Headlines News :
Home » » Pemimpin Politik yang Sakit

Pemimpin Politik yang Sakit

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, September 10, 2013 | 11:20 PM


Oleh Ansel Deri
Alumni Undana Kupang;
tinggal di Halim Perdanakusuma

PEKAN ketiga dan keempat Juli lalu, dua anggota DPRD Sikka: Siflan Angi dan Piet Jelalu, bersuara keras. Pangkal soalnya, adanya dugaan penyimpangan pengelolaan anggaran makan-minum berupa snack dan makan siang anggota DPRD setempat yang terjadi sejak 2009-2013.

Dana itu dianggarkan untuk makan-minum para wakil rakyat setiap hari. Kenyataannya, tidak setiap hari ada sidang. Kian yakin adanya indikasi penyimpangan setelah beberapa anggota DPRD Sikka menyambangi pemilik warung yang menyediakan snack dan makan siang. Ditemukan, nasi per kota seharga Rp. 17.000. Padahal, sesuai pagu resmi harganya Rp. 25.000 per kota. Artinya, terjadi ‘mark-up’ Rp. 8.000 per kotak sejak 2009.

Siflan meminta aparat berwenang bergerak menyita dokumen dugaan penyimpangan tersebut. Apalagi dugaan penyimpangan sudah jadi temuan BPK. Sedangkan Jelalu meminta perlu ‘wasit’. Kepala Kejaksaan Negeri Maumere melalui Kepala Seksi Intelijen Herzen Suryo masih mempelajari dugaan penyimpangan tersebut.

Dari Lembata, sejumlah anggota DPRD seperti Fredy Wahon, Philipus Bediona, dan Fery Koban, meminta aparat kepolisian mengusut kasus penyelundupan ratusan ton pasir emas asal Lembata yang diselundupkan ke Jakarta. Pasir emas tersebut kini disita dan diamankan di Mapolsek Pondok Aren, Tangerang, Banten. Penyelundupan pasir asal tanah Lepanbatan, diduga tak hanya melibatkan oknum petinggi daerah tetapi juga anggota DPRD setempat (Pos Kupang, 5/9 2013).

Wakil Bupati Viktor Mado Watun mengatakan, 127 ton pasir yang diduga berasal dari Omesuri dan Buyasuri, mengandung emas, perak, dan tembaga. Karena itu, Pemkab Lembata akan membentuk tim menyelidiki kasus ini (Kompas, 1/8 2013).

Politisi sakit

Langkah yang diambil mencermati berbagai persoalan yang melilit rakyat dan daerah tersebut menunjukkan makna dan esensi fungsi kepemimpinan politik sesungguhnya. Sekalipun para pihak dalam kasus tersebut belum terbukti secara hukum, paling kurang publik tahu dan mengapresiasi langkah politis yang diambil. Mengapa? Itulah tugas dan fungsi kepemimpinan politik. Para wakil rakyat, misalnya, telah memainkan fungsi pengawasan (controlling), selain fungsi anggaran (budgetting) dan legislasi.

Mengapa langkah seperti ini juga penting? Meski tak merujuk ke Sikka dan Lembata, toh, kita tahu belakangan marak terjadi berbagai kasus yang menyusahkan rakyat. Misalnya, kasus penyimpangan anggaran melalui mark-up dana berbagai proyek maupun dana perjalanan dinas yang melebih pagu resmi. Lebih dari itu, kepemimpinan politik yang selalu care dengan berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan mutlak diperlukan di saat dedikasi dan loyalitas sebuah kepemimpinan (politik) kian mendendor.

Jika elite (politik) membiarkan terjadinya tindakan-tindakan korupsi atau ilegal mining, misalnya, adalah tipikal yang oleh David Krisna Alka, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, disebut sebagai pemimpin (politik) yang sakit. Korupsi –termasuk yang melibatkan institusi politik– dalam suatu kepemimpinan merupakan bagian dari kegagalan pemimpin. Apalagi jika terjadi pembiaran, bakal tak ada lagi kewibawaan, sebab tak ada kemampuan untuk meyakinkan, the power to persuade (Media Indonesia, 20 Desember 2012).

Tipikal pemimpin politik yang membiarkan korupsi merajalela, kini dengan mudah ditemukan terutama di lembaga legislatif dan eksekutif. Ini juga pernah ditegaskan Mochtar Lubiz, salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia. Salah satu ciri yang paling menonjol ialah hipokritis: suka berpura-pura, berbohong, dan berdusta. Lain di depan, lain di belakang.

Tujuannya, menyelamatkan diri agar tetap survive. Di saat rakyat mengalami kesulitan akibat minimnya perhatian pemerintah dan elite melalui berbagai program pembangunan, para pemimpin politik, utamanya wakil rakyat malah “tiarap”. Mereka memilih menjauh dan baru muncul tatkala membutuhkan rakyat. Sialnya lagi, kebiasaan suka berbohong atau berpura-pura sedang tumbuh di kalangan pemimpin dan elite politik kita.

Realitas buruk ini meminjam pandangan David Runciman (2010), merupakan bagian dari fenomena politik muka dua. Politik muka dua penuh kemunafikan dan standar ganda. Politik jenis ini tumbuh dan beroperasi bersamaan dengan pergeseran panggung politik ke panggung drama. Politik disulap menjadi arena perang citra, yang sangat jauh dari makna dan realita politik esensial dan ideal.

Rekam jejak

Agustus lalu Komisi Pemilihan Umum Pusat dan Daerah telah mengumumkan daftar calon sementara menjadi daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif untuk berlaga pada pemilu legislatif 2014. Masyarakat selaku pemegang otoritas suara diingatkan lagi melihat rekam jejak (track record) figur-figur yang disodorkan partai politik kemudian menjatuhkan pilihannya dalam bilik suara (TPS).

Dari ribuan caleg di semua tingkatan yang disodorkan partai politik, tentu menarik bagi masyarakat melihat, menimbang, dan mengetahui lebih jauh track record masing-masing figur yang disetor ke publik. Di sini pilihan atas figur calon pemimpin politik yang akan duduk di lembaga legislatif menjadi sangat penting dan strategis bagi rakyat. Informasi atau –katakan– peringatan seperti ini penting.

Mengapa? Kita tahu tantangan rakyat dan daerah ke depan semakin kompleks. Hal ini hanya bisa dijawab rakyat dan daerah dengan mudah manakala memiliki stok pemimpin (politik) yang qualified, jelas keberpihakan kepada rakyat. Bukan ‘politisi yang sakit’: abu-abu dalam bersikap, minim integritas moral, gemar melakukan perjalanan dinas (termasuk perjalanan dinas lanjutan) tanpa tujuan dengan alasan konsultasi publik atau bimbingan teknis (bimtek): hal yang idealnya mesti lebih sering dilakukan staf atau pejabat di satuan kerja (satker) berkepentingan. Apalagi politisi (wakil rakyat) yang rajin bermain proyek dengan mitranya demi mendulang fulus.

Karena itu, pemimpin dan politisi yang dibutuhkan ke depan adalah mereka yang berwajah disebut di atas, yang tanpa sungkan ‘berkicau’ atas nama korupsi dan masalah-masalah yang merugikan masyarakat. Mereka telah memainkan sosok politisi sejati yang memulai bersih-bersih dari dalam “rumahnya”, tempat mereka membicarakan soal-soal rakyat. Tentu di samping memainkan peran dan fungsi utama lainnya.

Mereka telah menunjukkan karakter sebagai politisi yang tak sekadar mengerti bagaimana caranya ikut menciptakan kebaikan bersama. Mereka telah menciptakan sejarah dengan menempatkan urusan rakyat kecil selalu ada dalam jejak pengabdian politiknya. Bukan pemimpin (politik) yang sakit.  
Sumber: Flores Pos, 10 September 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger