manusia. Entah elite, aparat, pers, petani, tukang sayur, guru, mahasiswa, supir, cleaning service, petugas pom bensin, tukang cukur, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan esensi politik sesungguhnya. Lewat NasDem Surya menunjukkan dirinya laksana surya, suluh kemudian mendermakan tenaga, pikiran, dan uangnya melalui karya sosial maupun politiknya bagi banyak orang.

Harian Media Indonesia (14/7 2020) menyebut Surya Paloh sebagai inspirator kaum muda membangun negeri. Ia tokoh politik, tokoh pers, dan pengusaha sukses. Namanya tak asing di Tanah Air dengan segudang pengalaman dan prestasi. Di kalangan pengusaha nasional, Surya dikenal sebagai sosok bertangan dingin dalam menjalankan roda bisnisnya. Pidato politiknya selalu membakar semangat sehingga kerap disebut sebagai singa podium namun berhati lembut, asyik berdiskusi.

Jejak panjang pengabdian Surya dalam politik dapat dibaca dalam beberapa aspek. Pertama, politik perlu dipahami dari esensinya untuk menata kehidupan masyarakat yang berpatok pada prinsip keadilan. Mengapa hal ini penting? Konflik politik berpotensi lahir dan dapat menyandra rakyat. Dengan demikian dituntut kesadaran kolektif elite dan rakyat dalam berpolitik.

Kedua, elite di semua level perlu memahami peran politiknya menata kehidupan guna mewujudkan cita-cita meraih kebaikan bersama agar lebih sejahtera, berkeadaban, dan berkeadilan. Mengapa? Politik tak sekadar urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Ia mesti dipahami dalam terang iman sebagai peluang tepat menjadi berkat bagi sesama. Selamat Ulang Tahun ke-69, Pak Surya Paloh. Pengabdianmu adalah inspirasi anak bangsa dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.  
Sumber: Victory News, 21 Juli 2020

Sapardi Djoko Damono dan Puisi yang Mampus

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, July 19, 2020 | 12:00 AM



KALAU Prof Dr Sapardi Djoko Damono (80) masih hidup ia akan menertawakan kami. Tinggal di kaki gunung dengan kawalan belukar yang masih perawan, teman kami adalah katak di sungai, ubi kayu (singkong), keladi, petatas dari kebun orangtua, dan panorama alam pegunungan nan eksotik. Puisi dengan modal kata? Sabar dulu. Biarkan kami anak laki berdeklamasi dengan baju disisip dengan celana sobek di bawah selangkangan. Atau rok teman-teman sesama anak kampung yang dijahit dengan benang hasil pintal ibu-ibu mereka.

Nikmat? Tentu. Tapi, jangankan Chairil Anwar atau Idrus, nama "tuan tanah" di jagad sastra, tuan Sapardi pun tak akan ambil pusing dengan kami. Kalaupun mereka tahu kami anak-anak tengah berdeklamasi ria di bawah hawa gunung yang manja, mungkin hanya sebait doa mereka yang rapuh di sunyi puisi dari Jakarta, kota bertabur beton. Kami hanya berdeklamasi. Bukan berpuisi. Kok begitu? Ya, tak ada kata "puisi" yang membaptis omongan-omongan lisan rada seni yang indah. Puisi kami sudah mampus: kami "berpuisi" dengan gambar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, gudang kata, adalah barang mewah tuan-tuan yang mengatur negara. Kami terpaut jauh. Sejauh langit dan bumi; bumi, tanah leluhur tempat kami pijak nun di lereng. Kata yang segera menjadi puisi telah lama mampus. Puisi sudah lapar dan lama mati di tengah sunyi: dibalut rimba lereng. Ia mati tapi tidak (mati) dalam batok kepala kami yang telah penuh dengan gizi ubi kayu, bunga & daun pepaya dari ladang bapak & ibu kami. Otak kami sudah menyatu dengan katak di sungai yang mengalir di lekuk alam yang masih perawan. Puisi mati tapi ia suci dan bertahan dalam benak kami. Ia beranak pinak dalam wajah ubi kayu, pisang, katak, daunan hijau yang kami santap di ladang atau di bibir anak sungai, tak jauh dari kampung. Kalaupun Sapardi, Chairil atau Idrus tahu kala itu, ia akan menyapa kami dari jauh: dalam puisi meski nantinya puisi juga jadi barang asing.

Mengapa? Kami punya sebatas satu ini: deklamasi. Pun musiman. Untung-untungan kalau guru kami membawa kami ke tengah lapangan lalu kata luruh seperti butiran jagung dari serbet ibu yang sudah kabur warnanya. Kemudian satu per satu disuruh deklamasi modal corat coret guru di atas selembar kertas putih polos agar kata merasuk sukma yang sudah kebal dengan gizi dari dapur sederhana ibu. "Tali celana kamu diikat kuat. Kalau saat berekspresi dalam deklamasi celana kalian tidak melorot. Sayang kalo tali celana putus ayahmu bisa pening. Kata-kata yang kita produksi adalah bahasa jiwa. Ia lentera batin melihat ke (dunia) luar," kata guru Bahasa Indonesia kala itu.

Puisi? Tak ada. Sekali lagi: puisi sudah (lama) mampus. Tapi ia jadi seperti orang suci, kudus dalam batin. Ia akan setia bekerja membasuh jiwa kita, jiwamu, kelak di manapun ujung bumi kau pijak. Puisi akan jadi guru dalam setiap jejak tapak yang kau ciptakan, katanya. Benar. Bersentuhan dengan Golgota, tempat tengkorak, dalam (baru belakangan setelah "deklamasi" bergeser) puisi di kota Timor, di atas batu karang dalam selembar koran lokal. Puisi (nama baru) menemui ruang edisi Minggu. Menyebut penulis deklamasi takut dibilang ndeso: kampungan. Dibilang penyair terlalu tinggi setinggi gunung Labalekan. Ya, mau dibilang apa, terserah. Tapi jangan dibilang penyair. Terlalu berlebihan. Atau abai lebe lebe, kata orang Kupang. Saya tidak di posisi itu. Pas kalau menyebut John Dami Mukese di tingkat lokal (sekadar menyebut satu nama) atau Sapardi, Chairil Anwar atau Idrus di level atas. Kalau Sapardi, ya. Sapardi dalam hati saya tak lebih seorang pemangku ulayat "deklamasi", "puisi" dalam khasana satra Indonesia. Ia telah memenuhi panggilan Tuhan, sang Penyair dari segala penyair. Langit negeri bertabur kata di Ahad 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka, Tangerang Selatan, seputaran Bumi Serpong Damai, Banten. Sapardi menutup mata selamanya menghadap Tuhan, Sang Sabda.

Sosok Sapardi

Siapa sastrawan Sapardi Joko Damono? Ia bukan orang kampung saya. Tapi kelak ia telah mengajarkan banyak orang arti mengolah batin, mencintai manusia, dan negeri di mana kita tinggal. Negeri bertabur onggokan tanah besar dan kecil bernama seperti Lembata. Pulau yang juga jadi tempat lahir Prof Dr Gregorius Perawin (Gorys) Keraf, guru besar dan ahli Tata Bahasa Indonesia. Sapardi lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1943. Ia anak pertama dari dua bersaudara pasangan orangtua Sadyoko dan Sapariah. Sekolah mulai SD hingga SMA ia lalui di Solo. 'Melarat' (dalam istilah kampung saya) atau merantau ke Jogja, ia diterima di jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada hingga meraih gelar tahun 1964. Tahun 1970-1971, ia terbang ke Hawaii untuk menempuh pendidikan non gelar di University of Hawaii, Honolulu. Masa studi Sapardi yang kala itu saya masih orok setelah ibu pecah ketuban di hutan tak jauh dari kampung dan saya mulai bertemu dunia luas. Tahun 1989, Sapardi meraih gelar doktor (S-3) Universitas Indonesia (UI). Disertasinya membedah novel-novel di Jawa tahun 1950-an. Baru tahun 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra kampus negeri itu.

Jejak Sapardi

Sapardi memiliki sejarah panjang pengabdiannya di jalur pendidikan. Ia guru di ruang kuliah dan guru di tengah masyarakat. Ia tentu mengajar bagaimana cara olah gerak mimik dan tubuh yang baik saat deklamasi, berpuisi bagi banyak orang terutama para penyair Indonesia bahkan dunia. Kompas.com menulis sekilas jejak pengabdian Sapardi. Ia pernah menjadi dosen tetap, Ketua Jurusan Bahasa Inggris, IKIP Malang Cabang Madiun, tahun 1964-1968. Tak lama diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1968-1973. Sejak 1974, ia bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra, UI, jurusan Sastra Indonesia. Fakultas ini yang kalau tak salah juga ada Gorys Perawin Keraf, penulis Tata Bahasa Indonesia, buku yang jadi bacaan di sekolah-sekolah, termasuk kampus-kampus di Indonesia. Sapardi pernah menjabat Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, UI kurun waktu tahun 1979-1982. Tak lama kemudian diangkat jadi Pembantu Dekan I pada 1982-1996. Lalu menjabat Dekan tahun 1996-1999 di UI.

Tahun 2005, ia memasuki masa pensiun sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya, UI. Meski demikian, ia masih diberi tugas sebagai promotor dan penguji di beberapa perguruan tinggi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa. Ia juga aktif di lembaga seni dan sastra tahun 1970-1980. Ia pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain. Tahun 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Ia pun mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode. Sapardi juga tercatat sebagai anggota Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), dan sebagai anggota Koninklijk Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV). Selain aktif di dunia sastra dalam negeri, Sapardi juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional, seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971) dan Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra.

Merujuk Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Begitu pula dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960. Puisinya banyak dikagumi. Mengapa? Banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19. Beberapa karyanya adalah Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), dan Arloji (1998). serta Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).

Sapardi sungguh pakar sastra yang dimilik Indonesia. Beberapa buku penting karyanya saya sebut di sini. Misalnya, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Sihir Rendra: Permainan Makna (1999), dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal. Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway); Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James); Puisi Brasilia Modern; George Siferis; Sepilihan Sajak; Puisi Cina Klasik; Puisi Klasik; Shakuntala; Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel; Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol oleh Okot p'Bitek); Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene O'Neill); Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck), dan lain-lain.

Apresiasi

Sapardi adalah sastrawan berjasa di bidangnya selama masih hidup. Peran dan karyanya di bidang sastra, berbuah aneka penghargaan, apresiasi di bidang sastra. Hadiah Majalah Basis atas puisinya "Balada Matinya Seorang Pemberontak" (1963); Penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia (1978); Mendapat Hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia (1983); Mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu Kertas (1984); Mataram Award (1985); Menerima hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand (1986); Mendapat Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990); Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996); Mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature (2003); Khatulistiwa Award (2004); dan Penghargaan dari Akademi Jakarta 2012). Hari ini dunia sastra Tanah Air tentu merasa kehilangan Sapardi. Tapi, saya percaya panggilan Sang Sabda lebih ia rindukan. Sapardi tak mau puisinya tetap hadir nun di rumah-Nya. Tak lagi seperti kami anak kampung tempo doeloe yang suka deklamasi di tengah lapangan di bawah bayang-bayang tali celana yang rerancam putus. Meski perut kami sudah aman dengan singkong, daging katak atau pesona alam pegunungan yang menggoda dan menyemangati kami melangkah dalam diam demi masa depan. Meski kami relah puisi kami mampus dan kami bertahan dengan deklamasi saja.

Sapardi, saya akan deklamasikan "Hujan Bulan Juni", puisi karyamu. Dalam hati, tentunya. Kali ini saya deklamasikan tanpa tali celana berbahan benang pintalan ibu atau tali waru hasil kreasi ayah saya di kampung saat saya masih kecil.

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(hujan bulan juni, 1994).

Selamat jalan, Sapardi. Berpuisilah dari Surga agar puisi tak lagi mampus seperti dulu; dalam sunyi alam pegunungan. Bahagia selalu. Selalu, Sapardi. Requiscat In Pace. Damailah di sisi-Nya.
Jakarta, 19 Juli 2020
Ansel Deri
Orang udik penikmat sastra;

Mengenang Sapardi Djoko Damono

Sumber foto: google.co.id

PA St Vincentius Merauke: Menjangkau yang Tak Terjangkau

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, June 29, 2020 | 12:13 PM

Kasih menjadi dasar tugas dan karya pelayanan Panti Asuhan St Vincentius. Di tempat ini, orang dengan HIV/AIDS, dan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) bisa hidup dengan aman.

SUSTER Florensia Nebo Hokeng, ALMA atau akrab disapa dengan Sr Rensi merasa gembira bercampur haru. Tiga anak asuhnya, Chelo, Gaspar, dan Isak unjuk kebolehan nyanyi bareng. Alunan musik organ dan suara mereka terdengar hingga Vatikan di jantung kota Roma. Ini terjadi, setelah video dikirim ke sana. Ketiga anak difabel itu menyanyikan lagu “Bawa Daku ke Sion karya Pastor Markus Solo Kewuta SVD.

Ketiga anak itu adalah bagian dari tiga puluh anak difabel penghuni Panti Asuhan St Vincentius Merauke, Papua. Umumnya, mereka berasal dari daerah pedalaman Merauke, Mimika, Kerom, Bovendigoel, Mapi, dan sekitar.

Dengan semboyan yang sesuai dengan visi dan misi Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (Association of Lay Missioary Action/ALMA), yakni menjangkau yang tidak terjangkau, mencari yang belum dicari. Pengelola panti tidak menunggu mereka datang sendiri, para Suster ALMA langsung menjemputnya melalui komunikasi dan seijin keluarga.

Melalui pastoral care, evangelisasi dan pendekatan dengan keluarga niat luhur ini terlaksana. Maklum, banyak orang tua belum begitu paham karya pelayanan ALMA bagi anggota keluarga penyandang disabilitas.

“Saat Natal atau Paskah kami temui banyak anak difabel. Di situlah pendekatan dengan orang tua atau keluarga kami lakukan. Kalau keluarga merestui, mereka antar langsung ke panti,” jelas Sr Rensi.

Berawal dari kontrakan

Kini, Sr Rensi merupakan Penanggung Jawab Panti Asuhan St Vincentius. Ia menceritakan, panti asuhan yang saat ini ia kelola merupakan buah karya Pastor Paul Hendrikus Janssen, CM, yang juga merupakan pendiri ALMA. Saat itu Pastor Janssen prihatin melihat kondisi di Papua. Di wilayah paling timur Indonesia itu, banyak orang menderita busung lapar. Derita masyarakat  semakin bertambah, daerah ini  dinyatakan sebagai tempat di mana banyak orang terjangkit HIV/AIDS.

Kala itu, Pastor Janssen mengutus Sr Theresia Macaria Laiyan ALMA menuju Merauke. Misi Sr Theresia saat itu adalah bertemu Uskup Agung Merauke Mgr Nikolaus Adi Seputra, MSC. Ia ingin meminta izin sang uskup agar Institut Sekulir ALMA dapat berkarya di Merauke. Sayang, Sr Laiyan tak sempat bertemu Mgr Nicolaus yang tengah bertugas di luar kota. Ia akhirnya bertemu sekretaris keuskupan dan meninggalkan sepucuk surat untuk uskup.

Surat itu akhirnya dijawab pada November 2005, ALMA akhirnya dibukakan pintu  untuk mulai karya di Bumi Cenderawasih. Hanya selang sebulan, 30 November 2005 tiga orang biarawati ALMA bertolak  ke Merauke. Mereka adalah Sr Martina Jemumu ALMA, Sr Yustina Lajar ALMA, dan Sr Evanglista Lesu ALMA. Mereka tiba di Merauke pada 1 Desember. Pada awal karya ini, ALMA diberi sebuah rumah kecil milik keuskupan sebagai tempat memulai karyanya.

“Dulu pertama kali berkarya,  kami hanya menampung tiga orang  anak berkebutuhan khusus (ABK). Maklum, saat itu kapasitas rumah belum memadai menampung lebih banyak anak. Mulai bulan Maret 2006, rekan-rekan kami ini tinggal di kontrakan baru di Jalan Pembangunan Sayap 1, Merauke,” imbuh Sr Rensi.

Dari rumah kontrakan itu, mereka mulai menjalin kerja sama dengan pemerintah dan Gereja setempat untuk mencari ABK di sejumlah wilayah di tanah Papua. Saat itulah, Panti Asuhan St. Vincentius mulai menampung ABK.

Dalam perjalanan, di suatu kesempatan pihak tarekat melihat jumlah anak difabel, Institut Sekulir ALMA melihat jumlah anak difabel semakin banyak. Tergerakah hati mereka mengasuh anak difabel ini. Sehingga pada 2009 tarekat mencari tanah untuk dibangun menjadi sebuah panti.

Doa dan usaha membuahkan hasil. Tarekat mendapatkan sebidang tanah. Letaknya di Jalan Domba 4, Kelurahan Rimba Jaya, Paroki Sang Penebus, Merauke. “Sejak 16 Mei 2010, kami baru menempati gedung panti sendiri. Tetapi keberadaan Yayasan Bhakti Luhur selaku penanghungjawab panti sudah ada sejak 2005,” ujar Sr Rensi.

Tinggal serumah

Menurut biarawati asal Lewouran, Flores Timur, Keuskupan Larantuka, NTT ini kegiatan di bidang sosial dan pastoral merupakan alasan di balik visi dan misi ALMA yang juga menjadi visi dan misi panti. Visinya tak lain adalah gerakan kaum awam puteri yang terpanggil demi terwujudnya pesan Injil Yesus Kristus bagi orang miskin, terlantar dan ABK dengan cinta kasih semesta.

Misi ALMA adalah menginjili orang miskin dan mewujudkan Injil untuk orang miskin, cacat dan terlantar. Dalam mewujudkan visi dan misi besar ALMA, pihak pengelola juga melaksanakan visi panti yaitu menjangkau yang belum terjangkau. Sedang misinya antara lain menjangkau yang tak terjangkau, melalui rehabilitasi bersumber daya masyarakat. Kemudian memberikan terapi kepada ABK sesuai dengan kelainan yang mereka sandang.

Sr Rensi mengungkapkan, bahwa pihaknya menyadari banyak ABK di Merauke. Karena itu, mereka melayani dengan dua cara, yaitu dari dalam dan luar panti. “Dalam” berarti melayani dengan ABK tinggal serumah. Sedangkan di “luar”, ini berarti para suster ALMA melayani ABK yang menderita  busung lapar. Di “luar” ini,para suster juga membantu mereka yang mengidap HIV/AIDS.

Seiring berjalannya waktu, Panti Asuhan St Vincentius menerima para lansia. Jumlah mereka hingga saat ini sebanyak enam orang. Para lansia ini adalah Cicilia Yawen, Fois Lan Moy, Theresia Samkakai, Ati Suharini, Irmawati, dan Balbina Rumlus. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Di panti ini, mereka dilayani sepenuh hati.

Bagi Sr Rensi, Panti Asuhan St Vincentius tidak sekadar melayani, tetapi juga membimbing setiap individu. Ia  meyakini, semua ciptaan Tuhan baik adanya, termasuk ABK. Tugas panti  adalah menggali potensi, minat, dan bakat mereka. “Anak-anak difabel juga kami bantu dampingi mereka mengembangkan minatnya.”

Chelo, Gaspar, dan Isak adalah sebagian “buah” yang telah dihasilkan dari Panti Asuhan St Vincentius. Ketiganya sudah mulai dikenal, ini berkat cinta yang telah ditanamkan para Suster ALMA.”Kita melayani sepenuh hati. Inilah cara berbagi kasih dari tanah Papua demi keagungan nama-Nya,” tandasnya.
Ansel Deri 
Ket foto:
1. Sr Rensi ALMA bersama anak-anak difabel penghuni Panti Asuhan Vincentius Merauke (gambar 1).
2. Tiga anak difabel: Chelo, Gaspar, dan Isak dan teman-temannya bersama Sr Rensi berlatih nyanyi mengembangkan bakat yang dimiliki (gambar 2).
3. Sr Rensi ALMA bersama para lansia penghuni panti (gambar 3).
Sumber: HIDUP edisi 28 Juni 2020.
 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger