Oleh Agus
Hernawan
Bergiat di Populis Institute;
Pernah "Nyantri" di SIT,
Vermont, AS
Kompetisi Pilpres 2014 terhitung paling tajam sepanjang sejarah
perpolitikan di Tanah Air, khususnya setelah Reformasi. Gelanggang polarisasi
terbangun di semua lapisan, dari partai pengusung sampai ke ruang-ruang
kesadaran publik pemilih. Menarik disimak ialah antusiasme publik meningkat
signifikan, diikuti menyusutnya angka golput.
Antusiasme itu menandai tengah berkecambahnya kesadaran politik publik, baik sebagai alat (tool) maupun tujuan (objective). Sebagai alat, kesadaran politik memotivasi ragam analisis kritis pada kehidupan politik yang kian dinamis. Sebagai tujuan, ia membasisi partisipasi politik publik agar mengekstrakan kepentingan politik dengan lebih terukur dan bertanggung jawab.
Tulisan ini melihat antusiasme tersebut
sebagai episode awal efek demokrasi kita. Reafirmasi berlangsung sepanjang
hajatan pilpres itu, tempat di mana publik menemukan sepasang lensa untuk melihat,
menemukan perangkat pengetahuan dan kepekaan sejarah dalam menghadirkan gagasan
sekaligus responsibilitas dan solidaritas untuk berbuat.
Kemenangan sesungguhnya tidak pada hasil
rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja, akan tetapi pada kesanggupan
menciptakan "ruang politik baru", sebuah panggung tempat efek
demokrasi berlangsung.
Megafon demokrasi
Situasi dialektis dari nomor punggung
kedua pasangan capres-cawapres itu adalah satu ketegangan kreatif. Kadar
reaktivitas memang masih cukup dominan. Hal itu tentu terkait dengan kesadaran
politik mayoritas belum menukik, tetapi sesuatu yang masih sebatas menjalar di
permukaan kondisi material. Namun, sebagai titik balik, ia membawa pesan ke
semua organisasi politik kita untuk tidak lagi sekadar alat meraih kekuasaan
dan kendaraan kelompok kepentingan memiliki "deposit" di kekuasaan
politik.
Hal menarik seputar pilpres kali ini
ialah munculnya kelompok penekan yang datang dari bawah. Kehadiran kelompok
penekan ini mengacaukan ekuilibrium politik yang selama ini dikuasai konsensus
konservatif. Pencapresan Joko Widodo alias Jokowi tidak terlepas dari campur
tangan kelompok ini, yang otomatis mengacaukan Kesepakatan Batu Tulis antara
elite PDI Perjuangan dan Gerindra. Konsensus konservatif menjadi batal dengan
kedua partai dihadapkan pada situasi dialektis yang masing-masing tidak dalam
kondisi yang siap.
Hal yang tidak kalah menarik ialah
kemunculan ruang-ruang kurpol atau kursus politik di dunia maya. Internet
diolah jadi ruang "folklor"
politik. Opini berseliweran dan argumentasi politik beradu tangkis-menangkis
dengan sengit. Peristiwa saling bully berlangsung, baik lewat update status
maupun perang posting. Situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan
Youtube, menjadi gelanggang apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai war of
position, pertarungan untuk memenangkan hegemoni.
Ketegangan kreatif merupakan koridor
mendekati, mewarnai, dan merengkuh kekuasaan politik. Perang dukungan yang
masif di dunia maya justru telah melokalisir potensi konflik terbuka. Bahkan,
ia telah mengubah materi kampanye politik yang biasanya klise menjadi sangat kreatif. Situasi ini
barangkali mendekati pengertian democracy's megaphones yang disebut Jim Shultz.
Kreativitas berdemokrasi itu sayangnya
dicederai oleh kemunculan selebaran Obor Rakyat dan berbagai media yang
mengeksploitasi unsur suku, agama, ras, dan antargolongan alias SARA. Frekuensi
kampanye hitam yang intens disebarkan oleh Obor Rakyat dan permainan push polls
menggiring publik dalam ketegangan destruktif. Dengan sangat sistematis dan
bekal pengetahuan diferensiasi pemilih, Obor Rakyat membawa kualitas kesadaran
politik publik jatuh pada kesadaran naif dan fanatik.
Latar dan transformasi
Gelombang relawan di kubu Jokowi-JK
menciptakan tradisi baru perpolitikan di Tanah Air. Keberadaan para relawan ini
tidak bisa dipisahkan dari kehadiran kelompok penekan dari bawah yang disebut
di atas. Mereka membangun tradisi voluntaristik dengan kesadaran kritis sebagai
basis kesadaran politis, yang diaplikasikan menjadi partisipasi politik. Sulit
disangkal bahwa barisan relawan inilah latar utama kemenangan Jokowi-JK.
Sepanjang proses pilpres, beragam
modalitas sosial, seperti komunitas penyuka perkutut, komunitas sepeda onthel,
komunitas layang-layang, sampai ke guyub-guyub profesi, berubah jadi modalitas
politik, menjadi mesin pemenangan Jokowi-JK.
Mereka lahir spontan, mendeklarasikan
dukungan secara terbuka, bekerja tersebar, dan bersifat desentralis saat
memasuki geografi pemilih. Kolektivitas dalam bentuk power to dan power with
telah melahirkan semacam ledakan kegembiraan dan kreativitas serta militansi
yang mencengangkan.
Tradisi voluntaristik itu tidak lain
upaya derivatif melahirkan demokrasi yang terikat kuat pada citizenship,
kewarganegaraan. Demokrasi sebagai "kata dasar" dan citizenship
sebagai "afiks". Jaringan relawan di kubu Jokowi-JK adalah perwujudan
awal dari semangat kewarganegaraan itu. Mereka tumbuh kolektif yang bergerak
bersama dalam sifat yang politis. Mereka dikatakan politis karena peran "users" (pengguna hak
politik) dan "chooser" (pemilih atau voters) di luar kaidah kontrol
yang selama ini dimonopoli perspektif elite.
Keparipurnaan citizenship ialah ketika
kesadaran politik dan partisipasi politik selaku "users" dan
"chooser" ditransformasikan menjadi "makers" dan
"shaper", yakni partisipasi publik untuk menghasilkan dan membuat
perbedaan. Partisipasi publik harus melampaui sekadar partisipasi material
atau fungsional kesesaatan, terlebih lagi token participation. Partisipasi
harus jadi kepekatan warna demokrasi kita, demokrasi yang terbebaskan,
sepenuhnya dalam gairah publik. "Keeping citizens apart has become the
first maxim of modern politics", ujar Rousseau.
Sumber: Kompas, 2 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!