Keterpurukan sektor pendidikan di Nusa Tenggara Timur memprihatinkan jika melihat sejarah panjang pendidikan di provinsi ini. Jika diibaratkan bangunan, pendidikan di NTT semestinya telah berdiri dengan fondasi kokoh.
Jika merunut sejarah awal pendidikan NTT, sekolah pertama didirikan oleh misionaris Katolik (Pastor Yesuit) di Larantuka tahun 1862. Hal itu tertulis dalam buku Eduard Jebarus Pr, berjudul Sejarah Persekolahan di Flores (2008). Berarti, lembaga pendidikan di NTT paling tidak sudah berusia 148 tahun. Bukan sebuah perjalanan yang singkat.
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero di Kabupaten Sikka, misalnya, dikenal sebagai "Matahari Intelektual dari Timur". Sejak tahun 1983, lembaga pendidikan tinggi yang mempersiapkan calon imam ini mengirimkan sedikitnya 300 mahasiswa dan lulusannya ke luar negeri, antara lain ke Amerika Latin, Afrika, Eropa, juga Rusia.
Kualitas lulusan STFK Ledalero diakui secara internasional dan tersebar di 60 negara. Sejumlah dosen di lembaga ini sering diminta menjadi pembicara di luar negeri, baik di Australia, Asia Pasifik, maupun Eropa.
”Prestasi akademik yang diraih itu dasarnya adalah kedisiplinan dan kultur belajar yang kuat,” kata Pembantu Ketua III STFK Ledalero Romo Siprianus Hormat Pr.
Kecenderungan penurunan mutu lulusan SMP dan SMA di NTT, menurut Romo Siprianus, tidak berpengaruh signifikan terhadap mutu STFK Ledalero.
Mahasiswa yang diterima umumnya dari SMA seminari yang persentase kelulusannya 95-100 persen. Kultur belajar SMA seminari sama dengan STFK Ledalero karena siswa diasramakan dengan pengawasan ketat.
Calon mahasiswa STFK Ledalero dites dengan standar akademik yang ditetapkan institusi itu. Jika dalam tiga semester pertama tidak mampu mencapai indeks standar akademik yang ditetapkan, mahasiswa akan dikeluarkan.
Menurut Romo Siprianus, kualitas lulusan STFK Ledalero terjaga baik. Indikatornya, kinerja mereka di lingkungan paroki-paroki, lembaga pendidikan, dinilai baik. Selain itu, banyak juga yang melanjutkan studi ke luar negeri.
Di level internasional, Romo Siprianus mencontohkan ada Pater Markus Solo SVD yang kini bertugas di Vatikan menangani hubungan antar-agama di Asia Tenggara, ada pakar etika politik yang meraih gelar doktor di Jerman, Pater Otto Gusti Madung SVD. STFK Ledalero juga mempunyai profesor di bidang filsafat, Pater Konrad Keboang SVD.
STFK Ledalero juga banyak menghasilkan pekerja media, pemikir, dan ilmuwan di tingkat nasional, antara lain Daniel Dakidae dan Ignas Kleden.
Menurut Romo Siprianus, untuk memperbaiki mutu pendidikan NTT, sebagai lembaga pendidikan tinggi, pihaknya dapat menyumbangkan pikiran-pikiran kritis bagi para pengambil kebijakan di bidang pendidikan maupun mendidik guru.
”Setidaknya melalui para lulusan STFK Ledalero yang duduk di DPRD dan birokrasi, antara lain Isidorus Lilijawa di DPRD Kota Kupang, Piet Jelalu di DPRD Kabupaten Sikka, juga Yoseph Lagadoni Herin (Wakil Bupati Flores Timur periode 2005-2010, yang kini maju dalam pilkada periode 2010-2015),” katanya.
Menjadi tantangan NTT, apakah Ledalero mampu terus bersinar dan bahkan membuat semua sekolah di NTT bersinar bersamanya? Harus dipastikan yang terjadi bukan sebaliknya.
Sumber: Kompas, 14 Desember 2010
Ket foto: STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
Foto: dok. www.hurek.blogspot.com
Ket foto: STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
Foto: dok. www.hurek.blogspot.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!