Headlines News :
Home » » Wolowae, Surga Ternak yang Kini Terluka

Wolowae, Surga Ternak yang Kini Terluka

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 24, 2009 | 12:09 PM

Peristiwa pilu sekitar 10 tahun lalu kembali terkenang dalam ingatan Marselino Digo. Saat itu banyak ternak di desanya mati karena penyakit septichaemia epizooticae (SE) atau lazim disebut penyakit ngorok.

Pada tahun ini penyakit yang sama kembali menyerang ternak warga Desa Tendakinde, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Puluhan ekor sapi dan kerbau mati mendadak, termasuk milik keluarga Marselino Digo. ”Ternak saya yang mati ada delapan ekor, yaitu lima kerbau dan tiga sapi,” kata Marselino.

Bagi dia, ternak adalah harta berharga. Dari hasil penjualan ternak, ia dapat menyekolahkan anak. Begitu pula dengan 10 saudara Marselino, bisa menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi dan sukses meraih karier dari hasil berjualan ternak.

Jika dihitung-hitung, harga anak kerbau sekitar Rp 5 juta, sapi Rp 5 juta, dan kerbau dewasa Rp 8 juta, maka Marselino rugi sekitar Rp 55 juta.

Rafael Awedai, warga Tendakinde, juga terpukul meski sapi yang mati hanya seekor. ”Uang Rp 5 juta bagi kami, petani kecil di pedesaan terpencil, besar sekali nilainya,” kata Rafael.

Dalam tradisi budaya setempat, kerbau, sapi, dan babi memiliki peran penting. Misalnya, dalam perkawinan adat, ternak itu diandalkan sebagai belis (mas kawin).

Sepanjang Juni-Agustus 2009, sapi dan kerbau yang mati di Wolowae ada 74 ekor. Nilainya Rp 400 juta. Di Maukaro, Kabupaten Ende, sapi dan kerbau yang mati sebanyak 24 ekor.

Untuk memutus mata rantai penyakit ngorok, dilakukan pengobatan dan vaksinasi ternak selama dua minggu sejak Jumat (21/8).

Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan NTT Maria Geong yang melakukan investigasi ke Kabupaten Nagekeo dan Ende mengatakan, Nagekeo sangat potensial untuk peternakan besar, seperti kerbau, sapi, kuda, dan juga babi, serta kambing.

”Wolowae itu surganya ternak. Begitu luas padang sabana di sini. Sayangnya, di musim kemarau, kondisi ternak menjadi kritis. Banyak rumput yang kering, ketersediaan air kurang. Daya dukung pakan minim, sementara populasi ternak sangat banyak,” kata Maria.

Menurut dia, akibat kurang pakan, ternak menjadi stres. Bakteri Pasteurella multocida dalam tenggorokan kerbau menjadi ganas sehingga penyakit SE merebak.

Kendala lain adalah kurangnya vaksin. Tahun 2009, vaksin SE di NTT hanya tersedia 100.000 dosis, itu pun dari APBN. Padahal, data Badan Pusat Statistik NTT tahun 2007, populasi sapi mencapai 555.383 ekor, sedangkan kerbau 144.981 ekor.

Menurut Kepala Dinas Peternakan NTT Martinus Jawa, jika tiap kabupaten merasa memiliki ternak sebagai aset daerah, semestinya mereka juga mengalokasikan dana dari APBD untuk pengadaan obat-obatan dan vaksin ternak.
Problem lain, menurut Maria, umumnya peternak di NTT masih menerapkan pola tradisional dengan melepas ternak di padang atau hutan. Hal itu menyulitkan pengobatan maupun vaksinasi. (SEM)
Ket foto: Sekawanan ternak mencari makan di sawah tadah hujan di Desa Tendakinde, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/8). Wolowae dengan sabana yang luas ibarat surga bagi ternak, tetapi pada musim kemarau, rumput mengering. Akibatnya, daya tahan tubuh ternak lemah. Sepanjang Juni hingga Agustus, puluhan sapi dan kerbau di Wolowae mati terkena penyakit ngorok (septichaemia epizooticae).
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger