Sikap pemerintah daerah menganggap sepele protes masyarakat di wilayah yang akan dijadikan lokasi pertambangan mengindikasikan Pemerintah Kabupaten Lembata bersikap oportunis. Pemerintah menghamba kepada investor PT Merukh Enterprises karena bisa mendapat keuntungan daripada membela kepentingan rakyat untuk memenuhi kebutuhan berkelanjutan.
Demikian disampaikan Juru bicara Forum Tambang Lembata, Pater Marsel Vande Raring, SVD, dalam jumpa pers di Sekretariat Forum Pemuda Lembata (Fordata), Kota Baru, Kelurahan Lewoleba Tengah, Jumat (16/2/2007).
Hadir antara lain Ketua Fordata, Piter Bala Wukak, S.H, Anton Liman dari Lembata Center, dan anggota DPRD Lembata, Ahmad Bumi, S.H.
Pater Vande mengatakan, kebijakan pemerintah memberikan izin eksplorasi kepada investor Grup Merukh Enterprises memperlihatkan pemerintah mengobral murah Lembata demi mendapatkan uang. Ujung dari kebijakan itu, Lembata akan bangkrut.
Kerusakan lingkungan tak terelakkan dan muncul kemiskinan, kemelaratan dan menjadi sarang pelanggaran hak asasi manusia masyarakat yang satu terhadap masyarakat yang lain.
Ditegaskan, demonstrasi penolakan warga Leragere, Kecamatan Lebatukan dan akan menyusul warga Kedang di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri bukan terutama mau menjelek-jelekkan pemerintah. Aksi demo itu merupakan seruan moral masyarakat yang telah menyadari hak-haknya.
Penolakan warga, kata Pater Vande, karena mereka menyadari suatu saat tidak bisa menikmati lagi air dan udara bersih, tanah yang subur tempat mereka hidup. Karena itu, perjuangan melestarikan lingkungan hidup harus dilakukan untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
"Apakah pemerintah harus didorong terus melanggengkan salah urus daerah ini? Bukankah Bupati Lembata telah menyerahkan surat keputusan sementara hak pengelolaan kawasan hutan lindung di Leragere kepada warga setempat karena prestasi yang dilakukan Yaspensel di tingkat nasional? Tetapi mengapa SK hutan lindung menjadi SK tambang? Bagi saya, pemerintah oportunis," kata Pater Vande.
Ditegaskan, penolakan warga Leragere karena sejak awal mereka tak dilibatkan merencanakan usaha tambang itu. Masyarakat marah, dikhianati pemerintah yang dianggapnya bodoh dan mengakui kemauan pemerintah.
"Kenapa sejak proses awal mereka tak dilibatkan, apakah karena mereka di desa orang bodoh?" tanya Pater Vande.
Karena itu ia bersama pengurus LSM menyadarkan masyarakat akan hak-haknya supaya tidak diperkosa oleh kebijakan dan salah urus. Bukan memprovokasi masyarakat menentang pemerintah.
Piter Bala Wukak menambahkan, pemerintah sejak awal tidak transparan mengurusi rencana investasi pertambangan. DPRD setempat juga tak pernah disampaikan, apalagi rakyat yang tinggal di pedesaan, meski proyek ini akan menimbulkan risiko bagi masyarakat itu.
"Siapa yang harus tanggung jawab kalau ada risiko berat dari usaha pertambangan ini? Investor akan cuci tangan, pemerintah bela diri, tapi rakyat terima akibatnya," kata Pieter.
Ahmad Bumi mengatakan, DPRD Lembata belum pernah membahas di paripurna Dewan mengenai rencana investasi pertambangan, meski pimpinan fraksi dan komisi pernah diundang investor PT Merukh ke Jakarta membahas rencana ini.
Ia menyarankan pemerintah maupun investor berlaku jujur dan terbuka membicarakan dengan masyarakat karena dampak dan keuntungan akan dirasakan kedua pihak.
Ia justru mempertanyakan keseriusan Merukh Enterprises menggarap usaha ini karena di tahun 1986 PT Nusa Lontar Maining sudah angkat kaki dari Kedang. Deposit tambang tidak memiliki nilai ekonomis untuk dieksplorasi sehingga mengembalikan izinnya ke Departemen Pertambangan dan Energi.
Tidak ekonomis
SEBELUMNYA pelaku penambangan (geologis), Gerry Mbatemooy, kepada Pos Kupang di Kupang, Minggu (11/2/2007), menjelaskan, pihaknya sudah mempresentasikan masalah penambangan kepada unsur berkompeten dari Kabupaten Lembata dalam sebuah forum seminar di Kupang, Sabtu (10/2/2007).
“Saya sudah menjelaskan kepada semua pihak terkait dalam forum seminar itu bahwa tidak ekonomis untuk penambangan di Lembata karena belum diketahui deposit kandungan mineralnya. Kasarnya tidak ada emas di sana. Kalaupun ada, nilainya tidak ekonomis dan investor mana yang mau melakukan penambangan jika hasilnya tidak ekonomis?” kata Gerry didampingi Djanu Djaya Manafe, anggota DPRD Rote Ndao.
Ia menjelaskan, apa yang dilakukan pihak investor di Lembata saat ini baru sebatas penyelidikan. Hasilnya baru bisa diketahui 10 tahun ke depan. Itu berarti saat ini masih dalam penyelidikan.
“Saya ini ahli bidang pertambangan dan sudah lama bergelut di bidang penambangan. Saya pernah menjadi supervisor perusa-han penambangan terbesar. Jadi di Lembata, siapa yang investasi tanpa diketahui isiperutnya?” kata Gerry yang mengaku akan kembali melanjutkan usaha penambangan tembaga di Pulau Wetar-Maluku setelah sekian tahun melakukan eksplorasi di wilayah itu. (ius/fen)
Demikian disampaikan Juru bicara Forum Tambang Lembata, Pater Marsel Vande Raring, SVD, dalam jumpa pers di Sekretariat Forum Pemuda Lembata (Fordata), Kota Baru, Kelurahan Lewoleba Tengah, Jumat (16/2/2007).
Hadir antara lain Ketua Fordata, Piter Bala Wukak, S.H, Anton Liman dari Lembata Center, dan anggota DPRD Lembata, Ahmad Bumi, S.H.
Pater Vande mengatakan, kebijakan pemerintah memberikan izin eksplorasi kepada investor Grup Merukh Enterprises memperlihatkan pemerintah mengobral murah Lembata demi mendapatkan uang. Ujung dari kebijakan itu, Lembata akan bangkrut.
Kerusakan lingkungan tak terelakkan dan muncul kemiskinan, kemelaratan dan menjadi sarang pelanggaran hak asasi manusia masyarakat yang satu terhadap masyarakat yang lain.
Ditegaskan, demonstrasi penolakan warga Leragere, Kecamatan Lebatukan dan akan menyusul warga Kedang di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri bukan terutama mau menjelek-jelekkan pemerintah. Aksi demo itu merupakan seruan moral masyarakat yang telah menyadari hak-haknya.
Penolakan warga, kata Pater Vande, karena mereka menyadari suatu saat tidak bisa menikmati lagi air dan udara bersih, tanah yang subur tempat mereka hidup. Karena itu, perjuangan melestarikan lingkungan hidup harus dilakukan untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
"Apakah pemerintah harus didorong terus melanggengkan salah urus daerah ini? Bukankah Bupati Lembata telah menyerahkan surat keputusan sementara hak pengelolaan kawasan hutan lindung di Leragere kepada warga setempat karena prestasi yang dilakukan Yaspensel di tingkat nasional? Tetapi mengapa SK hutan lindung menjadi SK tambang? Bagi saya, pemerintah oportunis," kata Pater Vande.
Ditegaskan, penolakan warga Leragere karena sejak awal mereka tak dilibatkan merencanakan usaha tambang itu. Masyarakat marah, dikhianati pemerintah yang dianggapnya bodoh dan mengakui kemauan pemerintah.
"Kenapa sejak proses awal mereka tak dilibatkan, apakah karena mereka di desa orang bodoh?" tanya Pater Vande.
Karena itu ia bersama pengurus LSM menyadarkan masyarakat akan hak-haknya supaya tidak diperkosa oleh kebijakan dan salah urus. Bukan memprovokasi masyarakat menentang pemerintah.
Piter Bala Wukak menambahkan, pemerintah sejak awal tidak transparan mengurusi rencana investasi pertambangan. DPRD setempat juga tak pernah disampaikan, apalagi rakyat yang tinggal di pedesaan, meski proyek ini akan menimbulkan risiko bagi masyarakat itu.
"Siapa yang harus tanggung jawab kalau ada risiko berat dari usaha pertambangan ini? Investor akan cuci tangan, pemerintah bela diri, tapi rakyat terima akibatnya," kata Pieter.
Ahmad Bumi mengatakan, DPRD Lembata belum pernah membahas di paripurna Dewan mengenai rencana investasi pertambangan, meski pimpinan fraksi dan komisi pernah diundang investor PT Merukh ke Jakarta membahas rencana ini.
Ia menyarankan pemerintah maupun investor berlaku jujur dan terbuka membicarakan dengan masyarakat karena dampak dan keuntungan akan dirasakan kedua pihak.
Ia justru mempertanyakan keseriusan Merukh Enterprises menggarap usaha ini karena di tahun 1986 PT Nusa Lontar Maining sudah angkat kaki dari Kedang. Deposit tambang tidak memiliki nilai ekonomis untuk dieksplorasi sehingga mengembalikan izinnya ke Departemen Pertambangan dan Energi.
Tidak ekonomis
SEBELUMNYA pelaku penambangan (geologis), Gerry Mbatemooy, kepada Pos Kupang di Kupang, Minggu (11/2/2007), menjelaskan, pihaknya sudah mempresentasikan masalah penambangan kepada unsur berkompeten dari Kabupaten Lembata dalam sebuah forum seminar di Kupang, Sabtu (10/2/2007).
“Saya sudah menjelaskan kepada semua pihak terkait dalam forum seminar itu bahwa tidak ekonomis untuk penambangan di Lembata karena belum diketahui deposit kandungan mineralnya. Kasarnya tidak ada emas di sana. Kalaupun ada, nilainya tidak ekonomis dan investor mana yang mau melakukan penambangan jika hasilnya tidak ekonomis?” kata Gerry didampingi Djanu Djaya Manafe, anggota DPRD Rote Ndao.
Ia menjelaskan, apa yang dilakukan pihak investor di Lembata saat ini baru sebatas penyelidikan. Hasilnya baru bisa diketahui 10 tahun ke depan. Itu berarti saat ini masih dalam penyelidikan.
“Saya ini ahli bidang pertambangan dan sudah lama bergelut di bidang penambangan. Saya pernah menjadi supervisor perusa-han penambangan terbesar. Jadi di Lembata, siapa yang investasi tanpa diketahui isiperutnya?” kata Gerry yang mengaku akan kembali melanjutkan usaha penambangan tembaga di Pulau Wetar-Maluku setelah sekian tahun melakukan eksplorasi di wilayah itu. (ius/fen)
Sumber: Pos Kupang, 17 Februari 2007
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!