Headlines News :
Home » » Mengubah Arah Mitigasi Covid-19

Mengubah Arah Mitigasi Covid-19

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, March 13, 2020 | 1:42 PM

Oleh Anis Hidayah
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE

JAUH hari sebelum pengumuman Presiden Joko Widodo, Senin (2/3), tentang dua pasien positif covid-19, sebenarnya telah ada 15 WNI yang mayoritas pekerja migran Indonesia (PMI) terpapar virus itu di beberapa negara.

Awal Februari lalu, seorang PMI di Singapura dinyatakan terinfeksi korona karena tertular majikannya. Saat ini PMI tersebut telah dinyatakan negatif setelah dirawat secara intensif di Singapura.

Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Taiwan juga merilis seorang PMI yang divonis positif covid-19 pada 16 Februari lalu. Sementara itu, sembilan WNI lainnya juga dinyatakan positif, yang merupakan pekerja migran kru kapal pesiar Diamond Princess di Jepang.

Ironisnya, di awal merebaknya isu korona, muncul stigma PMI sebagai pembawa virusnya. Hingga di beberapa negara tujuan, seperti Hong Kong dan Taiwan, sempat mencuat isu larangan PMI untuk keluar rumah. Anehnya, larangan itu tidak berlaku bagi majikannya. Jelas, aturan itu sangat diskriminatif dan bias kelas sehingga protes pun banyak disampaikan. Padahal, kasus di Singapura jelas menunjukkan PMI tertular majikannya. Ancaman bahaya korona menambah deretan panjang kerentanan PMI saat ini selain ancaman transnational crime, radikalisme.

Menurut WHO, sebaran virus covid-19 sudah menjadi darurat kesehatan global. Maka itu, sudah sepatutnya semua negara menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang efektif, tak kecuali Indonesia. Sayangnya, alih-alih fokus pada penanganan pasien, panggung media nasional justru disesaki dengan pernyataan pejabat publik yang kurang memiliki empati.

Pejabat tampak dengan mudahnya membeber identitas pasien, tanpa mempertimbangkan wilayah privasinya. Padahal, yang dibutuhkan ialah pernyataan yang menenangkan dan edukatif. Dalam waktu yang bersamaan, media seakan berlomba-lomba memberitakan identitas pasien dan mengabaikan hak-hak pasien yang mesti tetap dilindungi dan dijaga martabatnya.

Rumah dan profesi mereka yang tak terkait dengan virus itu pun sengaja dikait-kaitkan. Hal-hal seperti ini mestinya dapat diantisipasi oleh pemerintah.

Hingga kemarin, tercatat ada 34 pasien di Indonesia dan 15 warga negara Indonesia, termasuk PMI yang positif covid-19 di luar negeri. WHO mencatat covid-19 sudah melanda lebih dari 100 negara dengan 101.197 orang terinfeksi, yang mana 80.813 orang di Tiongkok, Korea Selatan 6.767 orang, Italia 4.636 orang, Iran 4.747 orang, dan 147 orang di Singapura.

Dari jumlah tersebut, 57.000 pasien telah dinyatakan sembuh.

Terus bertambahnya jumlah pasien yang terinfeksi menuntut pemerintah Indonesia untuk membangun jalan keluar yang melindungi pasien. Bukan sebaliknya, menambah beban psikologi mereka yang harus berjuang melawan virus di tubuhnya. Belajar dari penanganan pasien 01 dan 02, serta evakuasi WNI dan pekerja migran Indonesia di luar negeri, langkah-langkah mitigasi propasien dan tidak memicu kepanikan sosial mesti segera dapat diwujudkan.

Evaluasi dan pembelajaran

Penanganan terhadap pasien 01 dan 02 memperlihatkan kepada kita semua bahwa pemerintah Indonesia masih gagap dan kedodoran. Catatan evaluatif ini penting untuk pembelajaran bersama.

Pertama, Presiden pada saat mengumumkan pasien positif tidak sekaligus mengumumkan larangan bagi masyarakat untuk menyebarkan data pribadi pasien sebagai langkah antisipatif bocornya data pribadi pasien yang berujung pada stigma dan penghakiman.

Kedua, protokol informasi antara pemerintah pusat dan daerah tidak terkoordinasi dan tidak sinergis. Tak jarang, pernyataan mereka bahkan bertentangan dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Pengumuman tentang pasien baru, baik yang suspect maupun yang positif, sering kali mengindahkan perasaan pasien, keluarganya, dan lingkungan tempat tinggalnya.

Ketiga, membanjirnya hoaks tentang covid-19 tidak diimbangi dengan distribusi informasi yang akurat yang mengedukasi masyarakat.

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat setidaknya ada 30% berita hoaks yang beredar dalam dua bulan terakhir terkait isu covid-19.

Keempat, tidak ada mitigasi kerugian yang dialami warga dan lingkungan tempat tinggal pasien, seperti yang terjadi di perumahan tempat tinggal pasien. Pascapengumuman, semua warga perumahan tempat tinggal pasien seolah dianggap positif korona.

Informasi yang yang liar tentang seluruh warga perumahan akan diisolasi dan dievakuasi merebak kencang. Hal tersebut berdampak secara sosial dan ekonomi bagi warga. Penolakan jasa transportasi daring dari dan menuju perumahan dialami banyak warga. Tidak sedikit warga yang dirumahkan kantornya karena ketakutan yang berlebihan, termasuk di perusahaan-perusahaan BUMN.

Karena itu, keberhasilan Kementerian Luar Negeri dalam melakukan mitigasi warga negara Indonesia dan pekerja migran Indonesia perlu diapresiasi.

Evakuasi jilid I terhadap 237 WNI dari Wuhan. Evakuasi jilid II terhadap 188 warga negara Indonesia kru kapal pesiar World Dream pada 26 Februari 2020. Juga, evakuasi jilid III kapal Diamond Princess sebanyak 69 orang yang penuh tantangan, tapi dapat dilakukan dengan baik.

Sementara itu, terhadap 12 pasien warga negara Indonesia dan pekerja migran Indonesia yang positif, 9 WNI di Jepang, 2 WNI di Singapura, dan 1 WNI di Taiwan dilakukan kerja sama dengan pemerintah setempat. Enam orang di antara mereka sudah dinyatakan negatif.

Mitigasi yang manusiawi

Belajar dari kegagapan ini, penting kiranya upaya perbaikan penanganan covid-19 yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan daripada protokol-protokol normatif yang tidak menjawab masalah. Pemerintah mesti fokus pada penanganan dan pemulihan pasien, termasuk psikologi pasien, keluarga, dan tempat tinggalnya.

Manajemen informasi mesti dikelola satu pintu dan sesering mungkin menyebarkan informasi tentang fakta-fakta korona yang sesungguhnya guna mengedukasi publik secara reguler. Intensitas penyebaran informasi ini sekaligus sebagai kunci penangkal hoaks yang lajunya kencang di masyarakat.

Untuk menekan kepanikan publik, pejabat perlu membuat penyataan-pernyataan yang menunjukkan empati pada korban, edukatif, dan tidak menghakimi. Kesadaran bersama penting dibangun, saling asih, asah, dan asuh untuk menghadapi korona menjadi relevan untuk jadi pegangan bersama. Karena itu, kondisi saling dukung dapat tercipta. Yang tak kalah pentingnya ialah kesiagaan rumah sakit yang dipersiapkan pemerintah untuk penanganan korona, baik di pusat maupun daerah, harus dipastikan.

Kembali pada data WHO yang menyatakan bahwa 50% lebih pasien di seluruh dunia dapat disembuhkan menunjukkan bahwa kesungguhan penanganan pasien menjadi faktor terpenting. Call center rumah sakit juga harus dipastikan dapat dihubungi masyarakat. Juga, tentu saja data tentang rumah sakit mana saja yang menjadi rujukan untuk penanganan pasien mesti menjadi pengetahuan publik.

Untuk perlindungan PMI dari bahaya korona, penting kiranya edukasi tentang virus ini disampaikan bagi mereka yang akan berangkat sebagai langkah protektif dan antisipatif. Selain itu, informasi tentang sebaran virus korona di beberapa negara tujuan juga perlu menjadi bagian dari informasi yang wajib disampaikan sebelum berangkat.

Benar, virus ini dapat menyerang siapa saja, tapi jangan sampai panik dan ketakutan lebih membawa derita. Setidaknya, kita bisa belajar dari Tom Hank yang pada 12 Februari lalu memublikasikan dirinya yang positif covid-19 melalui media sosialnya. Tetap tenang dan segera mengikuti langkah-langkah medis untuk upaya penyembuhannya. 
Sumber: Media Indonesia, 13 Maret 2020
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger