Oleh Bahrul Ilmi Yakup
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN
GEDUNG DPR nyaris kosong saat gelar rapat pleno
menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Panas Bumi menjadi undang-undang
pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 (Kompas, 27/8/2014).
Fenomena demikian sangat lazim dilakukan DPR ketika
bersidang. Anggota DPR menganggap kegiatan rapat atau rapat pleno pengesahan UU
sebagai suatu peristiwa yang tidak penting sehingga mengabaikannya.
Para anggota DPR seharusnya konsisten dengan
janjinya bahwa pemilihan umum adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk
menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksudkan UU
Nomor 8 Tahun 2012.
UU tersebut dibuat oleh DPR dan seyogianyalah
anggota DPR merupakan orang pertama yang memahami dan menaati UU.
Sebagai representasi kedaulatan rakyat, DPR harus
mampu dan teruji dalam bekerja secara baik, maksimal, serta visioner untuk
mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Tidak masanya lagi DPR
mengingkari janji kampanye, tebar pesona, serta menggunting dan memanipulasi
aspirasi kepentingan rakyat untuk membungkus kepentingan sendiri dan partainya.
Salah satu tugas yang harus bisa diemban DPR adalah
menghapuskan praktik kejahatan legislasi (legislation crime), suatu fenomena
baru dalam praktik pelaksanaan wewenang DPR pasca reformasi. Praktik kejahatan
legislasi telah mengantar banyak anggota DPR menjadi terdakwa tindak pidana
korupsi kendati tindak pidana korupsi bukan merupakan wujud kejahatan legislasi
yang utama.
Kejahatan legislasi mencakup semua bentuk kejahatan
yang dilakukan oleh anggota DPR atau lembaga DPR terkait dengan pelaksanaan
fungsi DPR yang meliputi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selama periode
2009-2014, kejahatan legislasi yang paling menonjol terjadi pada aspek
penganggaran. Pada aspek ini, anggota DPR lebih kental sebagai pedagang
kebijakan ketimbang anggota DPR yang terhormat yang mewakili hajat negara dan
masyarakat.
Sementara pada aspek legislasi, umumnya kejahatan
legislasi meliputi praktik suap, pemerasan atau korupsi oleh anggota DPR yang
terkait dengan kegiatan pembuatan UU. Dalam proses pembuatan UU, sering sekali
anggota DPR melakukan negosiasi dengan pihak yang berkepentingan untuk membuat
atau menyesuaikan norma undang-undang dengan kepentingan pihak tertentu dengan
imbalan sejumlah uang. Terkait dengan itu, proses pembentukan UU Daerah Otonomi
Baru merupakan salah satu bidang legislasi yang perlu dicermati.
Kehadiran anggota DPR
Contoh kejahatan legislasi yang paling menonjol
adalah kasus hilangnya "Ayat Tembakau", yaitu Pasal 113 Ayat (2) RUU
Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR pada 14 September 2009. Kendati
praktik suap dalam kasus ini belum terbukti secara hukum, rumor bahwa
penghilangannya berimbal pemberian sejumlah uang merebak dan tidak
terbantahkan.
Sementara kejahatan legislasi yang paling umum
dilakukan anggota DPR adalah manipulasi tanda tangan pada presensi sidang. Para
anggota DPR membubuhkan tanda tangan, tetapi senyatanya tidak hadir pada sidang
tersebut. Praktik semacam ini dianggap sesuatu yang lumrah dan sah. Padahal,
sejatinya menurut hukum tidaklah demikian. Sebab, Pasal 69 Ayat (1) UU Nomor 12
Tahun 2011 menghendaki anggota DPR memberikan persetujuan secara lisan atas RUU
yang sedang dibahas.
Selanjutnya, Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011
mengatur dalam hal persetujuan lisan tidak dapat dicapai secara musyawarah
untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
Dengan demikian, kehadiran anggota DPR secara fisik guna menentukan apakah
rapat tersebut memenuhi kuorum atau tidak merupakan sesuatu yang tidak dapat
digantikan dengan hanya menandatangani presensi kehadiran sebagaimana lazim
dilakukan anggota DPR selama ini.
Kuorum rapat DPR ditentukan oleh kehadiran fisik
anggota DPR, tidak dapat disubstitusikan oleh tanda tangan pada presensi
sebagaimana dipraktikkan DPR selama ini. Substansi tersebut dimaksudkan Pasal
7B Ayat (3) UUD 1945.
Kalau hal demikian terjadi, menurut hukum, rapat
pengesahan UU tersebut menjadi tidak sah yang menyebabkan pembentukan UU cacat
formil. Dalam konteks demikian, keabsahan RUU tentang Panas Bumi menjadi UU
pengganti UU Nomor 27 Tahun 2003 dapat dipertanyakan secara
legal-konstitusional.
Rakyat mengharapkan DPR hasil Pemilu 2014 dapat
terhindar dari praktik kejahatan legislasi yang merugikan sekaligus memalukan.
Sumber: Kompas, 3 September 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!