Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan
Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas patahan-patahan lempengan konstitusional yang belum mencapai titik keseimbangan.
Karena setiap demokrasi harus berjejak pada konstitusi, sedang konstitusinya sendiri tidaklah solid, maka demokrasi yang berkembang adalah sejenis demokrasi yang berlari tunggang-langgang.
Dalam situasi limbung seperti itu, penyelamatan bisa dilakukan dengan mencari dataran yang relatif stabil. Jika kita berketetapan untuk terus mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, dataran yang stabil itu bernama ”sistematik negara kekeluargaan”.
Dalam sistematik negara kekeluargaan tidak dikenal adanya monarki—yang berdiri sendiri. Negara Indonesia adalah suatu ”eenheidsstaat”, yang berarti tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat ”staat” juga. Meski demikian, negara kekeluargaan juga tidak seperti kacang melupakan kulitnya; disadari betul keragaman asal-usul anggota keluarganya; disadari juga saham tiap-tiap keragaman itu dalam formasi negara-bangsa Indonesia.
Dalam menjelaskan pasal tentang Pemerintahan Daerah (akhirnya menjadi Pasal 18), Soepomo menyatakan, ”Dengan memandang dan mengingati ’dasar permusyawaratan’, artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasar atas permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak- hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah- daerah yang bersifat istimewa itu ialah, pertama, daerah kerajaan (Kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan ’zelfbesturende landschappen’. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli, seperti desa di Jawa, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Maksud panitia ialah hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi. Ialah daerah kerajaan (zelfbesturende landschappen) dan desa-desa itu dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli.”
Kantong perlindungan
Dalam praktiknya, penghormatan terhadap daerah-daerah istimewa itu memang tidak selalu dengan jalan menjadikannya sebagai satuan politik formal karena sebagian besar sisa-sisa kerajaan tidak lagi memiliki posisi dan kekuatan yang efektif dalam politik Indonesia pascakolonial. Salah satu yang masih memiliki posisi dan kekuatan yang efektif adalah Kesultanan Yogyakarta, mengingat posisinya sebagai kantong perlindungan Republiken, andil (material dan nonmaterial) bagi kemerdekaan Indonesia, serta kekuatan efektifnya sebagai kesultanan yang masih diakui warganya.
Bisa dipahami jika negara Indonesia menjadikannya sebagai satuan politik formal, dalam status provinsi yang memiliki keistimewaan. Keistimewaan daerah tersebut ditetapkan menurut undang-udang dengan mengingati hak asal-usul daerah tersebut. Dengan demikian, status keistimewaannya didasarkan pada alasan historis, bukan alasan demokratis. Karena status keistimewaannya, daerah tersebut juga mengandung perkecualian tertentu dibandingkan dengan daerah-daerah lain pada umumnya.
Karena Indonesia tidak mengenal adanya negara (staat) dalam negara, maka keistimewaan itu harus diharmonisasikan ke dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Solusinya, Sultan boleh ditetapkan sebagai kepala pemerintahan di daerah, tetapi perangkat- perangkat administratifnya merupakan aparatus NKRI; dengan bupati dan wali kotanya yang diangkat melalui mekanisme pemilihan. Hal ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tidak ada padanannya. Bisa dibandingkan dengan DKI Jakarta, yang juga diberikan keistimewaan. Jika di Yogyakarta, gubernurnya yang ditunjuk, sedangkan bupati/wali kotanya dipilih, di DKI Jakarta, gubernurnya yang dipilih, sedangkan wali kotanya ditunjuk.
Adanya ruang bagi daerah istimewa dalam sistematik negara kekeluargaan mensyaratkan adanya kompatibilitas dengan model demokrasi yang dikembangkan. Demokrasi permusyawaratan, yang berbasis konsensus, lebih mampu menampung kemungkinan arrangement daerah istimewa ini ketimbang dalam demokrasi numerik berdasarkan pemilihan langsung.
Itu sebabnya, mengapa dalam visi UUD 1945, pemilihan kepala daerah itu tidak dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum. Bahkan, UUD pasca-amandemen sekalipun hanya menggariskan pemilihan secara demokratis tidak mengharuskan pemilihan langsung.
Jika pilkada itu dilakukan secara tidak langsung, pilihan-pilihan atas posisi Sultan dalam konteks pemerintahan demokratis lebih terbuka. Katakanlah, sekiranya pemilihan kepada daerah itu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, maka DPRD bisa memilih kepada daerah dengan mempertimbangkan keistimewaan daerah tersebut. Misalnya saja, kalaupun Sultan tidak langsung ditetapkan sebagai kepala daerah, setidaknya Sultan bisa diberikan hak veto terhadap calon yang dipilih oleh DPRD.
Dalam hal Sultan ditetapkan sebagai kepala daerah, tentu saja sabuk pengamannya harus dilakukan berupa klausul- klausul yang mengatur sekiranya Sultan tidak bisa menjalankan pemerintahan secara efektif. Misalnya saja, karena alasan usia atau berhalangan tetap. Dalam kasus Yogyakarta, Keraton sendiri sebenarnya sudah memiliki aturan dan mekanisme sendiri tentang pergantian Sultan. Akan tetapi, jika hal itu tidak memberikan kepastian, undang-undang bisa menetapkan garis-garis emergency exit-nya.
Memberikan perkecualian dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang buruk. Perdana Menteri Inggris David Cameron mengingatkan, ”Demokrasi semestinya merupakan pekerjaan perajin yang sabar, bukan produksi massal yang seragam, jika produk akhir yang dikehendaki adalah kualitas yang tahan lama.”
Demokrasi tidak perlu diperhadapkan dengan monarki karena ada elemen-elemen monarki yang bisa memperkuat demokrasi. Seperti kata Anthony Trollope, ”Bagiku, tampaknya tidak ada bentuk pemerintahan yang pernah eksis yang dapat memberikan kelapangan kebebasan individual kepada seluruh orang yang hidup di bawahnya seperti dalam monarki konstitusional.”
Sumber: Kompas, 8 Desember 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!