Headlines News :
Home » » Ketika Pukuafu Menggoyang Cucut

Ketika Pukuafu Menggoyang Cucut

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, March 06, 2010 | 8:46 PM

Matahari mulai beranjak perlahan di belahan perbukitan Bolok, Kupang. Kapal Motor Penumpang Cucut yang akan melewati Selat Pukuafu yang dikenal ganas itu pun sudah bersiap-siap diberangkatkan ke Rote Ndao.

Satu per satu calon penumpang feri Kapal Motor Penumpang (KMP) Cucut berdatangan. Sambil membawa tiket, mereka membawa berbagai jenis barang di tangan, pundak, dan di kepala. Harga tiket Rp 35.000 per penumpang, tanpa makan.

Puluhan pedagang pun mondar-mandir menyodorkan barang jualan. Ada nasi bungkus, air kemasan, roti, buah apel, pakaian, jam tangan, sampai alat cukur. Di geladak, empat unit truk fuso dan puluhan kendaraan roda dua sudah terparkir. Biaya pengangkutan truk Rp 500.000 per unit dan sepeda motor Rp 75.000 per unit. Sesuai dengan jadwal, KMP Cucut berangkat ke Rote Ndao pukul 08.00 Wita, tetapi ternyata hari itu molor.

Setelah lewat 1,5 jam, pukul 09.30, feri diberangkatkan. Begitu feri lepas ikatan di Dermaga Bolok menuju Rote Ndao, pemindai video digital langsung diputar, lagu dangdut dan musik pop pun tertayang di layar televisi mengiringi penumpang.

Namun, begitu memasuki Selat Pukuafu, sekitar 10 mil sebelum memasuki Pulau Rote Ndao, goyangan penyanyi dangdut di televisi itu tak bisa lagi menghibur penumpang. Kapal tiba-tiba oleng ke kanan dan kiri karena dihadang ombak dan angin kencang. Barang-barang di atas tempat tidur pun terjatuh.

Penumpang panik. Beberapa ibu berusaha memeluk anak- anaknya agar tidak terjatuh di geladak kapal. Jantung mereka berdebar dan spontan berdoa. Soalnya, di selat inilah 115 penumpang KM Citra Bahari tewas tenggelam pada Mei 2006.

Moses Feoh, pria yang setiap hari lalu lalang Kupang-Rote dengan feri, langsung berceloteh, ”Ini Selat Pukuafu, biasa begini, tapi tak apa-apa. Hanya lima menit saja. Nanti akan kembali tenang dengan sendirinya.”

Benar juga kata Feoh. Cucut tenang kembali. Hati penumpang pun lega. Terkecuali, seorang ibu muda yang tengah hamil tua. Ia tampak meringis kesakitan. Sambil memegang perut, ia langsung menuju toilet.

”Dalam satu tahun, bisa dua sampai tiga peristiwa kelahiran. Mungkin saja mereka dari Rote mau melahirkan di Kupang atau dari Kupang mau melahirkan di kampung asal di Rote. Ternyata, malah melahirkan di feri, tetapi semuanya selamat,” bisik Samuel Bano, anak buah kapal.

Setiap kapal yang melewati Selat Pukuafu, pasti oleng ketika diterpa ombak di sana, terutama pada bulan Juli sampai Februari. Saat menumpang kapal cepat Express Bahari milik pengusaha setempat juga tak terhindarkan meski tidak seoleng Cucut yang sudah berusia 18 tahun itu. Meski demikian, banyak penumpang Express Bahari tetap panik. Sejumlah penumpang bahkan tidak mampu menahan rasa mual, kemudian melepaskan muntah secara tak beraturan.

Rasa takut sudah menjadi ”makanan sehari-hari” penduduk Nusa Tenggara Timur setiap kali melakukan penyeberangan. Pasalnya, lintasan di sana sangat panjang, melewati laut atau selat yang gelombangnya ganas, ditambah lagi desain kapal yang tak sesuai dengan standar dan banyak kapal sudah tua.

Persoalan ini sudah terjadi menahun, tetapi tidak juga teratasi. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34, Ayat (3) menegaskan, ”negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Setelah enam jam berlayar, Cucut pun menghampiri Dermaga Pantai Baru, Rote Ndao. Barulah perasaan ”NTT”, ”nasib tak tentu”, saat digoyang gelombang kini benar-benar hilang. (Kornelis Kewa Ama)
Sumber: Kompas, 6 Maret 2010
Foto ilustrasi: dok. google.co.id
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger