Guru Besar Stikma Malang &
anggota Dewan Kota Malang
Ketika tindak kejahatan seperti perampokan sedang marak di mana-mana, salah satu elemen masyarakat yang dieksaminasi atau diuji integritas dan profesionalitasnya adalah polisi. Beberapa gugatan yang antara lain sempat ditujukan kepadanya, sedang di manakah polisi ketika sejumlah ATM digondol perampok? Mengapa sepertinya perampok lebih cerdas membaca dirinya (polisi) dibanding polisi membaca ulah perampok?anggota Dewan Kota Malang
Pertanyaan masyarakat tersebut logis. Pasalnya, seperti diungkapkan Guru Besar Universitas Diponegoro yang juga sosiolog kenamaan, Satjipto Rahardjo, bahwa polisi itu penegak hukum jalanan, sedangkan jaksa dan hakim penegak hukum gedongan. Polisi dalam menunaikan tugasnya memasuki wilayah kehidupan masyarakat secara empirik, seperti bertarung langsung dengan penjahat. Sementara jaksa dan hakim dalam menjalankan profesinya hanya duduk di belakang meja, cukup menerima produk kerjanya, lantas mengolah dan menyelesaikannya.
Faktanya, polisi memang hidup dalam jagat profesi yang lebih menantang dan membahayakan. Polisi menjemput kasus lewat investigasi yang berpijak pada indikasi yang bersifat konkret. Baik perilaku yang didasarkan atas hukum maupun diskresi yang diambil, polisi diwajibkan menempatkan realitas konkret sebagai muatan istimewa kinerjanya.
Realitas konkret yang menjadi pijakan itulah, yang membuat polisi layak distigma sebagai penegak hukum jalanan. Pasalnya, paradigma yang dibangun dan apa yang diperbuatnya tidak boleh mengabaikan kondisi kebenaran objektif, termasuk kondisi meningkatnya supremasi kejahatan belakangan ini.
Dalam tataran itulah, polisi dituntut berbuat benar, jujur, dan manusiawi. Secara hukum, apa yang dikerjakan oleh polisi harus benar dan akuntabel menurut hukum. Sepanjang hukum memerintahkan polisi untuk menjalankan tugas investigasi dan penyidikan, maka polisi telah menjadi bagian dari pelaku law enforcement yang benar menurut hukum. Norma hukum wajib dijadikannya sebagai supremasi dan fondasi yang menjustifikasi gerak dinamika profesinya.
Kebenaran objektif menurut hukum tersebut merupakan tuntutan untuk menegakkan citra idealisme law in books. Artinya, ketika norma-norma telah menggariskan tugas dan kewenangan polisi untuk "berbuat", maka garis norma inilah yang wajib dipijakinya, tak boleh disimpangi, apalagi sampai dimanipulasi dan diamputasi. Misalnya, seperti digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang menyebutkan bahwa polisi dalam menjalankan tugasnya wajib berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sisi yuridis itu sudah jelas menunjuk pada profesi polisi yang berkewajiban mengedepankan norma hukum sebagai pilar sejati pekerjaannya. Pilar normatif ini idealnya menjadikan polisi bisa terbentuk kepribadiannya sebagai mesin perlindungan masyarakat atau, meminjam istilah penyair kenamaan A Syauqy Bey, sebagai "arsitek masyarakat berkeringat harum".
Norma hukum idealnya merupakan pelita atau petunjuk jalan bagi polisi dalam mengemban amanatnya. Perilaku yang ditunjukkan diharapkan merupakan deskripsi konkret dari perintah hukum, bukan perintah dirinya. Secara filosofis, polisi idealnya adalah sakralitas hukum itu sendiri. Pasalnya, gerak makro yang dimainkan ibarat gerak hukum itu sendiri. Ketika polisi menunaikan tugasnya, tidak bisa disalahkan jika masyarakat mengibaratkannya sebagai wajah kebenaran hukum itu sendiri. Dengan demikian, saat terjadi supremasi kejahatan, maka supremasi hukum ikut dipertanyakan.
Hukum yang melekat dalam baju dan peran-peran Polri merupakan "nyawa" yang mengindikasikan sejatinya negeri dengan bendera rechtstaat ini. Manakala polisi mampu menunjukkan keberanian dan kemampuan moral untuk menjalankan hukum secara konsekuen, berarti ia telah memosisikan dirinya sebagai penyebar kebajikan dan penyubur kebahagiaan di hati rakyat. Penyebaran dan penyuburan ini tidak ada bedanya dengan penyejarahan misi suci negara yang menyupremasikan kebenaran, keadilan, harmoni sosial, dan kemanusiaan.
Negara yang idealnya menghidupkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan itu sama maknanya dengan negara yang berbalutkan keharuman. Masyarakat yang hidup di negara berpilar dan bertaburkan keagungan nilai itu merupakan masyarakat yang beruntung. Pasalnya, masyarakat memperoleh jaminan keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan (lahir dan batin). Dalam tataran demikian, jelas polisi menjadi teladan yang menentukan, mengingat selain menjadi prajurit yang berani pasang badan, juga sebagai pendidik bagi masyarakat.
Pengaruh keteladanan kebenaran yang ditunjukkan oleh polisi akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan kampanye kebenaran. Seribu kali ucapan yang disampaikan oleh polisi tentang kebenaran hukum masih kalah dengan satu kali teladan kebenaran empirik yang ditunjukkan oleh polisi. Masyarakat tidak butuh bicara banyak, tetapi butuh bukti banyak pengabdiannya, seperti pemaksimalan kinerja melawan atau mendekonstruksi supremasi kejahatan. Rakyat sudah kenyang dengan janji, tetapi dahaga dengan realisasi amanat polisi yang benar-benar melindunginya.
Sayangnya, sering kali kampanye penegakan hukum yang disampaikan polisi belum diikuti gerakan-gerakan simpatik dan empatik yang mengarahkan masyarakat ke tataran sadar hukum dan menghormati citra aparat penegak hukum. Sebab, masyarakat yang menjadi "objek makro" kinerja polisi, banyak dihadapkan pada realitas yang bertolak belakang dengan idealisme hukumnya. Antara norma hukum di dalam law in books, misalnya, terjadi distorsi pemaknaan di realitas sebagai imbas dari perilaku aparat yang secara individual maupun kolektif terjerumus mereduksi dan mengamputasi kesakralan hukum.
Posisi hukum lebih sering dikebiri makna keberpihakan kerakyatan atau humanistiknya oleh tangan-tangan kekuasaan polisi sendiri yang terbius dalam pengultusan atau pembelaan korps dan zona-zona eksklusif strukturalnya. Mereka kemudian mengemas tugas dan wewenangnya tidak lagi dengan bahasa hukum dan bahasa rakyat, tetapi mendesainnya dengan bahasa kekuasaan atau pesan sponsor politik yang menghegemoninya. Dalam posisi ini, akhirnya polisi tergiring lebih berfokus memikirkan menjaga zona kepentingan internalnya dibanding melindungi secara maksimal zona kepentingan publik.
Deepak Copra dalam Freeman Potential Movement menuturkan, "Kepada siapa saja yang masih menginginkan kedamaian, kejayaan, dan kesejahteraan di republik ini, kita katakan, 'Your attitudes create the world' atau sikap mental andalah yang akan mengubah dunia." Dan, polisi di negeri ini jelas dituntut menunjukkan sikap demikian, jika mengidealkan dan mengidolakan perubahan bisa terwujud di tengah masyarakat, termasuk perubahan dari atmosfer supremasi kejahatan menuju supremasi masyarakat cinta damai.
Sumber: Suara Karya, 30 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!