Oleh Romanus Ndau Lendong
Kader Partai Golkar
KEBERADAAN Partai
Golkar dalam pentas politik nasional terus mengalami kemerosotan. Setelah
sukses meraih posisi puncak di Pemilu 2004 di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung,
selanjutnya posisi partai itu terus merosot. Pada Pemilu 2009, perolehan kursi
DPR RI sebanyak 106 dan pada 2014 tinggal 91. Penurunan akan terus terjadi
kalau Golkar tidak cermat memilih pemimpin baru dalam musyawarah nasional
(munas) nanti.
Sialnya, desakan
perlunya suksesi kepemimpinan dikhawatirkan gagal oleh meluasnya manuver Ketua Umum
Golkar Aburizal Bakrie (Ical) untuk kembali berkuasa. Jelas, itu langkah mundur
karena berpotensi membuat partai itu terus terdegradasi. Niat Ical juga memicu
perlawanan serius dari generasi muda yang mendesak pembaruan mendasar di partai
itu.
Tiga persoalan
Secara politik,
Ical memang memiliki hak untuk kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin Golkar
lima tahun ke depan. Namun, sosok dewasa dan arif tentu tidak melihat hak di
atas segala-galanya. Di atas hak ada etika. Ical perlu wawas diri dan tampil
sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan yang lebih besar ketimbang
terus-menerus meraih kekuasaan tetapi miskin prestasi. Kader Golkar yang
hari-hari menggebu mendukung pencalonan Ical juga hendaknya berpikir ulang
terkait dengan tiga persoalan serius yang menandai kepemimpinan Ical selama
ini.
Pertama, persoalan
integritas. Demi meyakinkan peserta Munas Riau 2009, Ical menjanjikan untuk
membangun gedung 20 lantai dan menyediakan dana abadi Rp 1 triliun. Janji
tersebut sempat mengobarkan optimisme bahwa Ical akan menjadi energi yang
mengakselerasi kemajuan Golkar. Akan tetapi, sampai akhir jabatannya, janji
tersebut tidak pernah terealisasi. Soal itu memantik pergunjingan luas
sekaligus membuyarkan respek kader terhadap Ical.
Ingkar janji
tersebut merupakan persoalan serius sebagai indikasi rendahnya integritas Ical.
Jelas, itu masalah serius sebab Ical gagal tampil sebagai teladan. Padahal,
pemimpin yang baik dan sukses harus didukung integritas terpuji yang diukur
dari konsistensi antara perkataan dan tindakan. Tanpa integritas, politik tidak
lebih dari rangkaian kebohongan yang membuat rakyat semakin risih dan jijik
dengan perilaku elite.
Kedua, miskin
prestasi. Catur sukses yang digadang-gadang Ical, yakni sukses konsolidasi,
sukses kaderisasi, sukses demokrasi dan pembangunan, serta sukses Pemilu 2014
ternyata jauh panggang dari api'. Kegagalan tersebut menjadi sempurna karena
Golkar juga tidak mengajukan capres/cawapres dalam Pemilihan Presiden 2014.
Ketiga,
antidemokrasi. Dalam berbagai kesempatan Ical selalu mengingatkan kadernya
tentang transformasi Golkar dari partai massa menjadi partai kader. Ide-ide,
gagasan, dan inovasi merupakan jantung dari partai kader. Itu berarti
penguasaan ide-ide, gagasan, dan inovasi yang memadai seharusnya menjadi
determinasi bagi proses rekrutmen kader.
Akan tetapi,
gagasan tersebut hanya indah di atas kertas. Rekrutmen kader justru masih
tradisional, feodalistik, dan transaksional. Faktor senioritas, kedekatan
dengan elite, dan kepemilikan kapital justru terus mendominasi. Suksesi politik
di partai itu dirasakan semakin mahal. Akibatnya, kader Golkar yang sukses
meraih posisi strategis ditanggapi sinis karena semata-mata didukung faktor
kapital tetapi miskin secara intelektual dan moral.
Sikap antidemokrasi
yang didemonstrasikan Ical semakin telanjang semenjak Pemilihan Presiden 2014.
Kader-kader yang mendukung Jokowi-JK seperti Nusron Wahid, Agus Gumiwang
Kartasasmita, dan Poempida Hidayatullah dipecat.Ical juga terkesan semena-mena
dan antidialog dengan memberhentikan kader-kader yang bersikap kritis seperti
Yoris Raweyai (dipecat dari ketua AMPG) dan Zainuddin Amali, Ketua DPD Jatim
(karena mendukung pilkada langsung). Sikap antidemokrasi dan main pecat
tersebut kini menyandera semua DPD I dan DPD II sehingga dengan terpaksa
memberikan surat pernyataan dukungan bagi pencalonan kembali Ical.
Stabilisator KMP?
Hal yang
mengejutkan ialah akhir-akhir ini muncul penilaian bahwa Ical sukses karena
tampil sebagai pemimpin di Koalisi Merah Putih (KMP). Itu jelas ironi karena
soal tersebut tidak tercantum dalam catur sukses. `Keberhasilan' di KMP jelas
tidak memadai untuk mengompensasi kegagalan Pemilu 2014. Sama sekali tidak ada
urgensi untuk menjaga stabilitas KMP sebab tidak memiliki dampak signifikan
bagi cita-cita kemenangan Golkar di masa depan.
Pertama, persepsi
publik tentang KMP amat negatif. Sulit diingkari bahwa KMP tampil sebagai
antagonis terhadap Jokowi-JK. Hal itu jelas terlihat dari manuver dan perilaku
politik KMP yang terkesan kurang sportif sehingga enggan memberikan pengakuan
terhadap Jokowi-JK. Kalau pun kemudian elite KMP seperti Prabowo Subianto,
Hatta Rajasa, dan Ical bertemu dengan Jokowi-JK, semangat tersebut belum
ditindaklanjuti kader-kader KMP di Senayan. Ambisi sapu bersih untuk
posisi-posisi strategis di parlemen ialah wujud dari antagonisme tersebut.
Kedua, pilihan
politik rakyat tidak ditentukan kemampuan mendominasi posisi-posisi strategis
di Senayan. Apalagi rakyat terlanjur sinis dengan debat-debat parlemen yang
lebih digerakkan nafsu kekuasaan ketimbang ekspresi kepedulian terhadap
perbaikan nasib rakyat. Itu berarti, tampilnya Ical sebagai pemimpin sekaligus
stabilisator KMP jelas tidak berkorelasi positif dengan upaya perbaikan citra
Golkar sebagai kekuatan politik yang senantiasa terlibat langsung dan berkarya
secara konkret untuk rakyat. Mudah dipahami jika banyak pihak khawatir dengan
nasib Golkar apabila kembali dipimpin Ical.
Sumber:
Media Indonesia, 27 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!