Headlines News :
Home » » Sabotase Hak Angket Pajak

Sabotase Hak Angket Pajak

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, February 25, 2011 | 11:41 AM

Oleh Ikrar Nusa Bhakti
profesor riset bidang Intermestic Affairs di Pusat Penelitian Politik LIPI

Hasil voting pada Rapat Paripurna DPR mengenai usulan hak angket soal pajak merupakan drama politik yang menarik untuk dikaji.

Bukan karena usulan itu kandas dengan kekalahan tipis 264 banding 266, melainkan karena adanya perpindahan posisi dari partai-partai di DPR. Indonesia memang negeri amat lucu. Partai-partai yang berada di Sekretariat Gabungan (partai- partai koalisi) dan partai-partai di luar koalisi bisa saling berganti posisi. Sebagai contoh, Golkar dan PKS yang seharusnya berada di belakang pemerintah malah tak jarang berseberangan dengan pemerintah dalam kontestasi politik di parlemen.

Sebaliknya, Gerindra yang seharusnya sejalan dengan kelompok oposisi malah berganti posisi menjadi pendukung pemerintah. Lebih lucu lagi, Demokrat yang awalnya jadi pemrakarsa usulan hak angket pajak justru mundur teratur dan malah jadi penolak hak angket. Sementara Golkar yang awalnya pesakitan dalam usulan awal hak angket yang diajukan Demokrat malah jadi pengusung utama hak angket.

Ada juga yang aneh, PDI-P yang pendukung kedua hak angket, dari 94 anggota, hadir 84 orang, sisanya absen. PKB yang fraksinya sepakat menolak hak angket, ada dua anggotanya yang punya hati nurani berbeda, Effendy Choirie dan Lili Wahid, yang memilih mendukung hak angket.

Gambaran di atas menunjukkan betapa pakem politik di parlemen Indonesia mirip gambaran sistem parlementer di Papua Niugini pada awal kemerdekaan (dan hingga kini masih terus berlangsung) yang para politisinya tidak memiliki ideologi kuat (freelancing belief) dan bisa bergerak tak tentu arah bagaikan ”roda-roda gila” (free wheeling style).

Blunder politik

Usulan angket sebenarnya mengandung unsur positif: ingin membenahi kebijakan perpajakan agar lebih adil, transparan, akuntabel, dan berorientasi kepentingan publik. Ini penting karena pajak penyumbang utama APBN. Kebocoran penerimaan pajak yang sekitar Rp 380 miliar setahun sungguh kerugian negara yang amat besar. Karena itu, pembasmian atas mafia perpajakan suatu keniscayaan.

Namun, awalnya ada niat lain dari Demokrat dalam mengajukan hak angket. Bukan perbaikan sistem yang jadi fokus utama, melainkan bagaimana ”menghabisi secara politik” Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang tiga perusahaan keluarganya disebut-sebut terkait mafia pajak dan memberikan uang kepada Gayus Tambunan senilai 3 juta dollar AS.

Jika kita lihat, Demokrat mundur teratur karena ada kekhawatiran, di antara 148 dari 151 perusahaan yang disebut terkait Gayus, bukan tak mungkin ada yang jadi penyumbang dana kampanye bagi Demokrat. Demokrat tampaknya tak ingin usulan angket mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, kegagalan Golkar mendulang dukungan dalam pengusulan angket, antara lain, karena blunder politik

Ketua Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso yang menyatakan pengusulan angket oleh Golkar terkait ”misi suci” Golkar membersihkan nama baik ketua umumnya.

Transaksional

Namun, bukan cuma itu yang menyebabkan terjadinya perubahan dukungan saat voting di DPR. Ada politik transaksional yang bisa saja terjadi karena tak ada yang gratis dalam politik (no free lunch). Gerindra mengubah posisi sebagai bagian dari upaya mengembangkan ”kepak sayap Burung Garuda”. Gerak langkah Gerindra amat menggebu-gebu sebagai bagian dari persiapan langkah menuju 2014. Selama ini Gerindra terus melakukan akuisisi politik terhadap partai-partai kecil yang tak memenuhi parliamentary threshold pada Pemilu 2009.

Gerindra bukan tak mungkin mengincar kursi menteri pertanian karena Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto perlu legitimasi penuh atas kepemimpinannya di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang kini masih ada dualisme kepemimpinan dari rivalnya, Usman Sapta. Jika Prabowo jadi menteri pertanian, tidak saja ini jadi awal pembelajaran baginya di kabinet, tetapi juga untuk memenangi pertarungannya dengan kelompok Usman Sapta.

PPP, yang saat angket Bank Century mendukung kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, kini benar-benar menurut kepada penguasa karena khawatir kehilangan kursi di kabinet. Absennya sejumlah orang PDI-P di rapat paripurna menunjukkan ada kelompok di PDI-P yang cukup moderat dan ingin mendekat ke Demokrat agar ada kader atau simpatisan PDI-P yang bisa masuk kabinet. Beberapa nama yang santer disebut akan masuk ke kabinet: Arif Budimanta, I Made Mangku Pastika (Gubernur Bali), Teras Narang (Gubernur Kalimantan Tengah), Iman Sugema, Sri Adiningsih, dan Puan Maharani.

Jika PDI-P dan Gerindra masuk kabinet, akankah Golkar dan PKS dikeluarkan dari kabinet? Kecil kemungkinan! Bukan karena SBY menginginkan koalisi bulat di parlemen, melainkan karena ia tak punya keberanian politik melakukan itu. Apalagi Gerindra kurang berpengalaman di parlemen, sementara PDI-P tak mau jadi bagian Setgab. Kecanggihan politik Golkar di parlemen ternyata kalah dibandingkan ”kekuatan politik” SBY.

Namun, pertarungan politik di antara keduanya belum berakhir karena soal mafia pajak masih akan dibicarakan di Komisi III DPR yang menangani bidang hukum dan perbaikan sistem perpajakan akan dibicarakan di Komisi XI. Antara PD dan Golkar yang sama-sama di Setgab bagaikan musuh dalam selimut yang saling jegal. Itulah Indonesia, hak angket yang tadinya mengandung misi suci berubah arah akibat sabotase dan pembelotan politik dari partai-partai yang punya kepentingan sendiri-sendiri. Ini suatu anomali politik di dalam sistem presidensial!
Sumber: Kompas, 25 Februari 2011

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger