Headlines News :
Home » » Mengerling Pesona Metropolitan

Mengerling Pesona Metropolitan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, September 15, 2010 | 2:00 PM

Oleh Thomas Koten
Direktur Social Development Center

Kota metropolitan Jakarta yang ”ditumbuhi” gedung-gedung pencakar langit, pilar neon benderang, hingar-bingar musik, pajangan di etalase, hiruk-pikuk lalu lintas, memiliki pesona dan daya tarik bak magnet bagi siapa saja -kaum urban- di seantero negeri. Sosiolog Jonathan Raban tidak pelak mengatakan, pesona dan daya tarik metropolitan sungguh ditandai kekuatan magis, bukan kekuatan rasional.

Artinya, dari pesona itulah orang lalu berkeyakinan di kota metropolitanlah segala kehendak bisa terwujud dan semua mimpi bisa terealisasi. Hidup manusia bisa dirancang dan disulap. Segala kepahitan, kenestapaan dan derita dapat ditanggung karena harapan bisa berubah terwujud di tengah gemerlapnya metropolitan. Lalu, orang dari seluruh pelosok negeri seperti pada saat pascamudik Lebaran, berbondong-bondong memasuki kota metropolitan Jakarta dengan beribu-ribu harapan dan sejuta mimpi yang berbunga-bunga.

Benarkah demikian? Jika dikerling, ternyata di kota metropolitan Jakarta, tersimpan aneka paradoks. Menyitir Bambang Sugiharto (2000), kota metropolitan sebagai pusat pembebasan, juga serentak perbudakan, kebudayaan massal. Juga kesepian individual, kelimpahan material sekaligus kemiskinan spiritual, pusat penciptaan dan aktualisasi diri, terkadang potensi dahsyat kehancuran yang melumpuhkan segala mimpi kaum urban.

Kota penderitaan

Benar tulis Daniel Solomon (Global City Blues, 2003), kita sesungguhnya telah menyulap keunikan kota menjadi kebingungan. Suatu ungkapan yang tidak berbeda dengan filsuf Martin Heidegger. Dia menyebutkan cultural malaise-kehidupan kota yang mengakibatkan xenophobia, psikosis, kebencian, panik, dan teror. Mengapa? Karena, seperti kata Le Corbusier, seorang arsitek dari Prancis (1925), kota-kota besar yang ada sekarang ini tidak lain hasil pembantaian alam (an assault on nature). Hingga, jangan lupa meski manusia-manusia desa seperti telah sanggup membebaskan diri dari tirani alam dan keterbelakangan, hakikatnya dia justru masuk ke dalam tirani-tirani baru daya penghancur psikenya. Atau keluar dari belenggu keterbelakangan desa menuju ruang baru kota yang disesaki gedung-gedung pencakar langit menjulang, yang membuat terasing dan kehilangan kesejatian diri.

Sebagaimana dilukiskan filsuf sekaligus sastrawan Albert Camus, dalam mencoba memberikan eulogi buat kota kelahiran, Oran, Aljazair. Kota yang sedikit punya petilasan sejarah dan hanya punya laut biru, langit Lazuardi, gurun pasir nan perkasa dan tubuh yang akrab dengan matahari dan kematian. Dia berkata, ”dalam pusaran yang memusingkan dari abad ke abad revolusi dan kemasyuran” kota makin hari makin ibarat ruang yang tidak cukup memberikan kesunyian dan kesempatan hidup layak. Atau, suatu derap kehidupan kota-kota modern yang keras, menyekap dan membelenggu kaum urban dan menggiringnya ke arah hilangnya kedirian, identitas dan kemanusiaan, atau disebut anonimitas. Hanya, harus dicatat meski pahit kehidupan kota, tetap memikat dan membuat siapa pun tidak mau mundur. Dengan katan lain, kehidupan kota itu begitu memikat dengan aneka tawaran kehidupan yang penuh mimpi. Dengan itu ia membelenggu. Hingga orang pun sulit keluar dari kehidupan kota.

Karena itu, persoalannya bagaimana membangun kota-kota besar menjadi rumah bagi segenap warga. Ingat, kota merupakan produk sosiokultural, perilaku, dan gaya hidup konsumeristik manusia yang selalu berubah serta bertransformasi sosok sesuai perubahan situasi dan perkembangan serta tuntutan zaman. Hingga, pembangunan kota seharusnya lebih berorientasi pada bagaimana menangkap relasi-relasi ke ruangan hakiki yang telah menghidupi warga kota agar dapat hidup lebih manusiawi dan bersahaja.

Benar tulis Constantinos A Doxiadis dalam How to Built the City of the Nature (1968), jika pada masa lampau terjadi perubahan persepsi terhadap ruang dari ruang magis ke ruang sakral menuju ruang sekuler, perlulah kini, dengan kehadiran kota, kita mesti melihat ruang sebagai ”ruang manusia”. Skala manusiwi harus menjadi fokus dalam setiap pembangunan kota. Hingga, pembangunan kota pun tidak bisa menyuburkan fenomena dehumanisasi kota dengan cara memberi perhatian yang berorientasi pada aspek fisik, dan pergulatan kepentingan ekonomi semata.

Jika pengembangan kota selalu elitis secara fisik dan tidak menjelma pada ”ruang-ruang” yang berskala manusiawi, , ia kian menjerat dan menyengsarakan warga. Jika demikian, kota pun akan makin menjadi monster yang menakutkan dan mengerikan, yang mencengkeram manusia. Terutama kaum miskin yang kalah bersaing dalam kerasnya kehidupan kota. Maka, lahirlah sinisme tentang city of tomorrow akan menjadi city of sorrow, kota yang menyedihkan (Eko Budihardjo, 2006). Atau, kota, yang melahirkan krisis kemanusiaan, atau yang kerap disebut sebagai ”miseropolis” kota penderitaan.

Betapa tidak kota metropolitan ini menjadi sumber penderitaan bagi warga jika gagasan Bung Karno tentang kawasan hutan Senayan yang semena-mena diobrak-abrik, kuburan diubah jadi perkantoran, air laut diuruk, perbukitan ditanami perumahan mewah. Kesemuanya berkontribusi atas banjir dan penurunan permukaan tanah akibat air tanah yang terus disedot?

Sebagai karya seni

Untuk itu, ke depan hendaknya perlu diperhatikan secara serius dan cermat, bagaimana baiknya membangun kota-kota yang dapat merealisasi jutaan mimpi segenap warga. Bukan sekadar menawarkan impian bagi kaum urban yang ingin mengubah nasib dan menyulap kehidupan, tetapi akhirnya menjerumuskan diri ke dalam moncong monster kejam kehidupan kota.

Ingat, bahwa membangun kota, ibarat membangun sebuah karya seni yang besar, indah dan agung. Dapat membahagiakan setiap warga dengan jalan mengarahkan warga kepada pemaknaan hidup yang lebih optimistik terhadap pengalaman empiris kehidupan urban yang senantiasa dilukiskan secara pesimistik.

Kota bisa menuju pembebasan total di mana semua warga makin menjadi saudara dalam keluarga kota yang penuh kedamaian. Apakah itu dapat terwujud? Setidaknya itulah mimpi sebagaimana yang dilukiskan dalam kitab-kitab suci, dalam Universum Divinum. Meski, realisasinya entah kapan!
Sumber: Jurnal Nasional, 15 September 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger