Oleh Romanus Ndau Lendong
Dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta
Sesuai
janjinya, Jokowi-JK akhirnya mengumumkan postur kabinet, Senin, 15 September
2014. Kabinetnya terdiri atas 34 menteri dengan rincian 19 kementerian tetap, 6
kementerian berubah nama, 6 kementerian gabungan, dan 3 kementerian baru. Kursi
menteri akan diisi oleh 18 profesional dan 16 dari partai politik.
Posisi wakil
menteri dipertahankan di pos Kementerian Luar Negeri, lainnya dihilangkan.
Tampak tidak ada perbedaan signifikan antara kabinet Jokowi-JK dan kabinet SBY-Boediono yang juga terdiri atas 34 menteri. Perbedaan kecil hanya soal
alokasi kursi menteri di kabinet SBY-Boediono yakni 14 dari profesional dan 20
dari parpol. Perbedaan kecil lain adalah pos wakil menteri yang mencapai 17
orang di antaranya untuk Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian
Pertanian.
Tidak ada perbedaan
signifikan postur kabinet ini cacat dini Jokowi-JK. Soal ini tidak boleh
diremehkan karena jauh sebelum dan selama kampanye pilpres, isu perampingan
kabinet menjadi daya tarik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas
Jokowi-JK. Jadi, Joko-wi-JK harus mampu memberikan penjelasan yang jujur,
rasional, dan argumentatif soal dipertahankan postur kabinet gemuk tersebut
agar tidak dituding telah melakukan pembohongan publik.
Kegenitan Tim
Transisi
Hal positif yang
dilakukan Jokowi-JK sebelum menjalankan pemerintahannya adalah membentuk Tim
Transisi. Secara teoritik, Tim Transisi berperan untuk melakukan berbagai
kajian tentang gagasan/konsep, kelembagaan dan kualifikasi personalia yang
memadai sebagai syarat untuk mewujudkan kabinet profesional yang mampu bekerja
cepat, akurat, berkualitas, dan murah. Tim ini juga diperlukan untuk menjamin
kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK.
Sayangnya, tanggung jawab mahaberat dan mulia ini tidak ditunjang dengan
keanggotaan Tim Transisi yang dapat diandalkan.
Keterpilihan Rini
Soemarno sebagai ketua merefleksikan kuatnya dominasi Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri. Selagi menjabat menteri perdagangan era Megawati Soekarnoputri,
kinerja Rini tidak meyakinkan. Begitu pula kehadiran intelektual (Andi
Widjajanto, Anies Baswedan) dan aktivis (Hasto Kristianto, Akbar Faisal) tidak
mampu meyakinkan publik bahwa tim ini bisa bekerja optimal. Minimnya pengalaman
anggota Tim Transisi dalam pemerintahan membuat tim ini gagal menghasilkan
agenda-agenda yang meyakinkan sehingga bisa mengikat Jokowi-JK. Soal postur
kabinet misalnya awalnya tim ini yakin bisa dirampingkan hingga 20 kementerian
saja.
Jokowi juga kerap
menyatakan bahwa kabinetnya akan ramping dan profesional. Tapi, gagasan ini
dengan mudah dipatahkan oleh JK. Dengan dalil bahwa dirinya sudah lama di
pemerintahan dan lebih berpengalaman, JK menegaskan bahwa postur kabinet tetap
34 kementerian sehingga Tim Transisi tidak boleh gegabah mengurangi itu.
Mempertahankan 34 kementerian merupakan efek dari kuatnya dominasi JK.
Kenyataan ini
menyingkap dua soal serius. Pertama, Tim Transisi dibentuk semata-mata untuk
membangun citra bahwa kepemimpinan Jokowi-JK benar-benar dirancang dan dipersiapkan
secara matang. Itu terlihat dari kegenitan tim untuk menebar wacana intelektual
tentang berbagai rancangan perubahan.
Perlahan tapi
pasti, publik sadar bahwa semua itu tidak lebih dari intellectual exercise,
yang ramai dan asyik diperdebatkan, tapi sulit diadopsi menjadi keputusan
politik yang mengikat dan operasional. Andi Widjajanto mengatakan bahwa Tim
Transisi telah menyelesaikan tugasnya menyusun postur kabinet dan kualifikasi
menteri, tapi soal keputusan akhir menjadi urusan Jokowi-JK. Jika demikian, apa
bedanya kajian akademis di berbagai perguruan tinggi dengan kerja Tim Transisi?
Kedua, sejak awal
JK sudah tidak sepakat dengan gagasan perampingan kabinet yang digagas Jokowi.
JK memang menjadi bagian dari perancang postur kabinet dengan 34 kementerian
saat berpasangan dengan SBY periode 2004-2009. Namun, selama kampanye JK
sengaja membiarkan gagasan ini berkembang sekadar untuk mendongkrak popularitas
dan elektabilitas demi memenangkan Pilpres 2014. Sulit dibantah bahwa di sini
Jokowi-JK sudah cacat secara etik karena menjanjikan sesuatu yang akhirnya
tidak akan mereka laksanakan.
Wajah Ganda
Demi membangun
pemerintahan yang kuat dan optimal bekerja untuk rakyat, Jokowi-JK menjanjikan
bahwa kabinetnya akan didominasi oleh profesional murni. Kualifikasi menteri
dipatok tinggi yakni memiliki kompetensi, berintegritas, serta memiliki jiwa
kepemimpinan. Jokowi-JK juga membuka kemungkinan kader partai menjadi menteri,
tapi kader bersangkutan harus meletakkan jabatannya di partai. Di samping itu,
merujuk pada koalisi gemuk kabinet SBY-Boediono yang didominasi kader partai,
Jokowi-JK bertekad merampingkan itu.
Jokowi-JK juga
mendeklarasikan koalisi partai tanpa syarat. Partai Golkar yang ingin merapat
dengan konsesi beberapa kursi menteri ditolak karena tidak sesuai proposal
koalisi Jokowi-JK. Terkesan bahwa koalisi ini bisa secara mandiri berjalan tanpa
didukung partai lain di luar PDIP, PKB, Hanura, NasDem, dan PKPI. Tapi, belum
lagi berkuasa, Jokowi-JK sudah menerapkan politik wajah ganda. Pertama, jatah
kursi ternyata dibagi hampir merata antara profesional dan partai. Jokowi
memang menyebutnya profesional partai. Tapi, Jokowi lupa bahwa profesional
bekerja semata-mata untuk kepentingan rakyat, sementara kader partai tidak.
Kasus korupsi yang
melibatkan beberapa menteri di era SBY-Boediono bukti bahwa kader partai tidak
mungkin sepenuhnya bisa profesional karena mereka juga bertanggung jawab untuk
menutupi kelemahan keuangan kekuatan politiknya. Syarat melepas jabatan bagi
kader partai yang menjadi menteri juga tinggal sayup-sayup.
Kedua, meski
mengaku tidak merasa terancam dengan manuver politik oposisi yang digalang
Koalisi Merah Putih (KMP), diam-diam Jokowi-JK melobi berbagai kekuatan politik
untuk memperkuat koalisinya. JK bahkan menyatakan telah menyiapkan jatah kursi
menteri bagi partai yang mau bergabung dengan pemerintah. Jika kelak anggota koalisi
Jokowi-JK bertambah, tekad untuk membentuk kabinet yang profesional dan total
bekerja untuk rakyat menjadi sulit diwujudkan. Di mana pun koalisi multipartai
yang gemuk cenderung lemah, lamban, dan boros. Lemah karena mudah pecah setiap
ada perbedaan kepentingan, lamban karena pengambilan keputusan yang
bertele-tele, dan boros karena menghabiskan banyak anggaran untuk menjaga
soliditas koalisi.
Sumber: Koran Sindo, 18 September 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!