Guru Besar STF
Driyarkara & UI
Kultur adalah hidup
sehari-hari dalam perilaku dan sikapnya menghadapi kenyataan, yang ingin diberi
makna. Kultur adalah pula ranah menghayati hidup dengan mengacukannya pada yang
suci, yang benar, yang baik dan yang indah lalu menjadikannya laku tindakan nyata.
Kultur yang sehat
merupakan acuan pelaku dalam sosialitas atau komunitas untuk secara pribadi
memberi makna pada hidupnya dan mencari acuan nilainya untuk penghayatan
hidupnya dalam temu bersama, srawung bersama agar saling hormat akan harkat dan
keunikan perbedaan ditenun menjadi rumah bersama yang damai sejahtera. Maka
kultur yang sehat secara sosial adalah ranah di mana pribadi dan komunitasnya
menapaki acuan sejahtera sebagai nilai bersama dimana tidak seorangpun boleh
dikucilkan atas nama beda suku, beda religi, beda ras dalam berbangsa yang
berharkat di sebuah perjuangan terus-menerus untuk merajut keadaban.
Apa itu keadaban?
Adalah penghayatan laku kultur untuk menghormati martabat setiap manusia tanpa
kecuali atas dasar harganya, nilainya sebagai manusia, titik! Dalam merenda,
merajut, menenun hidup bersama itulah kultur yang sehat menjadi “oksigen” bagi
napas anggotaanggota komunitas yang dengan keadaban terus memperjuangkan
bahasa-bahasa akrab secara ekonomis adalah pemerataan, secara politis adalah
kesetaraan hak dan kewajiban warga negara, bahasa keadaban secara sosial
kultural adalah sejahtera, secara hukum adalah keadilan.
Perjalanan menjadi
Indonesia adalah perjalanan bersama dari kemajemukan suku, religi, ras untuk
konsensus menjadi bangsa yang berkeadaban tanpa diskriminasi lalu sepakat 1908,
1928, 1945 menegara Republik Indonesia dengan format tata bernegara yang paling
“mewadahi” keragaman identitas-identitas subkultur, religi itu dalam sistem
politik demokrasi di mana daulat rakyat yang majemuk dengan kesamaan hak di
depan hukum menjadi esensinya.
Maka dalam
keragaman identitas kultural itulah lalu disepakati kepastian wasit aturan main
konstitusional dalam negara hukum.Perbedaan yang saling menghormati dan damai
relasinya dalam keragaman bila menjadi anarkistis dan menghancurkan harkat
sesama warga negara akan berhadapan dengan hukum yang adil untuk menjaga
keadaban dan menghukum kebiadaban. Kultur yang sehat akan memberi ruang tiap
warganya untuk secara pribadi dan bersama dalam saling hormat untuk
mengembangkan kemampuan kognitifnya (dalam ilmu dan pengetahuan), kemampuan
rasa dalam estetika, kemampuan refleksi asal usul hidup dan maknanya dalam yang
suci sebagai kemampuan religius serta kemampuan menimbang tindakan baik dan buruk
dalam etika.
Dengan kata lain
praksis kehidupan yang dihayati dalam kemampuan-kemampuan di atas oleh pribadi
dan dalam kebersamaannya di ranah makna dan acuan nilai (baca: apa yang benar,
apa yang suci, apa yang baik,dan apa yang indah dalam kehidupan) dikatakan pula
sebagai kebudayaan sebagai kemampuan-kemampuan cipta dalam budi, rasa dalam
kedalaman hati, nurani serta cipta dalam kehendaknya. Jalan kultur(al) adalah
jalan merancang, membuat nyata sistem hidup bersama dalam politik, ekonomi,
sosial dengan sudut refleksi, sudut pandang atau dimensi kebudayaannya
bertujuan peradaban dan bukan ketidakadaban!
Meletakkan realitas
hidup bersama kita saat ini dalam bingkai cermin jalannya kultur kita,
ditemukan kondisi sakitnya kultur kita. Fenomena-fenomena kultur sakit itu
adalah sebagai berikut. Pertama, dilupakannya habitat hidup bangsa ini dari
budaya tanah dan air.Mengapa? Lihatlah, sungai-sungai kita, abad kedelapan lalu
berbanding dengan bangsa Asia Tenggara lain, sungai-sungai kita masih menjadi
urat nadi perjalanan dan sumber-sumber bangsa tani.
Lihatlah pula wajah
laut atau bahari kita sekarang, kekayaan alam laut dicuri tetangga dan nasib
nelayan-nelayan kita serta pesisir dan pelabuhan-pelabuhan bahari kita
mengalami kemunduran. Yang paling menyedihkan adalah ketika tanah subur sawah,
hutan, kebun di bawahnya ditemukan aneka tambang-tambang berharga
mineralmineral dan minyak bumi lalu “dihancurkanlah” tanahtanah itu dan
direbutlah dari para petani dan perkebunan sehingga hutan bopeng-bopeng, tanah-tanah
hancur, dan kini air tanah disedot habis oleh perkebunan kelapa sawit.
Budaya air, tidak
hanya dilupakannya budaya sungai, tetapi juga “kejayaan laut” semasa Sriwijaya
serta pulau-pulau rempah Banda, Maluku yang sampai salah satu pulaunya ditukar
oleh Kolonial Inggris dan Belanda dengan Manhattan kini menjadi pulau yang
saling memisah karena pola pikir salah tentang lautan. Yang benar ialah di
wilayah lautanlah kita hidup lalu pulau-pulau menjadi situs-situs,
tempat-tempat hidupnya dan yang keliru adalah pikiran kita hidup di pulau-pulau
dipisahkan oleh lautan.
