Headlines News :
Home » » Saatnya Pemimpin Bertindak

Saatnya Pemimpin Bertindak

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, September 15, 2010 | 3:32 PM

Oleh Benny Susetyo
Sekretaris Eksekutif Komisi Hak KWI dan Dewan Nasional Setara

Kasus tindak kekerasan yang menimpa dua pemuka Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Mustika Jaya, Kota Bekasi, Minggu (12/9) bukan tindak kriminal biasa seperti yang diutarakan Kepala Polda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo. Ada persoalan mendasar, yaitu gejala intoleransi yang terjadi di masyarakat. Pasalnya, tindak kekerasan yang terjadi di Bekasi itu bukanlah yang pertama kali. Persoalan tindak kekerasan terhadap Hasian Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak, kedua pemuka Gereja HKBP tersebut juga bukan persoalan mayoritas-minoritas. Di balik semua itu ada masalah intoleransi yang terjadi di masyarakat akar rumput.

Laporan pemantauan yang dilakukan Setara Institute selama tiga tahun berturut-turut dapat diketahui adanya pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang cukup serius. Dalam laporan itu disebutkan bahwa kondisi demografi agama dan sosiologi masyarakat Indonesia mutakhir menggambarkan kecenderungan mencemaskan bagi kokohnya keberagaman Indonesia. Hal tersebut berpotensi adanya pengabaian jaminan kebebasan.

Dalam pemantauan yang dilakukan di 12 provinsi, pada 2009 Setara Institute mencatat adanya 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi, yaitu Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing 8 peristiwa, dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 7 peristiwa). Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan negara (by omissionp).

Adapun tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana. Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian (48 tindakan), Departemen Agama (14 tindakan), wali kota (8 tindakan), bupati 6 (tindakan), dan pengadilan (6 tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah enam tindakan. Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada 2009 paling banyak masih menimpa Jemaah Ahmadiyah (33 tindakan pelanggaran), individu (16 tindakan), dan jemaat gereja (12 tindakan). Pelanggaran yang berhubungan dengan Ahmadiyah antara lain meliputi upaya pembakaran masjid, intoleransi, dan pembatasan akses untuk melakukan ibadah.

Sementara itu, individu yang menjadi korban umumnya adalah korban penyesatan. Sementara itu, jemaat gereja mengalami pelanggaran dalam bentuk pelarangan pendirian rumah ibadah, pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan, dan intoleransi.

Pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan negara dan aparaturnya termasuk yang paling mengkhawatirkan. Sebagaimana disinggung sebelumnya, hal tersebut terjadi hampir pasti disebabkan jaminan kebebasan yang setengah hati tadi. Tidak hanya itu, praktik penerapan aturan di lapangan kerap pula berseberangan dengan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung bersama. Persoalan mendasar saat ini adalah lemahnya leadership dalam menegakkan konstitusi.

Negara didirikan bukan hanya untuk golongan tertentu, suku, agama, melainkan negara milik semua. Semua warga negara dijamin mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Realitas para pemimpin baik yang di pusat maupun di daerah takut menjalankan konstitusi. Itulah persoalan yang terjadi saatnya ketika konstitusi tidak dijalankan untuk semua warga negara, terjadi kekosongan kewibawaan publik. Hal itu dibiarkan negara dan tunduk terhadap pelaku kekerasan. Dengan begitu, keadaban publik bangsa yang menjamin keanekaragaman budaya, suku, dan agama akan dihancurkan.

Saat ini dibutuhkan ketegasan seorang pemimpin yang berani mempertaruhkan jiwa raganya demi amanat konstitusional. Pejabat publik menghayati semangat konstitusi dalam menjalankan tugasnya menegakkan aturan main. Di sinilah pentingnya mengembalikan keadaban publik yang hampir mengalami kehancuran karena tunduk pada pelaku kekerasan. Panggilan kita bersama saat ini untuk memutus lingkaran kekerasan dengan menciptakan tata tertib sosial dalam hidup bersama dengan mengembalikan Pancasila menjadi cara berpikir, bertindak, berelasi anak-anak bangsa yang mencintai kemanusiaan dan keadilan sebagai wujud cinta kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Setiap orang yang mencintai Tuhannya akan membenci kekerasan karena kekerasan menghancurkan martabat kemanusiaan. Semoga mereka memiliki nurani dan tergerak hatinya mengatakan saatnya pemimpin bertindak demi tegaknya pilar-pilar bangsa.

Para pemimpin terpilih seharusnya kembali mengingat untuk apa mereka memimpin. Tentu bukan hura-hura karena merasa telah memenangi kompetisi demokrasi. Justru ada sebuah agenda yang sangat berat. Rasa bersyukur yang berlebihan bukan sesuatu yang elok dipandang. Menjadi pemimpin bukanlah sebuah hadiah, melainkan amanat penderitaan rakyat. Tentu mereka harus kembali mengingat etika dan tujuan berpolitik. Berpolitik harus menjelma menjadi tindakan untuk melayani masyarakat. Orang yang terlibat dalam politik harus mengacu pada moralitas kemanusiaan dan keadilan.

Politik dan pemerintahan harus menjadikan nilai moralitas publik sebagai acuan. Pemimpin sejati seharusnya meninggalkan keinginan dan nafsu kekuasaan politik sebagai sandaran hidup untuk memperoleh kekayaan. Sebab bila demikian, politik hanya akan menjadi arena investasi belaka: mengeluarkan berapa dan apa, dan mendapatkan berapa dan apa. Politik kekuasaan adalah amanat penderitaan rakyat.

Pertanyaan buat para pemimpin terpilih adalah bagaimana kita menyikapi kondisi kritis bangsa kita saat ini. Komitmen berbangsa yang dimanifestasikan dalam bentuk kerelaan berkorban secara sungguh-sungguh merupakan salah satu langkah yang mengantarkan bangsa ini mencapai perubahan masa mendatang. Itulah yang hilang saat ini ketika para pemimpin tak mampu lagi menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.

Saatnya sekarang ini kita mengembalikan roh Pancasila menjadi pelekat hidup berbangsa dan bernegara. Ini membutuhkan pemimpin berani bertindak bukan berwacana. Rakyat merindukan pemimpin tegas dan berani tegas untuk bertindak kepada mereka telah melecehkan kemanusiaan karena hal itu merupakan penghinaan martabat bangsa. Ini saat ini yang dinantikan bersama, yakni mendengarkan kembali getaran nurani pemimpin yang berani untuk pasang badan demi konstitusi. Semoga yang terjadi saat ini bukan sekadar mimpi!
Sumber: Media Indonesia, 15 September 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger