Oleh Ansel Deri
Alumni Undana Kupang;
tinggal di
Halim Perdanakusuma
PEKAN ketiga dan keempat Juli lalu, dua anggota DPRD
Sikka: Siflan Angi dan Piet Jelalu, bersuara keras. Pangkal soalnya, adanya
dugaan penyimpangan pengelolaan anggaran makan-minum berupa snack dan makan siang anggota DPRD
setempat yang terjadi sejak 2009-2013.
Dana itu dianggarkan untuk makan-minum para wakil
rakyat setiap hari. Kenyataannya, tidak setiap hari ada sidang. Kian yakin
adanya indikasi penyimpangan setelah beberapa anggota DPRD Sikka menyambangi
pemilik warung yang menyediakan snack
dan makan siang. Ditemukan, nasi per kota seharga Rp. 17.000. Padahal, sesuai
pagu resmi harganya Rp. 25.000 per kota. Artinya, terjadi ‘mark-up’ Rp. 8.000
per kotak sejak 2009.
Siflan meminta aparat berwenang bergerak menyita
dokumen dugaan penyimpangan tersebut. Apalagi dugaan penyimpangan sudah jadi
temuan BPK. Sedangkan Jelalu meminta perlu ‘wasit’. Kepala Kejaksaan Negeri
Maumere melalui Kepala Seksi Intelijen Herzen Suryo masih mempelajari dugaan
penyimpangan tersebut.
Dari Lembata, sejumlah anggota DPRD seperti Fredy
Wahon, Philipus Bediona, dan Fery Koban, meminta aparat kepolisian mengusut
kasus penyelundupan ratusan ton pasir emas asal Lembata yang diselundupkan ke
Jakarta. Pasir emas tersebut kini disita dan diamankan di Mapolsek Pondok Aren,
Tangerang, Banten. Penyelundupan pasir asal tanah Lepanbatan, diduga tak hanya
melibatkan oknum petinggi daerah tetapi juga anggota DPRD setempat (Pos Kupang, 5/9 2013).
Wakil Bupati Viktor Mado Watun mengatakan, 127 ton
pasir yang diduga berasal dari Omesuri dan Buyasuri, mengandung emas, perak,
dan tembaga. Karena itu, Pemkab Lembata akan membentuk tim menyelidiki kasus
ini (Kompas, 1/8 2013).
Politisi sakit
Langkah yang diambil mencermati berbagai persoalan
yang melilit rakyat dan daerah tersebut menunjukkan makna dan esensi fungsi kepemimpinan
politik sesungguhnya. Sekalipun para pihak dalam kasus tersebut belum terbukti secara
hukum, paling kurang publik tahu dan mengapresiasi langkah politis yang diambil.
Mengapa? Itulah tugas dan fungsi kepemimpinan politik. Para wakil rakyat,
misalnya, telah memainkan fungsi pengawasan (controlling), selain fungsi anggaran (budgetting) dan legislasi.
Mengapa langkah seperti ini juga penting? Meski tak
merujuk ke Sikka dan Lembata, toh, kita tahu belakangan marak terjadi berbagai
kasus yang menyusahkan rakyat. Misalnya, kasus penyimpangan anggaran melalui mark-up dana berbagai proyek maupun dana
perjalanan dinas yang melebih pagu resmi. Lebih dari itu, kepemimpinan politik
yang selalu care dengan berbagai persoalan
sosial-kemasyarakatan mutlak diperlukan di saat dedikasi dan loyalitas sebuah
kepemimpinan (politik) kian mendendor.
Jika elite (politik) membiarkan terjadinya
tindakan-tindakan korupsi atau ilegal
mining, misalnya, adalah tipikal yang oleh David Krisna Alka, peneliti
Maarif Institute for Culture and Humanity, disebut sebagai pemimpin (politik) yang
sakit. Korupsi –termasuk yang melibatkan institusi politik– dalam suatu
kepemimpinan merupakan bagian dari kegagalan pemimpin. Apalagi jika terjadi
pembiaran, bakal tak ada lagi kewibawaan, sebab tak ada kemampuan untuk
meyakinkan, the power to persuade (Media Indonesia, 20 Desember 2012).
