Oleh Fransisca Ayu Kumalasari
Alumnus Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
UGM
INSTITUSI kepolisian, khususnya polisi wanita (polwan),
hari-hari ini diselimuti isu tak sedap terkait pemberlakuan tes keperawanan bagi
calon peserta tes polwan. Tes itu wajib diberlakukan dalam seleksi penerimaan
polwan dengan alasan untuk menjaga kredibilitas dan kehormatan kepolisian.
Menurut pengakuan sejumlah peserta perempuan yang mengikuti tes masuk polisi
tahun lalu –sebagaimana dirilis kelompok pemerhati HAM, Human Rights Watch
(HRW)– mereka dipaksa untuk diperiksa selaput daranya. Mereka digiring masuk ke
sebuah ruangan satu per satu untuk dites dalam keadaan bugil di hadapan sesama
calon polwan lainnya (sekitar 20 orang). Seorang dokter perempuan kemudian
memeriksa mereka dengan cara memasukkan jarinya yang terbungkus sarung tangan
ke dalam vagina mereka.
Hal tersebut
menyulut kemarahan kaum pemerhati perempuan dan masyarakat, termasuk social
media dan media internasional. Majalah Time dari Amerika Serikat dan surat
kabar Daily Mail Inggris Selasa (18/11), misalnya, mengulasnya dengan menyebut
tes tersebut sebagai sesuatu yang menyakitkan dan membuat trauma bagi kaum hawa
karena sangat diskriminatif dan merendahkan perempuan. Walaupun semua calon
polwan yang gagal tes keperawanan tidak sepenuhnya dikeluarkan dari Polri,
tetap saja mereka merasakan tes itu sebagai sebuah perilaku teror-psikologis
yang menyakitkan dan menyisakan luka traumatis bagi tubuh dan perasaan hingga
memengaruhi kondisi psikologis mereka ketika melaksanakan tugas di masyarakat.
Kepala Divisi
Humas Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) Inspektur
Jenderal Polisi Ronny F. Sompie terang-terangan membantah praktik itu masih
dilakukan sekarang. Namun, kenyataannya, tes itu memang masih dilakukan hingga
kini sebagaimana juga terbukti dalam iklan pembukaan lowongan kepolisian
nasional dalam website resminya pada 5 November 2014 yang berbunyi, ”Sebagai
tes lanjutan fisik dan medis, perempuan yang ingin menjadi polwan harus
menjalani tes keperawanan. Ini dilakukan agar mereka yang ingin menjadi polwan
harus tetap perawan”. Jika tahun ini peserta ujian masuk polwan mencapai 7.000
perempuan dari seluruh provinsi, sejumlah itu pula hak-hak psikologis perempuan
akan dilukai lewat tameng uji virginitas.
Fenomena tes
keperawanan pernah juga mencuat tahun lalu, tepatnya di Kota Prabumulih. Dinas
Pendidikan (Dispendik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, merencanakan
kebijakan bahwa semua siswi sekolah di Prabumulih harus mengikuti tes
keperawanan sebagai respons terhadap maraknya kasus siswi sekolah yang berbuat
mesum, bahkan diduga melakoni praktik prostitusi. Namun, belakangan Kadispendik
Kota Prabumulih Rasyid menyangkal wacana tersebut. Dia berpendapat hanya
menyuarakan suara orang tua yang anaknya terkena dugaan prostitusi dan tak
terima saat anaknya dituduh tak perawan. Orang tua tersebut kemudian meminta
uji keperawanan untuk membuktikan anaknya perawan. Pertanyaannya, jika itu
hanya reaksi individu orang tua yang cemas terhadap anaknya, kenapa reaksi
tersebut harus dilembagakan dalam aturan formal yang bisa berimplikasi negatif
bagi siswa-siswa lainnya? Untunglah, setelah mendapat serangan dari kaum
pemerhati perempuan, praktisi pendidikan, dan masyarakat, wacana ”tes dua jari”
di Prabumulih tersebut menguap dengan sendirinya.
Para polwan
yang dikenai tes keperawanan menjadi simbol masih kuatnya struktur kekerasan
yang dilahirkan oleh negara untuk melanggengkan diskriminasi terhadap
perempuan. Virginitas dijadikan semacam area sakral untuk mendemarkasi tubuh
perempuan secara sosial-politis melalui perlakuan-perlakuan yang berimpitan
dengan masa depannya, khususnya dalam proses pencarian kerja dan aktualisasi
dirinya sehari-hari. Itu merupakan upaya pembatasan aksesibilitas ruang publik
secara sistematis bagi para perempuan yang dilakukan oleh negara.
Debatable
Padahal,
berbicara soal virginitas, ia adalah sesuatu konsep yang masih debatable sampai
sekarang, baik di kalangan praktisi kesehatan, ahli kesehatan reproduksi,
maupun dalam perspektif psikologis perempuan. Tes keperawanan, bagaimanapun,
sangat sulit untuk dilakukan karena terlebih dahulu kita harus menyepakati
bersama definisi apa yang dimaksud sebagai virginitas. Apakah perawan diartikan
tidak melakukan seks atau tidak robeknya selaput dara. Lalu, bagaimana dengan
perempuan yang tidak pernah sekali pun melakukan hubungan seksual namun selaput
daranya robek karena mengalami kecelakaan atau melakukan aktivitas berbahaya
tanpa disadari. Bahkan, menurut pakar obstetrik ginekologi dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), selaput dara perempuan memiliki bentuk
dan pori bervariasi. Ada yang bersepta-septa dan berlubang-lubang. Derajat
kelembutan dan fleksibilitasnya pun berbeda-beda. Karena bentuknya selaput,
pendarahan pada bagian itu biasanya sedikit. Itulah yang mengakibatkan keluar
darah pada saat hubungan seks pertama dilakukan. Tetapi, fenomena tersebut tak
mesti dialami semua perempuan. Jika seorang perempuan memiliki selaput dara yang
sangat tipis, mungkin ia tak akan mengalami pendarahan sama sekali saat
melakukan hubungan seks kali pertama.
Maka, jika
definisi virginitas adalah pernah atau tidak pernah melakukan hubungan seksual,
tes keperawanan tersebut sama sekali tak ada hubungannya dengan selaput dara.
Inilah logika sempit dan miskin kecerdasan yang coba dibangun untuk sengaja
melanggengkan budaya kecurigaan yang masif terhadap eksistensi kaum perempuan.
Bisa dibayangkan bagaimana jika tes keperawanan tersebut terus dilegalkan pada
seseorang untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan atau untuk
mendapatkan pekerjaan. Betapa ekses yang dirasakan perempuan tersebut akan
bertubi-tubi jadinya, mulai kehilangan hak untuk memiliki masa depan
(pendidikan dan pekerjaan), hak untuk memperoleh recognizing (pengakuan
sosial), hingga hak untuk menjalani interaksi sosial secara egaliter dan
nondiskriminatif.
Karena itu,
kita menyerukan agar tes keperawanan tersebut dihentikan. Selain mencederai
harkat dan martabat wanita, itu hanya akan menegaskan suatu kebencian
struktural negara terhadap perempuan yang dibungkus lewat anjuran moral picisan
yang membodohkan.
Sumber: Jawa Pos, 24
November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!