Headlines News :
Home » » Cuma Basa Basi (Catatan Bosan Atas Kritik Prudens Maring)

Cuma Basa Basi (Catatan Bosan Atas Kritik Prudens Maring)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, September 14, 2010 | 1:46 PM

Oleh Steph Tupeng Witin
mahasiswa Magister Jurnalistik IISIP Jakarta

PADA hari Senin (23/8/2010), saya sedang mengikuti pameran foto jurnalistik di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Sebuah nomor baru masuk ke HP-ku. Ia memperkenalkan diri: Prudens Maring. Tinggal di Kupang. Ia mengapresiasi opini saya "Mendiskusikan NTT dengan Empatik" di harian ini. Kritiknya, tulisan ini menohok institusi tertentu yaitu BPTP Naibonat. Sederhana sebetulnya. Ignas K. Lidjang, penulis opini "Kegaduhan Sekitar Masalah Tambang" (PK, 12/8/2010) adalah peneliti pada BPTP Naibonat. Celakanya, Ignas tidak menulis bahwa opini ini adalah pendapat pribadi. Maka klarifikasi Kepala BPTP Naiobat, Dr. Ir. Joko pada kolom curhat Pos Kupang (28/8/2010) bahwa tulisan itu tidak mewakili institusi BPTP Naibonat rasa-rasanya 'kesiangan' dan hanya membangun kesan bahwa institusi publik ini 'terkejut' terhadap kritik.

Saat itu saya katakan kepada Prudens bahwa institusi BPTP Naibonat ini milik publik, dibiayai dengan uang rakyat dan setiap orng NTT - bahkan termasuk Prudens - berhak untuk mengontrol dan mengritik kinerjanya. Prudens kemudian mengirim SMS: pada titik ini, posisi kita sama. Anehnya, Prudens kembali mempertanyakan argumen saya bahwa BPTP Naibonat itu perlu dikontrol karena dibiayai uang rakyat dalam tulisannya. Mengapa tidak? Prudens hendak mengatakan: janganlah mengritik BPTP Naibonat karena institusi itu dibiayai uang rakyat! Artinya, Prudens setuju dengan anjuran saya agar BPTP Naibonat diubah saja menjadi balai penelitian pertambangan di NTT. Saya setuju dan mengusulkan Prudens Maring sebagai kepalanya!

Selanjutnya, ketika membaca tulisan Prudens Maring (Pos Kupang 3/9/2010) dengan judul "Bangun Diskusi Persuasif Soal Tambang" secara 'cepat' terasa sejuk. Epang gawang, Moat. Kata-kata ini harus disampaikan. "Jangan menghakimi, mari kita bangun argumen persuasif," ajakan bijaknya kurang lebih seperti itu. Apalagi ajakan itu disertai dengan bunga-bunga nasehat bijak sarat peninaboboan. Tetapi tatkala saya memeriksa kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, rasanya ada sejumlah hal yang harus ditanggapi. Tanggapan ini perlu agar ide-ide subyektif Prudens tidak liar memasuki kesadaran publik.

[01] Judul tulisan itu adalah "Bangun Diskusi Persuasif Soal Tambang". Coba Prudens perhatikan paragraf pertama dan kedua dengan teliti. Sesudah itu, bertanyalah pada diri sendiri: penulis berdiri di mana? Untuk orang-orang yang tolak tambang, ada predikat khusus, yaitu "mereka yang mengklaim diri aktivis lingkungan sekaligus pembela kepentingan rakyat", sedangkan yang pro tambang tanpa embel-embel apa pun? Ada apa? Lalu Prudens sendiri berdiri di mana? Pro tambang? Tidak. Tolak tambang? Tidak. Meminjam pembagian genus orang Latin, jelas dan tegas: ada jenis laki-laki (maskulinum), ada jenis perempuan (femininum). Yang ada di tengah: banci (Neutrum). Pertanyaan saya: di manakah Saudaraku Prudens?