Tipikal pemimpin politik yang membiarkan korupsi
merajalela, kini dengan mudah ditemukan terutama di lembaga legislatif dan
eksekutif. Ini juga pernah ditegaskan Mochtar Lubiz, salah seorang sastrawan terkemuka
Indonesia. Salah satu ciri yang paling menonjol ialah hipokritis: suka
berpura-pura, berbohong, dan berdusta. Lain di depan, lain di belakang.
Tujuannya, menyelamatkan diri agar tetap survive. Di saat rakyat mengalami
kesulitan akibat minimnya perhatian pemerintah dan elite melalui berbagai
program pembangunan, para pemimpin politik, utamanya wakil rakyat malah “tiarap”.
Mereka memilih menjauh dan baru muncul tatkala membutuhkan rakyat. Sialnya
lagi, kebiasaan suka berbohong atau berpura-pura sedang tumbuh di kalangan
pemimpin dan elite politik kita.
Realitas buruk ini meminjam pandangan
David Runciman (2010), merupakan bagian dari fenomena politik muka dua. Politik
muka dua penuh kemunafikan dan standar ganda. Politik jenis ini tumbuh dan
beroperasi bersamaan dengan pergeseran panggung politik ke panggung drama.
Politik disulap menjadi arena perang citra, yang sangat jauh dari makna dan
realita politik esensial dan ideal.
Rekam jejak
Agustus lalu Komisi Pemilihan Umum Pusat dan Daerah telah
mengumumkan daftar calon sementara menjadi daftar calon tetap (DCT) anggota
legislatif untuk berlaga pada pemilu legislatif 2014. Masyarakat selaku
pemegang otoritas suara diingatkan lagi melihat rekam jejak (track record) figur-figur yang
disodorkan partai politik kemudian menjatuhkan pilihannya dalam bilik suara (TPS).
Dari ribuan caleg di semua tingkatan yang disodorkan
partai politik, tentu menarik bagi masyarakat melihat, menimbang, dan
mengetahui lebih jauh track record
masing-masing figur yang disetor ke publik. Di sini pilihan atas figur calon
pemimpin politik yang akan duduk di lembaga legislatif menjadi sangat penting
dan strategis bagi rakyat. Informasi atau –katakan– peringatan seperti ini
penting.
Mengapa? Kita tahu tantangan rakyat dan daerah ke
depan semakin kompleks. Hal ini hanya bisa dijawab rakyat dan daerah dengan
mudah manakala memiliki stok pemimpin (politik) yang qualified, jelas keberpihakan kepada rakyat. Bukan ‘politisi yang sakit’:
abu-abu dalam bersikap, minim integritas moral, gemar melakukan perjalanan
dinas (termasuk perjalanan dinas lanjutan) tanpa tujuan dengan alasan
konsultasi publik atau bimbingan teknis (bimtek): hal yang idealnya mesti lebih
sering dilakukan staf atau pejabat di satuan kerja (satker) berkepentingan.
Apalagi politisi (wakil rakyat) yang rajin bermain proyek dengan mitranya demi mendulang
fulus.
Karena itu, pemimpin dan politisi yang dibutuhkan ke
depan adalah mereka yang berwajah disebut di atas, yang tanpa sungkan
‘berkicau’ atas nama korupsi dan masalah-masalah yang merugikan masyarakat.
Mereka telah memainkan sosok politisi sejati yang memulai bersih-bersih dari
dalam “rumahnya”, tempat mereka membicarakan soal-soal rakyat. Tentu di samping
memainkan peran dan fungsi utama lainnya.
Mereka telah menunjukkan karakter sebagai politisi
yang tak sekadar mengerti bagaimana caranya ikut menciptakan kebaikan bersama.
Mereka telah menciptakan sejarah dengan menempatkan urusan rakyat kecil selalu
ada dalam jejak pengabdian politiknya. Bukan pemimpin (politik) yang sakit.
Sumber: Flores Pos, 10 September 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!