Headlines News :
Home » » Chalid Muhammad: Perjuangan Kritis untuk Lingkungan Hidup

Chalid Muhammad: Perjuangan Kritis untuk Lingkungan Hidup

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, November 18, 2009 | 3:56 PM

Berpuluh tahun memperjuangkan masalah lingkungan, Chalid Muhammad merasakan belum ada kemajuan yang berarti. Lingkungan tak menjadi lebih baik, sementara sumber daya alam semakin menipis. Bencana yang diakibatkan kerusakan lingkungan makin kerap terjadi.

Nama Chalid Muhammad mulai dikenal di kancah nasional ketika menjadi Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 1995. Kemudian ia menjadi Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2005. Namun, rekam jejak Chalid di bidang lingkungan sebenarnya sudah sangat panjang. Dimulai sejak dia aktif di sejumlah lembaga lingkungan di kampusnya pada awal tahun 1990-an.

Menurut catatan Chalid, gugatan hukum atas kerusakan lingkungan hidup pertama dilakukan Walhi pada 1990-an. Kala itu Walhi memperkarakan pemerintah dan PT Inti Indorayon Utama ke pengadilan karena dinilai merusak lingkungan hidup di wilayah Porsea. Oleh pengadilan, Walhi dinyatakan kalah.

Kasus lain yang digugat Walhi adalah PT Freeport Indonesia, PT Newmont Minahasa Raya, PT Lapindo Brantas. Pada semua gugatan itu, Walhi dinyatakan kalah.

Kenapa masyarakat hampir selalu kalah saat melawan perusak lingkungan di pengadilan?
Saya sering menyatakan kepada kawan-kawan bahwa rumah paling aman bagi penjahat lingkungan hidup saat ini adalah pengadilan. Perusahaan yang dinyatakan mencemari lingkungan hidup oleh penduduk lokal atau organisasi lingkungan selalu berusaha meredam isunya dengan banyak cara.

Pengerahan ahli dari perguruan tinggi adalah modus yang paling lazim. Tujuannya adalah membentuk opini publik mendukung mereka. Bila upaya itu tidak berhasil dan publik terus menekan mereka, pilihan pengadilan adalah jalan terbaik. Buruknya sistem peradilan kita memungkinkan perusahaan bermain mata dengan penyidik, penuntut, dan hakim.

Cukup mengeluarkan uang yang terbilang sedikit dibanding ongkos yang harus dikeluarkan jika terbukti bersalah, mereka bisa menikmati kebebasan karena dinyatakan tidak terbukti mencemari atau merusak lingkungan. Sayang kami baru menyadari hal ini setelah berkali-kali gugatan hukum yang diajukan organisasi lingkungan hidup dinyatakan kalah oleh pengadilan.

Adakah pilihan lain yang bisa ditempuh?
Kini kami berpikir menggunakan cara lain yang jauh lebih efektif bagi perjuangan lingkungan hidup. Salah satu cara yang terus kami lakukan adalah membangun daya kritis masyarakat.

Saya sangat percaya, bila upaya membangun kesadaran kritis masyarakat terus meningkat, banyak hal yang dapat berubah di negeri ini, termasuk perbaikan total sistem peradilan dan koreksi terhadap paradigma pembangunan yang telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat itu.

Bila rakyat makin kritis, saya yakin, mereka bisa memberikan sanksi politik terhadap partai atau penguasa yang secara langsung atau tidak memberikan perlindungan terhadap perusak lingkungan hidup.

Bagaimana sesungguhnya andil politik dalam memperparah masalah lingkungan?
Ada dua hal penting yang perlu dilihat berkaitan dengan eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan hidup dari perspektif politik lingkungan. Pertama, eksploitasi yang saat ini berlangsung telah menempatkan Indonesia sebagai penyedia bahan baku murah bagi negara-negara utara. Orientasi eksploitasi kita adalah ekspor. Sebagian besar bahan tambang serta produk industri kehutanan dan perkebunan kita diekspor ke negara-negara maju.

Untuk menjaga keamanan konsumsi mereka, negara Utara mendorong perusahaan-perusahaan mereka menjadi pelaku utama pengerukan alam Indonesia. Lobi intensif dilakukan agar Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dapat menguntungkan.

Dalam konteks ini, saya sependapat dengan John Perkins yang menyatakan bahwa dalam rangka membangun imperium global, korporasi transnasional, dan lembaga keuangan internasional, pemerintah negara maju bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.

Kekuatan korporatokrasi itu terlihat jelas saat ini di Indonesia. Proses lahirnya beragam peraturan perundang-undangan, seperti UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minyak dan Gas, UU Perkebunan, tidak lepas dari ”intervensi” lembaga pemberi utang dan perusahaan transnasional.

Bukti paling nyata adalah dikeluarkannya perppu yang membolehkan kawasan hutan lindung ditambang secara terbuka walau UU Kehutanan tahun 1999 dengan tegas melarangnya.

Kedua, praktik pengerukan alam secara merusak yang saat ini berlangsung di Indonesia adalah buah dari bertemunya kepentingan ekonomi dan politik pelaku usaha dengan mereka yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau bahkan bagian dari kekuasaan itu. Praktik ini telah berlangsung cukup lama sehingga tidak heran jika kekuatan mereka semakin hari semakin besar seiring dengan berpusatnya kekuatan ekonomi nasional pada segelintir orang saja.

Adakah celah perubahan politik melalui parlemen?
Walaupun kecewa dengan respons Komisi III DPR dalam kasus pelemahan KPK akhir- akhir ini, saya percaya masih ada orang baik dan mau berbuat baik untuk bangsa ini yang duduk di parlemen. Oleh karena itu, saya kira, penting bagi organisasi masyarakat sipil secara keseluruhan bisa terus memberikan tekanan politik terhadap anggota parlemen agar mereka dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal. Ini memang tak mudah karena mayoritas anggota parlemen berasal dari partai pendukung pemerintah.

Saya berharap kawan-kawan muda yang saat ini menjadi anggota parlemen dengan jumlah lebih dari 65 persen itu untuk membangun kaukus penyelamatan bangsa. Mereka harus mampu mengesampingkan kepentingan partai untuk kepentingan bangsa yang jauh lebih peting.

Bagaimana peluang munculnya partai yang peduli lingkungan, sebagaimana kiprah ”partai hijau” di beberapa negara Eropa, khususnya Jerman?
Jika melihat konstalasi politik dan kegentingan status lingkungan hidup saat ini, saya menduga akan segera lahir kekuatan politik alternatif dengan mengusung isu lingkungan hidup sebagai simbol perjuangannya. Upaya ke arah sana terlihat sejak dideklarasikannya Sarekat Hijau Indonesia pada 2007.

Sebagai organisasi massa yang bercita-cita mendirikan partai hijau, SHI terus membangun basis di berbagai level. Tidak hanya itu, SHI juga telah membangun komunikasi politik dengan partai-partai hijau negara lain. Pada pertemuan UNFCCC di Bali, SHI bahkan berhasil memberikan masukan strategis tentang perubahan iklim dari perspektif masyarakat sipil Indonesia kepada ketua-ketua partai hijau yang menjadi delegasi resmi negaranya.

Selain SHI, ada banyak pihak yang juga bercita-cita mendirikan partai hijau. Bahkan, ada partai peserta pemilu lalu yang menyatakan diri sebagai partai hijau. Bagi saya, kelahiran partai hijau di Indonesia akan kurang mendapat sambutan jika proses pendirian, platform partai, dan mentalitas pengurus partai sama dengan partai-partai yang ada saat ini.

Adakah peluang kita untuk melakukan perbaikan tata kelola lingkungan?
Tanda-tanda ke arah sana mulai terlihat. Konstitusi kita memberikan jaminan terhadap kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak setiap orang. Dalam UU Lingkungan Hidup yang baru juga dinyatakan pentingnya Indonesia melakukan restorasi atau pemulihan ekosistem.

Laporan-laporan kementerian lingkungan hidup juga dengan tegas menyatakan kegentingan status lingkungan hidup kita. Kesemua itu menjadi modal awal yang baik menuju tata kelola lingkungan hidup. Modal awal itu akan bermakna jika tekanan publik terus membesar kepada negara agar negara secara resmi mengakui kegentingan yang ada dan mau mengubah kebijakan dan paradigma pembangunan.

Saya percaya hal itu bisa terjadi dengan syarat daya kritis masyarakat meningkat. Rakyat perlu mengambil ruang partisipasi yang luas dalam mencegah perusakan dan memulihkan krisis. Krisis ekologis adalah krisis nyata yang berdampak luas pada seluruh sendi kehidupan rakyat.

Jika partisipasi rakyat dibatasi dan dihalang-halangi, saya tidak yakin pengurus negara dapat memulihkan krisis yang sedang berlangsung. Sebaliknya, jika partisipasi rakyat dibuka seluas-luasnya mulai dari perumusan kebijakan hingga langkah konkret pemulihan krisis, saya yakin kita bisa cepat mengendalikan krisis dan memulihkannya.

Apa kendala yang bisa menggagalkan optimisme Anda itu?
Kolusi antara kekuasaan dan modal yang saat ini begitu solid telah membuat negara jadi tidak berdaya pada kuasa modal. Dalam posisi ini, negara tidak akan mungkin mengambil inisiatif melakukan perubahan secara fundamental.

Satu-satunya cara, negara harus dipaksa melakukan perubahan itu melalui tekanan rakyat yang signifikan. Namun, realitas hari ini menunjukkan, belum terbangun kesadaran kolektif dan masif untuk menjadikan isu lingkungan hidup sebagai isu utama bangsa.

Lahir : Parigi, 10 Desember 1965

Jabatan : Koordinator Institut Hijau Indonesia

Pendidikan dan Kursus:
- Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, 1991
- Kursus Penilai Amdal (Walhi-KLH), Jakarta, 1991- Alternative Dispute Resolution, ICEL and Collaborative Dispute Resolution, Jakarta, 1994
- Policy and Advocacy Training for Non-Government Organizations, Canberra, Melbourne, and Sydney, 1999

Karier:
- Sekretaris Eksekutif Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Ibnu Khuldon, Kalimantan Selatan, 1990-1992
- Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 1993-1994
- Koordinator Program Civic Education dan Program Advokasi Tambang Walhi, Jakarta, 1994-1999
- Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Jakarta, 1995-2003
- Editors members of the Mines and Communities website, 2001-2007
- Ketua Badan Pengurus Yayasan Pikul, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2002-2005
- Pengurus Yayasan Pendidikan Rakyat, Palu, 2002-sekarang
- Konsultan Advokasi Tambang dan Penghubung YTM, Jakarta
- Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2005-2008
- Koordinator Institut Hijau Indonesia, 2008-sekarang

Pengalaman Internasional:
- SC dalam People Gold Summit dan pembicara untuk topik Legal Advocacy Strategy Workshop, California, AS, Juni 1999
- Ketua SC dan pembicara dalam International Conference on Submarine Trailings Disposal, Manado, 2001
- Pembicara dalam London Mining Seminar, London, 2001 dan 2007- Ketua SC dan pembicara dalam Mining International Workshop, Bali, 2002

Ket foto: Chalid Muhammad
Sumber: Kompas, 18 November 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. emang sih,... kalau yang namanya duit,,,,yang salah jadi benar atau sebaliknya yang benar jadi salah

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger