Oleh Anis Hidayah
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE
JAUH
hari sebelum pengumuman Presiden Joko Widodo, Senin (2/3), tentang dua pasien
positif covid-19, sebenarnya telah ada 15 WNI yang mayoritas pekerja migran
Indonesia (PMI) terpapar virus itu di beberapa negara.
Awal Februari lalu,
seorang PMI di Singapura dinyatakan terinfeksi korona karena tertular majikannya.
Saat ini PMI tersebut telah dinyatakan negatif setelah dirawat secara intensif
di Singapura.
Kementerian
Kesehatan dan Kesejahteraan Taiwan juga merilis seorang PMI yang divonis
positif covid-19 pada 16 Februari lalu. Sementara itu, sembilan WNI lainnya
juga dinyatakan positif, yang merupakan pekerja migran kru kapal pesiar Diamond
Princess di Jepang.
Ironisnya, di awal
merebaknya isu korona, muncul stigma PMI sebagai pembawa virusnya. Hingga di
beberapa negara tujuan, seperti Hong Kong dan Taiwan, sempat mencuat isu
larangan PMI untuk keluar rumah. Anehnya, larangan itu tidak berlaku bagi
majikannya. Jelas, aturan itu sangat diskriminatif dan bias kelas sehingga
protes pun banyak disampaikan. Padahal, kasus di Singapura jelas menunjukkan
PMI tertular majikannya. Ancaman bahaya korona menambah deretan panjang
kerentanan PMI saat ini selain ancaman transnational crime, radikalisme.
Menurut WHO,
sebaran virus covid-19 sudah menjadi darurat kesehatan global. Maka itu, sudah
sepatutnya semua negara menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang efektif, tak
kecuali Indonesia. Sayangnya, alih-alih fokus pada penanganan pasien, panggung
media nasional justru disesaki dengan pernyataan pejabat publik yang kurang
memiliki empati.
Pejabat tampak
dengan mudahnya membeber identitas pasien, tanpa mempertimbangkan wilayah
privasinya. Padahal, yang dibutuhkan ialah pernyataan yang menenangkan dan
edukatif. Dalam waktu yang bersamaan, media seakan berlomba-lomba memberitakan
identitas pasien dan mengabaikan hak-hak pasien yang mesti tetap dilindungi dan
dijaga martabatnya.
Rumah dan profesi
mereka yang tak terkait dengan virus itu pun sengaja dikait-kaitkan. Hal-hal
seperti ini mestinya dapat diantisipasi oleh pemerintah.
Hingga kemarin,
tercatat ada 34 pasien di Indonesia dan 15 warga negara Indonesia, termasuk PMI
yang positif covid-19 di luar negeri. WHO mencatat covid-19 sudah melanda lebih
dari 100 negara dengan 101.197 orang terinfeksi, yang mana 80.813 orang di
Tiongkok, Korea Selatan 6.767 orang, Italia 4.636 orang, Iran 4.747 orang, dan
147 orang di Singapura.
Dari jumlah
tersebut, 57.000 pasien telah dinyatakan sembuh.
Terus bertambahnya
jumlah pasien yang terinfeksi menuntut pemerintah Indonesia untuk membangun
jalan keluar yang melindungi pasien. Bukan sebaliknya, menambah beban psikologi
mereka yang harus berjuang melawan virus di tubuhnya. Belajar dari penanganan pasien
01 dan 02, serta evakuasi WNI dan pekerja migran Indonesia di luar negeri,
langkah-langkah mitigasi propasien dan tidak memicu kepanikan sosial mesti
segera dapat diwujudkan.
Evaluasi dan
pembelajaran
Penanganan terhadap
pasien 01 dan 02 memperlihatkan kepada kita semua bahwa pemerintah Indonesia
masih gagap dan kedodoran. Catatan evaluatif ini penting untuk pembelajaran
bersama.
Pertama, Presiden
pada saat mengumumkan pasien positif tidak sekaligus mengumumkan larangan bagi
masyarakat untuk menyebarkan data pribadi pasien sebagai langkah antisipatif
bocornya data pribadi pasien yang berujung pada stigma dan penghakiman.
Kedua, protokol
informasi antara pemerintah pusat dan daerah tidak terkoordinasi dan tidak
sinergis. Tak jarang, pernyataan mereka bahkan bertentangan dan menimbulkan
keresahan di masyarakat. Pengumuman tentang pasien baru, baik yang suspect
maupun yang positif, sering kali mengindahkan perasaan pasien, keluarganya, dan
lingkungan tempat tinggalnya.
Ketiga,
membanjirnya hoaks tentang covid-19 tidak diimbangi dengan distribusi informasi
yang akurat yang mengedukasi masyarakat.
Masyarakat Anti
Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat setidaknya ada 30% berita hoaks yang
beredar dalam dua bulan terakhir terkait isu covid-19.
Keempat, tidak ada
mitigasi kerugian yang dialami warga dan lingkungan tempat tinggal pasien,
seperti yang terjadi di perumahan tempat tinggal pasien. Pascapengumuman, semua
warga perumahan tempat tinggal pasien seolah dianggap positif korona.
Informasi yang yang
liar tentang seluruh warga perumahan akan diisolasi dan dievakuasi merebak
kencang. Hal tersebut berdampak secara sosial dan ekonomi bagi warga. Penolakan
jasa transportasi daring dari dan menuju perumahan dialami banyak warga. Tidak
sedikit warga yang dirumahkan kantornya karena ketakutan yang berlebihan,
termasuk di perusahaan-perusahaan BUMN.
Karena itu,
keberhasilan Kementerian Luar Negeri dalam melakukan mitigasi warga negara
Indonesia dan pekerja migran Indonesia perlu diapresiasi.
Evakuasi jilid I
terhadap 237 WNI dari Wuhan. Evakuasi jilid II terhadap 188 warga negara
Indonesia kru kapal pesiar World Dream pada 26 Februari 2020. Juga, evakuasi
jilid III kapal Diamond Princess sebanyak 69 orang yang penuh tantangan, tapi
dapat dilakukan dengan baik.
Sementara itu,
terhadap 12 pasien warga negara Indonesia dan pekerja migran Indonesia yang
positif, 9 WNI di Jepang, 2 WNI di Singapura, dan 1 WNI di Taiwan dilakukan
kerja sama dengan pemerintah setempat. Enam orang di antara mereka sudah
dinyatakan negatif.
Mitigasi yang
manusiawi
Belajar dari
kegagapan ini, penting kiranya upaya perbaikan penanganan covid-19 yang lebih
mengedepankan aspek kemanusiaan daripada protokol-protokol normatif yang tidak
menjawab masalah. Pemerintah mesti fokus pada penanganan dan pemulihan pasien,
termasuk psikologi pasien, keluarga, dan tempat tinggalnya.
Manajemen informasi
mesti dikelola satu pintu dan sesering mungkin menyebarkan informasi tentang
fakta-fakta korona yang sesungguhnya guna mengedukasi publik secara reguler.
Intensitas penyebaran informasi ini sekaligus sebagai kunci penangkal hoaks
yang lajunya kencang di masyarakat.
Untuk menekan
kepanikan publik, pejabat perlu membuat penyataan-pernyataan yang menunjukkan
empati pada korban, edukatif, dan tidak menghakimi. Kesadaran bersama penting dibangun,
saling asih, asah, dan asuh untuk menghadapi korona menjadi relevan untuk jadi
pegangan bersama. Karena itu, kondisi saling dukung dapat tercipta. Yang tak
kalah pentingnya ialah kesiagaan rumah sakit yang dipersiapkan pemerintah untuk
penanganan korona, baik di pusat maupun daerah, harus dipastikan.
Kembali pada data
WHO yang menyatakan bahwa 50% lebih pasien di seluruh dunia dapat disembuhkan
menunjukkan bahwa kesungguhan penanganan pasien menjadi faktor terpenting. Call
center rumah sakit juga harus dipastikan dapat dihubungi masyarakat. Juga,
tentu saja data tentang rumah sakit mana saja yang menjadi rujukan untuk
penanganan pasien mesti menjadi pengetahuan publik.
Untuk perlindungan
PMI dari bahaya korona, penting kiranya edukasi tentang virus ini disampaikan
bagi mereka yang akan berangkat sebagai langkah protektif dan antisipatif.
Selain itu, informasi tentang sebaran virus korona di beberapa negara tujuan
juga perlu menjadi bagian dari informasi yang wajib disampaikan sebelum
berangkat.
Benar, virus ini
dapat menyerang siapa saja, tapi jangan sampai panik dan ketakutan lebih
membawa derita. Setidaknya, kita bisa belajar dari Tom Hank yang pada 12
Februari lalu memublikasikan dirinya yang positif covid-19 melalui media
sosialnya. Tetap tenang dan segera mengikuti langkah-langkah medis untuk upaya
penyembuhannya.
Sumber: Media Indonesia, 13 Maret 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!