Oleh Ramlan Surbakti
Guru Besar Perbandingan Politik
Fisip
Universitas Airlangga, Surabaya
Partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam
proses penyelenggaraan tahapan pemilu merupakan parameter keempat untuk Pemilu
yang Adil dan Berintegritas.
Peran serta
warga negara yang telah dewasa secara politik (baca: memiliki hak pilih) dalam
proses penyelenggaraan pemilu tak hanya memberikan suara di TPS pada hari
pemungutan suara, tetapi juga mengawal agar proses penyelenggaraan pemilu
dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan suara yang diberikan ikut
menentukan hasil pemilu.
Sembilan
bentuk partisipasi
Setidaknya
terdapat sembilan bentuk partisipasi warga negara dalam proses penyelenggaraan
tahapan pemilu. Pertama, keterlibatan anggota parpol dalam proses seleksi calon
anggota DPR dan DPRD, serta dalam memberikan masukan untuk perumusan visi,
misi, dan program parpol dalam pemilu. Untuk pemilu anggota DPR dan DPRD 2014
dapat disimpulkan tak ada parpol peserta pemilu yang melibatkan anggota di akar
rumput dalam proses seleksi calon dan penyusunan visi, misi, dan program
partai. Yang dilibatkan hanya sekelompok kecil anggota yang jadi elite partai
pada kepengurusan partai tingkat nasional dan daerah.
Kedua,
keterlibatan para aktivis LSM dalam menyelenggarakan program pendidikan pemilih
(voter's education). Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah meningkatkan
kecerdasan pemilih dalam menentukan perilaku memilih. Untuk menyongsong Pemilu
2014 boleh dikatakan tak ada LSM yang melaksanakan program pendidikan pemilih
secara sistematik. Dua faktor penyebab utama mengapa ormas sipil absen dalam melakukan
pendidikan pemilih: tidak tersedia dana karena sejumlah negara donor sudah
menghentikan dana hibah untuk pendidikan pemilih, serta para aktivis LSM yang
berminat dan berpengalaman dalam bidang ini sudah beralih ke bidang kegiatan
lain, sementara pendatang baru kurang berminat.
Ketiga,
mendukung secara aktif parpol peserta pemilu atau calon tertentu, baik dengan
menjadi peserta kampanye pemilu maupun ikut menyumbang dana kampanye dalam
bentuk uang dan/atau barang dan jasa. Jumlah peserta kampanye pemilu anggota
DPR dan DPRD, khususnya kampanye dalam bentuk rapat umum, kian berkurang
termasuk pada kampanye parpol papan atas. Bahkan, partisipasi perseorangan
dalam memberikan dukungan dana kampanye untuk pemilu anggota DPR dan DPRD lebih
rendah lagi.
Kepercayaan
warga masyarakat kepada parpol memang kian rendah, selain rapat umum masih
banyak bentuk kampanye pemilu lain (pemasangan alat peraga, iklan melalui
media, pertemuan tatap muka, dan kampanye dari rumah ke rumah), dan sebagian
pemilih lebih suka meminta uang daripada memberikan sumbangan dan kampanye
kepada partai/calon. Bahkan, sebagian calon lebih memilih kampanye dari rumah
ke rumah. Transaksi jual-beli suara justru terjadi pada bentuk kampanye seperti
ini. Partisipasi sebagai peserta kampanye rapat umum dan pemberian sumbangan
dana kampanye (dana gotong royong) jauh lebih besar pada Pemilu Presiden
(Pilpers) 2014 daripada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014.
Keempat,
mengajak orang lain mendukung parpol/calon tertentu dan/atau untuk tidak
mendukung parpol/calon lain dalam pemilu. Karena hampir semua parpol memiliki
ideologi yang sama, yaitu pragmatisme, pemilu lebih banyak merupakan persaingan
antarcalon dari segi popularitas daripada persaingan ideologik (baca:
persaingan alternatif kebijakan publik yang disusun berdasarkan ideologi/
platform tertentu). Kampanye pihak ketiga, sebagai tim pendukung tak resmi atau
bersifat independen, praktis lebih banyak muncul pada pilpres daripada pileg.
Partisipasi relawan seperti ini jauh lebih besar pada Pilpres 2014 daripada
Pileg 2014.
Kelima,
keterlibatan dalam lembaga pemantau pemilu yang mendapat akreditasi dari KPU
untuk melakukan pemantauan terhadap satu atau lebih tahapan pemilu di sejumlah
daerah pemilihan. Hanya sebagian dari 17 lembaga pemantau yang dapat akreditasi
dari KPU yang melaksanakan program pemantauan Pileg 2014. Yakni, LP3ES untuk
pemutakhiran daftar pemilih; Perludem untuk proses pemungutan dan penghitungan
suara; JPPR untuk proses pemungutan dan penghitungan suara serta partisipasi
pemilih difabel; Migrant Care untuk pemilih di luar negeri; Kemitraan untuk
kampanye dan dana kampanye, serta proses pemungutan dan penghitungan suara;
KIPP untuk proses pemungutan dan penghitungan suara.
Karena
keterbatasan sumber daya, pemantauan pemilu tak dilakukan secara menyeluruh,
baik dari segi tahapan maupun provinsi. Kemitraan, misalnya, hanya melakukan
pemantauan di lima provinsi (Jateng, Sumut, NTB, Papua, dan Maluku). Kontribusi
utama lembaga ini menjaga agar pemilu diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Keenam,
keterlibatan pemilih dalam melakukan pengawasan atas proses penyelenggaraan
tahapan pemilu: mengawasi apakah pemilu diselenggarakan sesuai peraturan
perundang-undangan. UU Pemilu menentukan tiga pihak yang dapat mengajukan
pengaduan tentang dugaan pelanggaran atas Ketentuan Administrasi Pemilu,
Ketentuan Pidana Pemilu, atau Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Ketiga pihak
tersebut adalah pemilih terdaftar, pemantau pemilu, dan peserta pemilu.
Pengaduan
tentang dugaan pelanggaran pemilu ini disampaikan ke Panitia Pengawas Pemilu
(Panwas)/Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Karena Panwas/Bawaslu hanya akan
bertindak jika ada pengaduan dari satu atau lebih dari tiga pihak itu dan
jumlah kasus yang ditangani Bawaslu seluruh Indonesia mencapai ribuan, dapat
diduga cukup banyak yang menyampaikan pengaduan. Belum diketahui seberapa
banyak pemilih yang menyampaikan pengaduan tentang dugaan pelanggaran pemilu ke
Panwas/Bawaslu.
Ketujuh, ikut
memilih atau memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara (voting
turnout). Jumlah warga negara yang berhak memilih yang terdaftar sebagai
pemilih untuk Pemilu 2014 mengalami peningkatan dari sekitar 85 persen pada
Pileg 2009 menjadi 95-97 persen untuk Pileg 2014. Peningkatan ini terjadi
karena daftar pemilih tak lagi disamakan dengan daftar penduduk ber-NIK.
Partisipasi pemilih terdaftar dalam memberikan suara untuk Pileg 2014 mengalami
peningkatan dari 70,29 persen pada Pemilu 2009 menjadi 76,11 persen untuk
Pemilu 2014. Peningkatan ini terjadi karena pengaruh para capres yang sudah
melakukan kampanye lebih awal.
Jumlah suara
sah mengalami peningkatan dari 85,59 persen (jumlah suara tak sah 14,41 persen)
pada Pileg 2009 menjadi 90 persen (jumlah suara tak sah 10 persen) untuk Pileg
2014. Meski cara nyoblos sudah menggantikan cara nyontreng, ternyata jumlah
suara tak sah masih tinggi.
Peran lembaga
survei dan media
Selanjutnya,
kedelapan, keterlibatan aktif lembaga survei untuk melakukan exit poll
(mengajukan pertanyaan kepada pemilih secara acak segera setelah memberikan
suara di TPS) atau penghitungan cepat (quick count) atas hasil pemungutan suara
di TPS yang jadi sampel. Pada 9 April 2014 terdapat 11 lembaga yang melakukan
penghitungan cepat atas hasil penghitungan suara rata-rata 2.200 TPS dari
546.278 TPS pileg seluruh Indonesia. Antara lain, CSIS-Cyrus, SMRC, Poltracking,
Indikator Indonesia, Litbang Kompas, Populi Center, Barometer Indonesia,
Lingkaran Survei Indonesia, dan RRI.
Kalau setiap
lembaga survei menetapkan 2.200 TPS sebagai sampel dan setiap TPS ada seorang
peneliti, ke-11 lembaga survei mengerahkan tak kurang dari 24.200 peneliti
lapangan. Ditambah tenaga koordinator di daerah, tenaga operator penerima,
pengolah data, dan analisis data pada tingkat nasional, jumlah warga yang
berpartisipasi melalui lembaga survei ini mencapai 30.000 orang. Lembaga survei
seperti ini mempunyai dua kontribusi: menawarkan prediksi hasil pemilu dan
menjadi pembanding bagi hasil pemilu yang ditetapkan KPU.
Kesembilan,
keterlibatan pekerja media cetak dan elektronika secara aktif dalam proses
peliputan kegiatan pemilu dan/atau penulisan dan penyiaran berita tentang
kegiatan pemilu. Mengingat jumlah media cetak (surat kabar, tabloid, majalah)
dan elektronik (radio, TV, dan media sosial) yang meliput kegiatan pemilu
sekarang ini begitu banyak, baik pada aras nasional maupun lokal, diperkirakan
semua jenis media ini mengerahkan jutaan warga negara, baik yang bertugas di
lapangan maupun di kantor redaksi dan studio. Kontribusi utama media dalam
menyebarluaskan informasi tentang pemilu lebih besar daripada apa yang
dilakukan KPU dengan seluruh aparatnya dalam menyebarluaskan informasi tentang
pemilu.
Sumber:Kompas,
30 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!