Karena itulah
kultur sakit ini membuat seorang Pramoedya menulis novelnya Arus Balik
(1980-an) untuk menunjukkan betapa selama ini kita itu berpikir dan
bermentalitas melulu “daratan” dan bukan lautan! Konsekuensinya dalam ekonomia
berpikir dan mentalitas daratan itulah jalan-jalan darat dikembangkan mengikuti
Daendels Anyer-Panarukan dan kita teruskan pembangunan jalan-jalan darat dengan
toltol untuk para pedagang mobil dan kini pedagang-pedagang motor. Kedua,
ketika perjalanan kultur bangsa ini dikonstruksi dan harus melalui bahasa
sebagai komunikasi warganya, tengoklah indikasi saling tidak percaya dan keras
cemoohnya antarkita dalam berbahasa.
Belum jelas apakah
pejabat digeser atau diganti dalam sebuah partai politik, tetapi demi keriuhan
yang teriak keras dan menyengat dipakailah kata-kata pecat-memecat,
copot-mencopot antarkita yang berakal budi, berpendidikan. Belum lagi wacana
saling menghancurkan melalui kekerasan kata-kata yang Anda semua bisa temukan
di demodemo, di internet, dunia maya. Lebih halus tetapi tidak mencerdaskan;
fenomena, gosip, kasak-kusuk bahkan menjadi judul rubrik-rubriknya.
Namun kultur sakit
dalam berbahasa yang sudah diajarkan menancap ke kesadaran dan bawah sadar
sejak represi rezim lalu membuat bahasa memperhalus eufemisme untuk tidak jujur
antarkita terus menjadi tradisi memakai bahasa yang tidak jujur dalam
berbahasa. Kultur sakit dalam ungkapan berbahasa merupakan abainya edukasi
kesantunan dalam salam-menyalam antara saudara-i sebangsa yang ranah budayanya
ada diedukasi berbahasa santun di keluarga, sekolah-sekolah melalui metode dan
praksis laku bahasa dengan hati, dengan rasa sastra dan rasa seni.
Bila porsi kognisi
dan hafalan terlalu banyak, hati dan rasa berbahasa halus dan sopan jadi
terjepit. Apalagi bila lingkungan hidup berbahasanya anak-anak dan remaja sudah
penuh dengan kosakata kebun binatang sebagai ungkapan sehari-hari serta budaya
latah yang enak saja tiap kali berucap monyong lu, monyet ludan seterusnya.
Ketiga, sakitnya kultur kita terungkap dalam pengerdilan nilai harkat
kemanusiaan saudara-i kita hanya dihargai sebagai “modal” (baca: kemampuan-
kemampuan kultural disebut modal kultural; modal adalah bahasa ekonomi
kapital); sesama direduksi harkatnya dengan kalkulasi untung dan rugi, uang
serta rasionalitas (jalan pikiran) memperalat (instrumentalis) untuk mencapai
tujuan kita.
Di sebuah perguruan
di Jakarta yang seharusnya menjadi acuan etis, teologis, filosofis martabat
manusia,terjadi karyawan yang sudah bertahun-tahun memberikan pikiran dan
kerjanya “diberhentikan” tanpa keberanian untuk resmi memberi tahu dan
mengajaknya bicara serta menghargai jasa-jasanya. Mengapa? Karena ia
diperlakukan oleh kultur sakit “habis manis sepah dibuang” dan oleh kelicikan
menggeser seseorang yang “memukul”, tetapi meminjam tangan orang lain.
Mentalitas jongos yang nabok nyilih tangan dari “emprit” mengaku “garuda”.
Reduksi ekonomisasi
karena menangnya kapitalisme inilah yang membuat uang, nafsu berkuasa serta
menundukkan orang lain demi panggung egonya sendiri yang kerap dirasionalisasi
dengan nilainilai luhur, spiritualisasi (baca: merohanikan alasan dengan dalih suci
padahal busuk karena kelompoknya yang akan dimenangkan atau merekamereka yang
satu kubu). Keempat, yang merupakan akarnya akar dari kultur yang sakit adalah
distrust atau saling tidak sudi, tidak mau, dan tidak memercayai sesama saudara
sebangsa karena dilukai kecewa lantaran tidak diwujudkannya janji-janji semasa
pemilu baik nasional atau lokal.
Saling tidak
percaya ini juga disebabkan kondisi nyata sosial-ekonomi di mana yang berakses
kemakmuran dan kuasa semakin kaya, sedangkan rakyat jelata semakin menderita.
Contoh mutakhir soal gaji menusuk rasa adil kita manakala pegawai Bank
Indonesia dinaikkan gaji-gajinya dengan enaknya, sementara THR, taraf hidup
minimal sebagai buruhburuh gajinya kalau mau ditambah harus demo, unjuk rasa,
dan dengan perjuangan korban waktu, tenaga. Pula untuk guru dan pegawai
rendahan serta masalah outsourcing.
Belum lagi paradoks
pergi kunjungan kerja studi DPR ke luar negeri dengan biaya-biaya mahal dari
uang rakyat dibandingkan dengan kasus-kasus bunuh diri ibu dan anak-anaknya,
pengemis mati kelaparan dan makan nasi akingnya mereka yang susah nafkah!
Distrust paling menggenang dan terawat subur manakala tragedi-tragedi kelam
kemanusiaan bangsa ini hanya wacana dan janji tanpa realisasi santunan dan
rekonsiliasi untuk kejahatan kemanusiaan.
Kultur sehat
membuahkan bangsa sehat, sedangkan kultur sakit butuh bedah kanker sakitnya
agar menjadi sehat kembali bila perlu diamputasi bagian yang paling parah,
yaitu korupsi wajah tidak jujur kita. Semoga!
Sumber: Seputar
Indonesia, 4 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!