Jika kesunyian dan kesedihan diceritakan, seperti apakah ceritanya? Kumpulan cerpen Agus Noor, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, seperti hendak menyajikan cerita-cerita itu. Ada pohon kesedihan, setangkai sunyi, penjahit kesedihan, pelancong kesedihan, penyemai sunyi, kartu pos penawar rindu dari kain kafan, wanita yang paling menyedihkan, dan tanda-tanda lain yang merujuk pada kesepian dan duka lara.
Dalam timbangan saya, hamburan imaji yang sunyi dan sedih, yang getir dan mengiris, adalah kekuatan yang dikandung kumpulan cerpen ini. Kekayaan tematik juga menggugah saya untuk membacanya.
Tema-tema yang ditampilkannya tak umum dan itu mestinya menjanjikan sebuah petualangan atau paling tidak pengalaman baru. Dari segi ini, karya Agus Noor ini punya kelebihan dari kebanyakan kumpulan cerpen Indonesia. Butuh imajinasi yang kaya dan keberanian untuk bercerita seperti itu. Ikhtiar pengarangnya memadukan realitas keseharian dan fantasi untuk melahirkan "dunia baru" patut dihargai.
Tapi mari kita lihat lebih jauh. Mari hayati dunia rekaan macam apa yang tersaji di sana. Apakah kisah-kisah itu membuat kita merasa seakan berada di dunia yang sungguh-sungguh? Apakah "kehidupan" yang disajikannya membuat kita merasa mungkin untuk tinggal di dalamnya?
Saya belum bisa menghayati dunia rekaan dalam cerita-cerita itu. Contohnya, dalam Parousia, bagian dari cerpen Cerita yang Menetes dari Pohon Natal, dikisahkan seekor ular titisan manusia yang penghayatannya tentang dunia tak memberikan kesan kuat bahwa itu adalah penghayatan seekor ular yang merayap. Struktur tubuh yang berbeda dengan manusia seakan tak memberikan pengaruh apa-apa pada penghayatannya. Si ular masih mempersepsi dunia seperti manusia. Meski punya pengalaman jadi manusia, perubahannya jadi ular tentu mempengaruhi caranya mengenali dunia. Tapi, dalam cerita itu cara pandang ular tak tertampilkan.
Begitu juga di bagian berikutnya, Mawar di Tiang Gantungan, deskripsi tokoh Aku yang buta tidak meyakinkan saya akan kebutaannya. Si Aku seperti orang yang bisa melihat. Memang ditekankan di situ meskipun buta, Aku bisa melihat. Tapi tentu "melihat" bagi si buta berbeda dengan melihat bagi orang yang tak buta. Si buta "melihat" tidak dengan mata, karena itu deskripsinya pun bukan deskripsi visual sebagaimana orang yang matanya berfungsi. Dalam pengharapan saya, semestinya "penglihatan" tokoh buta itu tampil dengan cara khas sebagai turunan dari kepribadian orang yang mengenal dunia tidak dengan matanya.
Saya coba bandingkan tokoh rekaan Agus Noor dengan Jean-Baptiste Grenouille, tokoh dalam novel Perfume karya Patrick Suskind, yang penghayatan dunia dan pembentukan identitas dirinya didominasi oleh modalitas penciuman. Ia tampil sebagai pribadi yang sangat berbeda dengan orang-orang lainnya karena lebih terbiasa mengenali berbagai hal dari baunya. Deskripsi Suskind tentang tokoh utamanya, juga tentang dunia yang dihayati sang tokoh, sungguh tak umum. Grenouille tampil sebagai pribadi yang utuh dengan cara mengada di dunia yang khas. Dunianya singular, tak dapat dibandingkan dengan dunia penghayatan orang lain.
Empati, kapasitas berbagi kesedihan atau kebahagiaan melalui imajinasi dengan makhluk berindra lainnya, terasa kurang dalam cerita-cerita mutakhir Agus Noor. Di tataran gagasan, penjelajahan tematiknya kaya, tapi di tataran penghayatan, imajinasi itu belum mewujud konkret jadi situasi yang menampilkan dirinya sendiri. Padahal wujud konkret itu yang memungkinkan pembaca larut dalam dunia rekaan yang mirip kenyataan.
Tanpa empati yang kuat, sunyi, sedih, pedih, bosan, takut, mati, miskin, dan jahitan kebahagiaan tak tampil sendiri di sana. Mereka dikuasai pikiran pengarang dengan cara pandangnya yang itu-itu saja. Dan saya tetap menangkap pengarang sedang menyajikan dunia bohongan, bukan dunia yang bisa dihayati sebagai kenyataan. (Bagus Takwin)
Judul: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Penulis: Agus Noor
Penerbit: Penerbit Bentang, 2010
Tebal: viii + 168 halaman
Sumber: Tempo, 13 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!