RABU, 1 April 2015, Refly Harun mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara. Ia meninggalkan kantornya di
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Sebelum
bercerita tentang mundurnya pakar hukum tata negara itu, kita membaca terlebih
dahulu dua pepatah atau proverbia Latin yang lahir ratusan tahun lalu di
Kerajaan Romawi kuno. Kedua pepatah ini tidak paralel dengan alasan Refly Harun
mundur, tetapi hanya untuk bahan tambahan renungan bagi pegawai atau petugas
istana.
Pepatah
pertama berbunyi, Exeat aula, qui vult esse pius. Menurut kamus Proverbia
Latina yang disusun BJ Marwoto dan H Witdarmono, terjemahan langsung pepatah
itu adalah "Barang siapa ingin menjadi orang baik, hendaklah meninggalkan
istana". Terjemahan bebasnya seperti ini, "Kalau ingin tetap menjadi
orang baik, janganlah masuk dalam struktur kekuasaan".
Pepatah Latin
kuno lainnya yang mirip dengan itu berbunyi, Animo magis quam corpore aegri
sunt. Terjemahannya, "Mereka (yang berkuasa) lebih banyak (terkena) sakit
jiwa daripada sakit badan".
Pepatah
pertama diciptakan penyair istana Kerajaan Romawi bernama Marcus Annaeus
Lucanus (hidup tahun 39 sampai 65). Ia bekerja sebagai penyair istana Kaisar
Nero (memerintah tahun 54 sampai 68). Karya syair epos Lucanus yang terkenal
adalah "Pharsalia", yakni tentang perang saudara (Bellum civile)
antara Julius Caesar dan Pompeius.
Kalangan
istana tidak suka kepada Lucanus dan menuduhnya bersekongkol dengan berbagai
pihak untuk menjatuhkan raja. Akhirnya, Lucanus dihukum mati. Namun, Lucanus
tidak sakit jiwa.
Dua kebebasan
Kembali ke
soal mundurnya Refly Harun. Jumat dua pekan lalu, ia mengatakan tidak keberatan
soal mundurnya ditulis bersama kedua pepatah itu dan kisah Lucanus.
Alasan Refly
mundur antara lain (yang bisa ditulis di sini) berkaitan dengan kebebasan
teknis dan kebebasan prinsip. "Kebebasan teknis ini berkaitan dengan
pemilihan waktu atau jam kerja di kantor. Saya mau membantu istana, tetapi saya
tidak bisa bekerja di kantor dengan waktu reguler seperti yang ditentukan di
kantor Setneg," ujarnya.
Berkaitan
dengan kebebasan prinsip, Refly mengatakan ingin bisa kritis di kalangan intern
tempat bekerja sekaligus bisa diumumkan di publik. "Saya tidak bisa
mengkritik masalah intern tanpa dipublikasikan. Kalau hanya kritis di dalam,
publik tidak tahu kerja saya di dalam, tidak transparan," ujarnya.
Selain itu,
Refly mundur untuk memberikan pelajaran tentang keberanian mengatasi masalah
post power syndrome kepada siapa pun.
Kisah Lucanus
juga tidak paralel dan tidak sama persis dengan peristiwa Refly meninggalkan
kantornya di Kompleks Istana Kepresidenan. Kesamaannya hanya "pernah
bekerja di dalam istana". Bagaimana pendapat Anda? Selamat merenung, para
pegawai istana. Jangan marah, ya, kalau ada hujan kritik, nanti bisa sakit.
Sumber:
Kompas, 7 Juli 2015
Ket foto: Refly Harun
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!