Perhatikan lagi bagian akhir paragraf kedua, "Publik pun menanti pikiran dari siapa pun atas masalah tambang di NTT. Namun, itu tidak selalu harus datang dari mereka yang tolak-tambang, tetapi juga yang pro-tambang, agar dibangun jalan keluar bak 'pelangi'." Tatkala penulis menetapkan ketidakharusan dengan urutan seperti ini, pertanyaan yang sama datang kembali: dia berdiri di mana? Kalau posisi saja sudah tidak jelas, bagaimana kita bisa membaca opsi dan komitmennya? Dan kalau posisi, opsi dan komitmen sangat tidak jelas, bagaimana kita bisa mencari dan memahami solusi yang 'bak pelangi itu?' Semakin kabur. Bagi saya, beda pendapat tidak sekadar karena ruang demokrasi. Tetapi mesti dilandasi dengan sikap dan komitmen yang tegas. Celakanya: kita hanya larut dalam eforia demokrasi beda pendapat tanpa pijakan yang kokoh dan tegas. Ini ajakan bagi intelekual agar turun dari takta keangkuhan dan menyapa realitas.

[02] Itu adalah bagian pengantar. Tapi itu penting karena ia adalah bingkai untuk paragraf-paragraf selanjutnya. Bagian selanjutnya adalah ajakan untuk tidak menghakimi. Rasanya semua orang setuju dengan ajakan ini. Ketika membaca kritikan dan tuduhan serius terhadap tulisan saya, misalnya, tuduhan kurang siap berbeda pendapat, label arogansi dan spirit penghakiman bukan atas dorongan cara kerja ilmiah/intelektual, tidak sabar menempuh jalur advokasi/komunikasi, seruan saya sekadar hasil kerja motorik jari tangan yang terlatih, sementara hati saya penuh spirit penghakiman dan masih yang lain dalam suatu litani panjang. Saya membacanya dengan sikap terbuka dan kritis.

Menurut Prudens, saya tidak siap berbeda pendapat. Penegasan yang persis bertolak belakang karena saya justru sedang berbeda pendapat dan perbedaan pendapat itu sama sekali tidak disentuh oleh Prudens dalam tulisan basa basinya itu. Saya paham, kesimpulan Prudens gamang karena lahir dari sebuah pendapat tanpa dasar, tanpa pijakan, miskin opsi dan kosong komitmen. Pengantar tulisannya saja sudah menggambarkan bahwa penulis ini tidak jelas posisi dan sikapnya. Maka dia tidak sanggup hanya untuk tahu dan sadar bahwa saya sedang berbeda pendapat dengan Ignas K. Lidjang karena posisi, sikap, opsi dan komitmen kami jelas, tegas dan pasti. Kami beropini dengan basis argumen masing-masing. Sedangkan Prudens? Tidak jelas juga rabaannya!

[03] Tetapi tak hanya sampai di situ. Untuk diskusi lanjutan mengikuti ajakan penulis, pada bagian lainnya saya mengharapkan ada komentar juga terhadap tulisan Lidjang, baik dari segi cara menulis, sikap, perspektif dan substansinya. Coba perhatikan kutipan dari Lidjang berikut ini, "Lalu bagaimana menyikapi penolakan para tokoh agama agar wilayah NTT bebas tambang? Naif, sangat naif. Apakah para tokoh agama sudah optimal mengatasi masalah kemiskinan, khusus di lingkungan umatnya? Tidak juga."

Prudens, silahkan baca sendiri sekali lagi teks Lidjang ini agar tidak 'cepat' mengambil kesimpulan. Ketika penulis mempertanyakan sikap dan perilaku saya -- pastinya bisa kita diskusikan -- di benak saya ada pertanyaan yang tak hilang: mengapa penulis mempunyai sikap dan perilaku seperti ini? Ada apa? Kedekatan pribadi? Semangat yang meluap-luap untuk membela korps atau kolega? Dari sikap penulis seperti ini, untuk saya: jelas persoalannya. Yang pokok di sana ialah bahwa ajakan Prudens untuk berdiskusi secara persuasif cumalah basa-basi murahan. Titik. Yang hendak diperlihatkan adalah pembelaan terhadap yang satu, dan sayangnya penghakiman (saya pinjam kata-kata dari penulis sendiri) terhadap yang lain. Sekarang tak jelas benar: apakah nuansa penghakiman yang diserukan penulis tak tampak dalam tulisannya sendiri?

Prudens, baca dengan teliti sekali lagi, bila perlu berulang-ulang tulisan Saudara sendiri untuk menatap lebih intens kata-katamu sendiri. Mudah-mudahan muka Anda tidak basah karena sesungguhnya Anda sedang menepuk air di dulang dan terpercik ke muka sendiri! Saya yakin (maaf, sekali lagi saya kutip kata-kata Prudens), bisa jadi ini hasil kerja motorik tangan Prudens yang belum terlatih sehingga kelihatan sedikit ugal-ugalan sementara hatinya juga penuh dengan spirit penghakiman yang tidak disadarinya sendiri.

[04] Sikap dan perilaku penulis seperti tadi, yang membuat saya enggan untuk berdiskusi, walaupun dalam tulisan itu ada beberapa hal yang bisa dielaborasi untuk kepentingan kita bersama. Ambil sebagai misal, hubungan antara warga dan kekuasaan yang nyata dalam kutipan, "Jika pemimpin tertidur, bangunkan! Tapi jangan mengejutkan, nanti ia menghardik! Jika pemimpin tak mampu, dampingi dan jadi mitranya! Tapi jangan menggurui, nanti ia tersinggung!" Masa iya? Apakah ini yang kita ajarkan kepada para mahasiswa kita? Etika antroposentris? Maaf, ini tema besar dan kompleks, dan thesis tragedy of the commons.

[05] Bagaimana sikap penulis terhadap teks Lidjang? Saya kutip, "Dalam kejernihan memahami, inti ide Ignas adalah ajakan membangun mekanisme bersama yang beradab." Terus terang, saya tidak percaya pada mata saya sendiri ketika membaca kejernihan memahami dari penulis seperti ini. Teks Lidjang itu saya baca berulang-ulang. Saya kutip bagian penutup dari teks itu, "Adalah naif jika menafikan usaha pertambangan hanya atas alasan kelestarian lingkungan yang sebetulnya bisa dicarikan solusinya entah solusi sosial, ekonomi, hukum/aturan dan terutama penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alam permukaan NTT sudah terbukti tidak memberikan kemakmuran yang nyata karena salah urus atau memang marginal. Ada harapan baru yang sangat menjanjikan, mari kita duduk dalam kejernihan berpikir demi rakyat miskin, demi kebanggaan negeri ini yang masih miskin. Belum ada bukti nyata bahwa daerah yang membolehkan aktivitas pertambangan sudah mengalami kiamat, selalu ada jalan untuk mengatasi dampak negatif tambang. Manusia jangan sombong, alam lebih kuat dari yang kita perkirakan terutama dalam memulihkan dirinya sendiri."

Dalam tulisan ini, saya tidak menemukan penilaian kritis Prudens - sikap yang sekurang-kurangnya bisa ditunjukkan oleh penulis - untuk membuat sebuah penilaian yang berimbang antara saya dan Lidjang. Ada apa?

[06] Mungkinkah ada diskusi yang persuasif kalau tingkatan kejernihan memahami kita seperti tadi? Rasanya tidak. Ini juga alasan mengapa saya bosan untuk diskusi hal-hal yang sudah disebutkan tadi dan juga agak bosan membuat satu dua catatan ini. Maka bagi saya, tulisan Saudara Prudens tidak proporsional, manipulatif dalam menyimpulkan tulisan Lidjang dan tidak pantas untuk diskusi yang kreatif dan persuasif dalam ruang publik seperti ini sebagaimana yang asal-asalan digaduhkan oleh Prudens.

Tetapi saya mengajak segenap rakyat NTT agar tidak lelah berjuang melawan orang-orang kita sendiri (NTT) yang tidak malu menjajakan kehormatan, harga diri bahkan integritas intelektualnya di liang tambang.
Sumber: Pos Kupang, 14 September 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger