KALAU kita ajukan pertanyaan kepada orang asli Papua, siapa Bupati atau Walikota di Bumi Cenderawasih itu paling produktif menulis buku, bisa saja jawaban beragam. Apalagi bertanya, para pemimpin (Bupati-Walikota) lokal dengan usia tergolong muda. Bisa dipastikan Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa adalah pemimpin lokal paling produktif dalam menerbitkan buku sepanjang sejarah pengabdiannya entah sebagai anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) sebelum didapuk warga jadi Bupati Dogiyai bersama 'pengantin', Wakil Bupati Oscar Makai.
Di atas mereka, para bupati maupun walikota, juga pernah menghasilkan karya tulis berupa buku. Gubernur Papua Lukas Enembe juga pernah menulis (kalau tak salah) 'Jalan Terjal Anak Koteka', karya bernasnya yang melukiskan perjalanan panjang anak koteka dari Tollikara bertaruh waktu untuk sekolah hingga akhinya terpilih jadi Bupati Puncak sebelum akhirnya mendapat mandat rakyat Papua mengemban tugas sebagai Gubernur hingga dua periode kepemimpinannya.
Selevel dengan Kobus (saya kerap menyapa akrab Yakobus Dumupa begitu di jejaring maya), ada juga Eltinus Omaleng, Bupati Mimika, kabupaten yang bertabur emas, tembaga, perak, dan lain-lain, yang dikelola PT Freeport Indonesia, Tbk kemudian menjadi penopang strategis pemasukan bagi negara. Omaleng, kepala suku besar pemilik ulayat tanah Namangkawi, gunung bertabur kekayaan alam melimpah yang membuat raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, tergila-gila melebarkan sayap usaha tambangnya di wilayah itu. Bupati Omaleng menerbitkan karyanya, 'Papua Minta Saham' kemudian buku itu dibedah dalam sebuah kesempatan di Hotel Borobudur, kawsan Lapangan Banteng, tak jauh dari stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat.
Mengapa menulis buku
Nama Bupati Kobus tentu tak banyak warga Papua atau Indonesia, kenal. Saya sejenak bersua dengan sosok anak muda ini dari buku karyanya. Buku itu, Demokrasi Tak Selamanya Lurus, yang terbit tatkala ia menjabat anggota Majelis Rakyat Papua, wadah kultural penyambung lidah rakyat seturut perintah Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus), UU yang dianggap efektif menjembatani pro-kontra ketertinggalan Papua dalam seluruh dimensi pembangunan sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1961.
Para intelektual Papua tak sekadar dihitung dengan jari. Sangat banyak. Mereka tak sekadar lahir dari kalangan masyarakat biasa. Namun juga Gereja lokal juga memiliki 'mutiara' berkelas yang ikut merawat peradaban umat manusia melalui karya tulis bagi generasinya. Saya mencatat ada tokoh Gereja lokal semisal Pendeta Dr Benny Giyai, Pendeta Dr Socratez Sofyan Yoman, (Alm) Pastor Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr, Markus Haluk, S. Fil, mantan wartawan Kompas & mantan Menteri Kabinet Manuel Kaisiepo, Frans Maniagasi, dan lain-lain. (Sekadar menyebut beberapa nama). Mereka ini adalah intelektual Papua yang setia merawat peradaban dunia melalui buku karya mereka untuk generasi anak-anak tanah Melanesia.
Mengajukan pertanyaan kepada Bupati Kobus mengapa menulis buku, sangat menarik. Suatu waktu, iseng-iseng saya bertanya kepada beliau mengapa ia "kpala batu" mau menulis buku. Namun, merespon jawaban itu kadang lama. Bisa dimaklumi. Dogiyai adalah kabupaten di tanah Papua yang sangat sulit menerima akses telekomunikasi. Untung-untungan kalau cuaca pegunungan tengah bersahabat. Mendapat akses informasi, warga kerap menempuh jarak ratusan kilometer ke Nabire, kabupaten tetangga yang sedikit jauh lebih beruntung. Tapi, Kobus tak patah arang. Semangatnya menggunung sebagai anak kampung yang bermukim di Moanemani, kota Kabupaten Dogiyai, di bawah dekapan udara yang segar tanah leluhurnya.
Beberapa waktu lalu, melalui jejaring naya Kobus buka suara ikhwal panggilannya menulis buku di tengah tugas pokoknya bersama Oscar Makai memimpin Dogiyai. Ia menyebutkan, ada dua hal yang mendorongnya menulis buku. Pertama, berawal dari kegemarannya membaca, merenung, dan berefleksi. Entah saat bertelanjang kaki berada di tengah got membersihkan saluran yang mampet atau menemami orangtuanya membersihkan kebun di sela-sela waktu luang sepulang kantor. Kobus menyampaikan beberapa alasan di balik kecintaannya menulis.
Pertama, pengetahuan yang ia peroleh dengan membaca mendorongnya untuk menyalurkan pengetahuan yang ia miliki kepada orang lain. Dan sarana penyalur yang paling efektif adalah menulis. Makanya, ia selalu beralasan, penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Kedua, baginya tulisan dalam bentuk buku adalah sarana paling efektif untuk melestarikan atau mengabadikan kehidupan. Manusia punya batas waktu untuk hidup, tetapi apapun yang dirasakan, dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan bisa diabadikan melalui tulisan.
"Saya berharap dari buku-buku yang saya tulis dan terbitkan ada intensi mulia. Apapun yang saya tulis dapat berkontribusi untuk kebaikan bagi semua orang. Tulisan-tulisan dan buku-buku saya dapat memotivasi orang lain untuk menulis, bahkan menjadi penulis yang lebih hebat dari saya," ujar Bupati Yakobus. Ia mengaku, hingga saat ini pihaknya telah menulis dan menerbitkan sebelas buah buku beragam tema. Selain itu masih ada sembilan naskah buku yang dalam proses penyelesaian penulisan.
Bagi orangtua talenta yang diberikan Tuhan kepada puteranya, Kobus, adalah berkat yang wajib dibagikan kepada semakin banyak orang demi keagungan dan keluhuran nama-Nya. Ia mengaku, sesungguhnya kedua orang tuanya juga tidak begitu kaget sang putera menjadi penulis buku. Sebab mereka tahu anak mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan itu. "Orang tua saya hanya berharap agar saya terus menulis dan berharap semoga buku-buku saya berguna untuk kebaikan semua orang," kata Yakobus Dumupa. Awal Oktober 2020, Kobus menerbitkan buku barunya, 'Ungkapan Kegelisahan: Catatan Harian 2012', yang di-handle Penerbit Ikan Paus Jakarta.
Jakarta, 2 Oktober 2020
Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Pernah ke Jayapura & Timika
Ket foto: Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa bersama Presiden Joko Widodo
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!