Direktur Eksekutif
The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
Tirai tahun politik sudah dibuka seiring dengan momentum waktu yang memasuki 2013. Seluruh kekuatan politik memanaskan mesin utama kontestasi, sekaligus melakukan serangkaian manuver pendahuluan guna mengetahui posisi kawan dan lawan jelang puncak perhelatan demokrasi lima tahunan di 2014. Dapat diprediksi dengan mudah, sepanjang tahun ini tensi politik akan eskalatif seiring dengan munculnya beragam kelompok yang unjuk kekuatan.
Jika dipetakan, ada
beberapa faktor yang menjadi katalisator tahun 2013 menjadi tahun politik.
Tahun ini akan menjadi momentum paling menentukan dalam manajemen konflik
antarpartai maupun antarcalon presiden dan wakil presiden. Hampir seluruh
partai politik terutama yang saat ini memiliki akses ke eksekutif maupun
legislatif dirundung persoalan hukum.
Para politikus
lintas partai terjerat korupsi. Sebagian di antaranya masih berada di wilayah
abu-abu antara salah dan tidak. Modus mekanisme pertahanan diri para politikus
dengan membuka dan menutup kasus tertentu guna menghidupkan sejumlah peluang
negosiasi.
Alat tekan yang
sering dimanfaatkan tentunya rekayasa opini publik. Efek domino dari perang
hukum tersebut melahirkan atmosfir politik gaduh, keruh dan penuh tipu
muslihat.
Selain konflik
antarkekuatan berbeda, sesungguhnya rivalitas juga sangat mungkin terjadi di
internal partai. Faksionalisme di Demokrat, misalnya, masih sangat mungkin
memberi peluang para petualang memanfaatkan ketidaksolidan. Ini juga terjadi di
Golkar terkait capres.
Terkait branding
dan pemasaran politik para elite sepanjang tahun ini dilakukan dengan strategi
tertentu. Publisitas politik, konstruksi dan rekonstruksi opini publik, serta
optimalisasi saluran-saluran komunikasi politik mulai dari face-to-face
informal, pemanfaatan struktur sosial tradisional, saluran input dan output
hingga media massa.
Juga dengan
pendekatan hype politic, yakni dengan membuat gaduh di media agar khalayak
berpaling. Atau melalui manajemen reputasi politik dan pembangunan komunitas
guna menciptakan rasa memiliki partai pada basis pemilih. Maka, sepanjang tahun
ini upaya menanamkan brand dari kekuatan baru, dan rebranding dari kekuatan
lama yang sadar mengalami titik jenuh akan tercurah masif dan sistemis.
Jagat politik
Indonesia dari pusat hingga daerah akan disesaki sosialisasi, publisitas dan
propaganda. Tentu politik akan menjadi santapan dominan pemberitaan media dan
diskursus di ruang publik lainnya.
Sepanjang tahun ini
juga akan ditandai dengan pergerakan para aktor dalam membangun komunikasi
politik lintas kekuatan. Parpol sangat sadar, ikatan antara basis konstituen
dan partai dari waktu ke waktu kian melemah. Hal ini, ditandai dengan
merosotnya identifikasi kepartaian dari satu ke pemilu berikutnya.
Penjajakan
Dalam konstelasi
seperti ini, berbagai penjajakan kerja sama antarkekuatan dilakukan secara
intensif para elite, utamanya persiapan pencapresan 2014. Semua kekuatan sangat
menyadari, nyaris belum ada figur yang benar-benar kuat dan meyakinkan.
Nyaris mustahil
dalam peta politik seperti sekarang, partai bisa melaju sendirian dalam
pencapresan tokoh yang dikehendakinya. Mereka harus realistis dengan
penggabungan kekuatan parpol. Maka, sepanjang tahun ini akan tampak bongkar
pasang nama yang akan disandingkan di 2014.
Sejumlah nama
pasangan yang digadang-gadang baik dari kalangan internal partai maupun
nonpartai masih sangat tentatif. Paruh pertama tahun ini, masyarakat akan
disuguhi uji reaksi publik dengan menghidupkan sejumlah peluang. Namun, di
paruh terakhir tahun 2013 akan ada finalisasi capres dan cawapres sejumlah
partai untuk disosialisasikan secara masif jelang 2014.
Komplikasi dalam
dunia kesehatan adalah bercampurnya beragam penyakit secara bersamaan karena
munculnya penyakit baru yang menjadi tambahan penyakit lama. Komplikasi juga
bisa berarti pencampuran yang kusut dan rumit dari berbagai hal. Dalam konteks
politik di tahun 2013, ada sejumlah faktor yang dapat menjadi sebab komplikasi
politik. Jika tak diwaspadai, bukan mustahil ini dapat membusukkan politik
(political decay). Dampaknya kegagalan konsolidasi demokrasi.
Ada beberapa
penyakit dalam praktik politik. Misalnya, kian akutnya demokrasi kolusif yang
mengacu pada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus
daripada kompetisi politik secara fair. Ini tampak dalam akomodasi politik yang
sangat pragmatis dan mengabaikan aturan.
Parpol-parpol yang
tergabung dalam aliansi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kerap muncul
perilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain yang sangat
krusial dalam aliansi parpol adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Aliansi
dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan
ideologi serta kerap mengingkari konstituen mereka.
Hasilnya pemerintah
yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena disibukkan berbagai
pilihan strategi kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan
lain. Inilah penyakit lama pascareformasi yang tak kunjung sembuh hingga
sekarang. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan
lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi
penyelamatan kepentingan masing-masing.
Kemudian, tunduknya
sistem dalam hegemoni para politikus. Posisi ini kerap menimbulkan paradoks
dalam praktik sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain. Negara demokrasi
yang baik, biasanya menempatkan sistem yang kuat dan mampu mengatasi
fragmentasi kekuatan politik karena memiliki prinsip-prinsip kredibel,
konsisten dan berdaya guna.
Penyakit lama
bangsa, sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan perselingkuhan abadi
para pengusaha dan penguasa. Para pemilik kapital dan pemangku otoritas
berkolaborasi dalam mengamankan sejumlah proyek “bancakan.” Politik lantas
disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi.
Jika tak ada ”obat”
yang tepat, maka bukan mustahil 2013 akan membuat bangsa ini semakin sakit.
Untuk mengatasinya, butuh partisipasi dan kedewasaaan semua kekuatan politik
yang akan bertarung agar mereka memainkan peran politik dengan menyandarkan
pada aturan main yang kuat dan tegas.
Rivalitas itu
lumrah. Hanya, seluruh pemain yang siap turun ke gelanggang juga harus
menyadari bahwa setiap permainan ada aturan. Penghormatan atas aturan itulah
yang menjadi kesejatian manusia beradab!
Sumber: Koran
Jakarta, 5 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!