Sejak kecil ia membantu ibunya berjualan daging di
Pasar Legi, Solo.
Maklum. Hal ini dijalani karena
ia sadar ayahnya hanya seorang tukang cat. Pengalaman itu membuatnya terus bekerja keras dalam hidup hingga mengantarnya menjadi anggota DPR. “Saya bersyukur kepada Tuhan karena bisa
lulus SMA,” ujar Ignatius Mulyono.
MENJADI anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dengan sejumlah jabatan yang
dipercayakan, tak pernah terlintas dalam benak Ignatius Mulyono. Apalagi, suatu
saat akhirnya dipercayakan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk
menyalurkan aspirasi rakyat.
Saat masih di bangku kelas 4
sekolah dasar (SD) Pak Mulyono, begitu Mayjen TNI (Purn) Ignatius Mulyono
disapa, harus bergumul bersama ibunya di Pasar Legi Solo. Mulyono kecil ikut
membantu ibunya berjualan daging. “Saat itu saya sadar kehidupan ekonomi
keluarga kami sangat terbatas. Karena itu, saya harus membantu ibu jualan
daging di pasar untuk menambah pemasukan keluarga,” ujar Ignatius Mulyono.
Purnawirawan Angkatan Darat berpangkat Mayor Jenderal
(Mayjen) ini lahir di Kampung Jagalan, Kota Solo pada 17 April 1945. Ia
terlahir sebagai anak sulung dari delapan bersaudara pasangan Wiro Karyono dan
Dalyem. Sang ayah hanyalah seorang tukang cat tembok. Saban hari Karyo harus
menjauh dari rumah untuk mencari kerja. Kadang bisa mendapat kerjaan, kadang
pula harus puasa. Nah, praktis sebagian biaya keluarga bersandar pada ibunya.
Kondisi ini memaksa Dalyem putar otak. Ibu tua ini
terjun langsung di Pasar Legi menjual daging yang diambil dari pedagang besar.
Mulyono kecil pun tak mau ketinggalan. Padahal, ia baru duduk di bangku kelas 4
SD sehingga praktis pekerjaan ini tak lebih sebagai kegiatan yang mengasyikkan
yang haris ia nikmati. Bahkan, kerjaan itu ia geluti sembari menyelesaikan
sekolahnya di SD Jagalan, SMP Arjuna, hingga SMA Xeverius Solo.
Mulyono menceritakan, setiap jam lima pagi ia
berangkat bersama ibunya ke pasar sebelum tiba di sekolah. Di pasar, ia
menurunkan dagangannya. Setelah beres, ia mencium tangan ibunya dan berpamitan
melanjutkan perjalanan ke sekolah. Usai sekolah, bocah itu tak langsung menuju
rumahnya. Ia menyambangi ibunya di pasar dan ikut berjualan lagi. Nah,
rutinitas ini ia lakukan hingga duduk di bangku kelas 2 SMA Xaverius. Di tengah
perjuangan menata masa depan keluarganya, ibunda tercinta meninggal dunia.
“Pengalaman itu sempat membuat saya terpukul, tetapi
saya harus tegar. Apalagi, saya anak sulung yang harus ikut memperhatikan
adik-adik saya. Sejak ibu meninggal, kami berjuang sendiri. Saya sadar kalau
ayah hanya tukang cat dengan penghasilan sangat terbatas. Ya, ayah kelihatan
sulit membiayai kami semua. Belum lagi ditambah kakek dan nenek saya,” cerita
Mulyono.
Sepeningal ibu, pekerjaan itu diteruskan Mulyono demi
memenuhi kebutuhan keluarga. Seperti biasa, jam lima pagi ia bangun dan menuju
pasar. Ia mengambil barang-barang kebutuhan sehari-hari. Barang-barang itu
kemudian dijual lagi di warung kecil di rumahnya. Ia merasa bersyukur karena
dengan kios kecil itu dapat membantu hingga lulus SMA Xaverius tahun 1964.
Selepas SMA Xaverius,
Mulyono tetap bertekad melanjutkan studi hingga perguruan tinggi (PT). Ia dan
keluarganya juga tetap berjualan di rumahnya. Namun, saat itu ada kesempatan
testing wajib militer (wamil) untuk tugas operasi dwikora menghadapi Malaysia.
Pemuda Ignatius Mulyono langsung mendaftarkan diri mengikuti testing. Ia
akhirnya diterima dan masuk wamil tahun 1965. Ia kemudian diberangkatkan ke
Jawa Timur untuk menyelesaikan pendidikan Sekolah Calon Perwira (Secapa) selama
satu setengah tahun.
Pada Januari 1967, ia
mengikuti pendidikan AKABRI Magelang, Jawa Tengah Angkatan Pertama. Ia akhirnya
lulus tahun 1970 dan mendapat tugas di Batalyon Aranud Pekanbaru, Riau selama
sembilan tahun. Setelah itu, ia dipindahkan ke Jakarta dan bertugas di Resimen
Aranud sampai tahun 1983.
Sempat bertugas juga di Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara. Setelah itu, ia sempat bertugas di Pusaranud sebelum akhirnya melanjutkan sekolah di Seskoad Bandung selama setahun, 1984–1985.
Kepercayaan terus diberikan.
Usai dari Seskoad, tahun 1985–1987 ia ditugaskan sebagai Komandan Batalyon
(Danyon) Binjai, Sumatera Utara. Dari Danyon, ia dipercaya menjadi Komadan
Kodim Binjai. Selepas dari Binjai, ia kembali ke Jakarta dan dipercayakan
sebagai Kepala Resimen ARH-1.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Sesko ABRI dan menjadi dosen sekaligus Kepala Departemen Sesko ABRI. Pada 1994, ia menjadi Komandan Korem (Danrem) Salatiga sampai tahun 1995. Selepas dari Salatiga, ia dipindahkan ke Jakarta dan menjadi Perwira Pembantu III di Staf Operasi ABRI. Tahun 1997, mendapat kepercayan sebagai Perwira Tinggi (Pati) Ahli Kepala Staf Angkatan Darat Mabes ABRI.
Kariernya terus menanjak
sehingga pada 1998, ia dipercayakan sebagai Wakil Komandan Seskoad Bandung.
Selanjutnya, sejak 1998–2001 ia dipercayakan menjadi anggota DPR RI dari Fraksi
ABRI hingga pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen). Setelah pensiun
dari DPR, ia masih dipercaya sebagai staf ahli Komisi III selama periode
2001–2004.
Nah, sejak kelahiran Partai Demokrat yang dibidani koleganya, Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, ia bergabung dengan partai itu. Dewi fortuna ternyata memihak padanya. Mulyono akhirnya menuju Senayan setelah masyarakat Jawa Tengah mempercayakan aspirasinya. Kini, bekas pedagang daging Pasar Legi Solo itu duduk di Komisi II DPR RI.
Menikah
Saat bertugas di Pekanbaru,
Mulyono akhirnya melepas masa lajangnya. Ia mempersunting Maria Martina
Retnoningsi Handiastuti, putri pasangan FX Jeneng Supono dan F. Fatima. Supono,
yang juga seorang tentara Angkatan Darat (AD), berasal dari Solo. Mulyono dan
Retnoningsi saling menerimakan Sakramen Pernikahan di Gereja Katolik St Fatima
Pekanbaru.
Dari pernikahan itu, mereka
dikaruniai empat orang anak. Anak sulungnya, Cecilia Retno Purwandari, menikah
secara Katolik dengan Mayor (AD) Ari Arinta Sembiring dan dikarunia tiga anak.
Saat ini, menantunya itu menjadi salah satu perwira Indonesia yang
diperbantukan sebagai Staf Operasi Pasukan Perdamaian Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di Libanon.
Anak keduanya, Fransiskus
Xaverius Jarot Dwipoyono, saat ini masih kuliah di Fakultas Kedokteran
Universitas Maranatha. Anak ketiganya, Yustina Sari Sri Hastuti, menikah secara
Katolik. Kini memiliki satu anak dan akan lahir anak kedua dalam waktu dekat.
Sang suami kini bertugas di Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam). Tak lama
lagi, akan lahir anak kedua. Suaminya bertugas di Badan Pengawas Pasar Modal
(Bappepam). Sedangkan si bungsu, Margaretha Patria Kusumastuti, akan masuk
Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Bagi sesama
Ignatius Mulyono sadar,
bahwa perjalanan hidup sejak di Jagalan hingga kini menjadi anggota DPR RI
bukan perkara mudah. Ia mengaku, keseluruhan perjalanan hidup dan jabatan yang
dipercayakan tak lepas dari campur tangan Tuhan. Misalnya, posisi sebagai wakil
rakyat yang memiliki tiga tugas utama: legislasi, anggaran (budgetting),
dan pengawasan (controlling). Meski demikian, sebagai umat Katolik ia
mengaku bahwa sekecil apapun yang dilakukan dan apa saja profesinya maka jika
itu berguna bagi orang lain harus ia dilakukan.
“Sesuatu pekerjaan yang positif jika dilakukan sepenuh hati maka akan mendatangkan kebahagiaan. Apalagi, berguna bagi orang lain. Menurut saya, urusan berkarya pun seharusnya tidak boleh dibatasi usia dan tempat. Kita harus memanfaatkan semua potensi diri kita untuk berkarya bagi kepentingan banyak orang demi kemuliaan nama Tuhan,” ujar Mulyono.
Sebagai anggota DPR pun, ia
mengaku sudah menjadi kewajibannya untuk menggunakan tenaga dan pikiran
semaksimal mungkin. Dengan menjalankan tugas sebagai pembawa aspirasi ia sadar
bahwa di sana ia sudah bekerja memuliakan nama Tuhan. Dikatakan, di manapun
kita berada dan sebesar apapun kemampuan yang kita miliki, kita justru dituntut
bekerja keras melayani orang lain. Artinya, kita menjadi garam dan terang
dunia.
Mulyono mencontohkan, di
tengah kesibukan sebagai anggota DPR RI ia dipercayakan tugas lain di
parokinya, Keluarga Kudus Cibinong. Bukan sebagai pengurus Dewan Paroki. Ia
justru diminta kesediaan dan kepercayaan sebagai Ketua Pembangunan Gereja
Keluarga Kudus Cibinong. Ia mengaku tidak tahu mengapa umat mempercayakannya
sebagai ketua panitia. Ia menceritakan, setelah digelar rapat Dewan Paroki
untuk rencana pembangunan gereja baru, ia juga diundang.
“Saat itulah saya ditunjuk sebagai ketua. Bagi saya, tugas itu merupakan sebuah kehormatan dan kepercayaan yang harus saya terima. Sejak itu, saya bertekad bekerja sesuai kemampuan. Apalagi, ini rumah Tuhan. Bagi saya, di manapun dipercayakan maka saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Begitu juga sebagai anggota DPR, saya berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara,” kata Mulyono.
Ansel Deri
Ket foto: Ignatius Mulyono
Ket foto: Ignatius Mulyono
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!