Headlines News :
Home » » Ali Usman: Pembajakan Terhadap Tuhan

Ali Usman: Pembajakan Terhadap Tuhan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 28, 2010 | 1:53 PM



Ia kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta karena dihantui kegelisaan dan rasa penasaran. Sejak di Aliyah, ia sudah membaca buku pemikiran keagamaan dan filsafat. Jalan terbuka baginya membumikan toleransi melalui karya-karyanya.

Namun tatkala melihat realitas banyak muncul aksi-aksi kekerasan yang kerap bersimbol keagamaan, ia punya penilaian tersendiri. “Menurut saya itu adalah ‘pembajakan’ terhadap agama dan Tuhan itu sendiri,” ujar Ali Usman, intelektual muda Nahdlatul Ulama yang bergiat di Jemaah Masyarakat Nahdliyin Yogyakarta.


Ali, begitu ia akrab disapa, punya alasan mengapa pelaku kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan. Padahal, tidak ada agama mana pun menganjurkan umatnya melakukan tindakan kekerasan yang merugikan orang lain.


Indonesia merupakan sebuah negara yang plural baik suku, agama, ras, etnis, dan antargolongan. Kenyataan ini nampak indah. Namun, dalam praktek sepertinya menjadi barang langka. Di sana sini masih terjadi gesekan.


“Saya kira ini adalah persoalan bagaimana kita mestinya bisa ‘mengelola’ perbedaan itu. Sejujurnya, saya menyangsikan konflik atau gesekan yang terjadi di tengah masyarakat murni karena mempermasalahkan perbedaan agama, suku, maupun ras,” jelas Ali.


Ada banyak fakta terungkap kalau konflik seperti di Ambon atau Sambas bermula dari hal sepele. Misalnya, pertentangan antar individu atau kelompok yang setelah dilacak bermotif ekonomi dan politik.


“Namun, konflik itu terkesan ‘seolah-olah’ konflik agama, etnis, dan ras setelah disusupi kepentingan yang dimainkan mereka yang dengan konflik itu mungkin diuntungkan. Jadi faktor ‘luar-lah’ yang menyebabkan konflik akhirnya bergejolak. Apalagi ditambah liputan media yang kurang berimbang,” lanjut Ali.


Masyarakat Sadar


Ia ragu jika konflik disebabkan umat beragama maupun negara belum berperan di sana. Atau konflik bernuansa keagamaan, suku, agama, dan ras, dipicu lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan.


Secara kultural, katanya, masyarakat sadar dan menghargai perbedaan. Karena itu, dengan sendirinya pemahaman terhadap ‘pluralisme’ telah hidup dalam sanubarinya. Pluralisme di tengah masyarakat tidak berbentuk teoritis dan konseptual. Ia (pluralisme) menjadi pemahaman sekaligus perilaku yang mendarahdaging. Kesadaran ini ia sebut living pluralism.


“Menurut saya penyebab konflik bukan semata-mata lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan suku, agama, dan ras. Namun yang perlu diwaspadai adalah ‘faktor luar’,” katanya.


‘Faktor luar’ yaitu kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan membuat seolah-olah dikesankan konflik antar agama, suku, dan ras. Karena itu, masyarakat perlu disadarkan untuk tidak gampang ‘terprovokasi’ oleh bisikan-bisikan tertentu. Apalagi mengatasnamakan agama.


Sebagai warga negara, di situ tugas dan perannya. Kesadaran untuk tidak terprovokasi ‘faktor luar’ penting ditanamkan bagi setiap individu. Sementara negara, jelas Ali, mestinya bertindak tegas dan mengusut tuntas setiap terjadi letusan konflik.


Pengusutan tidak hanya sekadar menangkap pelaku yang ‘kasat mata’, tapi juga harus mengungkap aktor atau otak di balik layar yang ‘tak kasat mata’. Intervensi negara tidak pada wilayah pemahaman keagamaan —kalau pun itu diduga konflik antar-keyakinan/agama— tapi pada wilayah hukum. Bahwa warga bersangkutan telah melangggar stabilitas keamanan dan itu jelas melanggar hukum.


“Seperti pada kasus Jemaah Ahmadiyah. Pemerintah dan kelompok apa pun mestinya tidak perlu menghakimi ‘sesat’ pada ajarannya karena itu hak prerogratif Tuhan. Tugas negara di samping wajib menindak tegas pelaku kekerasan, juga melakukan langkah-langkah preventif,” ujar Ali.


Misalnya mencegah pemicu kekerasan yang salah satunya disebabkan fatwa-fatwa ‘sesat’. Baik dari ormas keagamaan maupun institusi keagamaan yang dibentuk atas inisiatif negara. Di titik ini peran agama dipertarukan.


Posisi dan peran agama-agama secara kelembagaan, kata Ali, penting untuk memberikan injeksi kesadaran kepada umatnya. Pertama, internalisasi terhadap perbedaan dengan cara menghargai keragaman itu. Kedua, kesadaran menjadi diri sendiri yang tidak gampang dipengaruhi. Apalagi terprovokasi memusuhi orang lain hanya karena berbeda.

Dialog

Mestinya, kata Ali, dialog inter maupun antar penganut agama cukup efektif dalam merawat pluralisme. Sayangnya, dialog kadang terjebak pada acara-acara seremonial-formal.


Artinya, kesadaran dialog terkesan hanya ‘pemanis bibir’ di ruang-ruang seminar dan diskusi kalangan elit agama. Namun, setelah itu tidak ada follow up ke grass root, penganutnya. Dengan ini ia tidak mau mengatakan bahwa diskusi yang mengusung tema dialog agama tidaklah penting.


“Justru yang saya gelisahkan adalah selain tidak ada follow up, acara seremonial-formal lebih berorientasi pada pemenuhan ‘proyek’ yang bersifat pragmatis atau bahkan oportunis demi citra diri di hadapan kelompok lain,” katanya


Ali juga menyoroti, saat ini terjadi kesenjangan antara pemuka agama dengan umat kalangan bawah. Kondisi ini jelas berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan umat.


Ia memberikan contoh keputusan atau fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, pengharaman facebook oleh salah satu cabang atau wilayah NU atau fatwa haram korupsi yang dikeluarkan MUI.


“Fatwa-fatwa itu ternyata tidak cukup efektif diikuti di internal. Apalagi berharap diikuti semua kalangan. Kalau komunikasinya baik, otomatis mestinya fatwa-fatwa itu efektif diikuti. Nyatanya, tidak. Ini juga berlaku untuk persoalan-persoalan lain, termasuk dialog inter dan antar penganut agama,” kritik Ali.


Menurutnya, agama harus dikembalikan pada khittahnya. Meminjam istilah Peter L. Berger, agama sesungguhnya kanopi suci, the secret canopy. Agama ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan.


Ia sebagai penyiram panasnya kehidupan yang dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dengan agama, manusia memiliki rasa damai, tempat bergantung, bahagia, dan ketenteraman hidup. Agama juga dapat melindungi manusia dari chaos, ketidakberartian hidup, dan situasi hidup tanpa arti.


“Jika terjadi aksi kekerasan bersimbol agama, itu adalah ‘pembajakan’ terhadap agama dan Tuhan. Tidak ada agama mana pun yang menganjurkan umatnya melakukan tindakan kekerasan yang dapat merugikan orang lain,” tandas Ali.


Kasus teranyar adalah aksi bersimbol keagamaan sebagaimana menimpa penganut Ahmadiyah maupun umat Kristiani di Ciketing, Bekasi, Jawa Barat. Insiden itu, katanya, merupakan wujud ‘faktor luar’. Sangat berbahaya jika tidak ‘dijinakkan’.


“Tak terbayangkan, gara-gara kasus Ahmadiyah atau Ciketing masyarakat yang semula tidak mempermasalahkan keberadaannya mulai terpengaruh ‘stereotip negatif’ setelah terjadi aksi kekerasan,” jelas Ali.


Ia menegaskan, yang kurang memahami arti perbedaan suku, agama, dan ras itu sebenarnya bukan kalangan masyarakat umum. Katakanlah warga yang tinggal di sekitar wilayah konflik.


“Mereka menjadi ‘korban’ dari provokasi isu negatif yang dihembuskan kelompok tertentu untuk memusuhi objek dari aksi kekerasan tersebut. Patut disalahkan adalah kelompok yang mengaku diri paling beriman dan paling taat beragama, yang umumnya mengusung bendera agama berideologi eksklusif dalam setiap aksi kekerasan,” ujar Ali.



Tokoh Pluralisme


Indonesia memiliki tokoh nasional yang getol membumikan semangat toleransi dan pluralisme. Misalnya, cucu pendiri Nahdlatul Ulama yang juga mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof Dr Nurcholis Madjid (Cak Nur), Prof Dr Ahmad Syafie Maarif, budayawan dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Rembang, KH Dr Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).


Atau kolumnis, sastrawan, arsitek, dan budawayan penerima Aga Khan Award Romo Mangunwijaya yang hidup bersama warga di Kali Code, ahli filsafat dan politik Pastor Prof Dr Franz Magnis Suseno atau Pdt Martin Lukito Sinaga, dan lain-lain. Para tokoh di atas mestinya jadi teladan dan panutan. Tapi, mengapa kekerasan bernuansa keagamaan masih terjadi? “Mungkin karena tidak semua orang mengagumi tokoh-tokoh pluralis itu,” ujar Ali.


Kebebasan dan kedamaian akhirnya menjadi barang mahal. Namun, menurut Ali, di situ tantanganya. Semua pihak dituntut memperjuangkannya. Ia optimis. Selama masih ada suara-suara kritis dari masyarakat, baik lewat lembaga swadaya masyarakat, ormas keagamaan, dan lain-lain, kebebasan dalam segala bidang bisa tercapai.


Pengalaman hidup yang mengantarnya menggeluti berbagai isu sosial-kemasyarakatan melalui artikelnya di media massa dan jurnal berangkat dari hal-hal kecil. Terutama dari lingkup tetangga maupun interaksi dengan rekan-rekan lintas agama. Baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan Penganut Kepercayaan. Begitu pula dengan sahabat-sahabat para intelektual, entah melalui seminar atau diskusi ilmiah.


”Saat kuliah S-2, banyak dosen Katolik. Mereka mengajar materi HAM dari perspektif Kristen. Saya suka baca buku karya penulis besar seperti St Agustinus, Mahatma Gandhi, Romo Mangun, dan lain-lain,” katanya.


Pengalaman perjumpaan itulah yang ikut mematangkan intelektual muda NU ini melahap berbagai tema baik politik, pendidikan, sosial, dan budaya melalui analisanya di berbagai media massa dan jurnal.


“Tema pluralisme itu berangkat dari kegelisahan saya. Mengapa banyak orang bertengkar gara-gara perbedaan agama, suku, dan ras? Lantas, jika memang pluralisme itu baik, mengapa masih terjadi kekerasan? Pertanyaan-pertanyan ini terus menggelayut dalam benak saya hingga saat ini,” ujarnya.


Padahal, sikap menghargai perbedaan sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan dipraktikkan dengan baik oleh Nabi Muhammad. Nah, mengapa perbedaan itu kerap gagal dipraktikkan di negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim, diakuinya itu memang problem pelik.


“Menurut saya hal itu sepertinya disebabkan karena ketidakmampuan sebagian orang menggali akar-akar sejarah keislaman. Banyak yang tidak mampu bahkan enggan melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam masa kini,” tandas Ali, pengagum Gus Dur, tokoh pluralisme dan guru bangsa. (Ansel Deri)



Sumber: HIDUP edisi 26 Desember 2010

Profil:


Ali Usman


Lahir : Sumenep, Madura, 20 April 1984

Istri : Lailiyatis
Anak : -
Orangtua : Abd. Rahiem & Ibu Maswiyatun
Saudara : Moh. Zeinudin & Moh. Imamuddin Baharsyah

Pendidikan:

• SDN Kebun Dadap Barat, Sumenep, Sampang, Madura, 1993
• SMP Saronggi, Sumenep, Sampang, Madura, 1999
• Madrasah Al-Ittihad Camplong, Sampang, Madura, 2003
• S-1 Teologi dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003-2007
• S-2 Agama dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008-2010

Organisasi:

• Aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Yogyakarta
• Aktif di NU & bergiat di Jemaah Masyarakat Nahdliyin Yogyakarta

Buku:


Kebebasan Adalah Nyawa Manusia: Menapaki Jejak-jejak Pemikiran Jean Paul Sartre dalam Ali Usman (ed) Kebebasan, dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama, Pilar Media Yogyakarta, tahun 2006

Cinta Sufistik sebagai Kritik Sosial dalam Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah: Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), Suka Press, tahun 2007
• Kontributor buku Masyarakat Berkomunikasi karya YB. Margantoro, tahun 2008.
• Editor Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah karya Moh. Shofan, Ar-Ruzz Media, tahun 2008
• Editor Gus Dur dan Negara Pancasila, tahun 2010
Menjadi Santri (segera terbit)

Menulis esai, opini, dan resensi di berbagai media lokal maupun nasional dan jurnal seperti The Jakarta Post, Jawa Pos, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Tempo, Bisnis Indonesia, Kontan, Republika, Sinar Harapan, Suara Karya, Surya, Suara Merdeka, Solopos, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Kaltim Post, Banjarmasin Post, Bali Post, GATRA, Jurnal STF Driyarkara, Jurnal Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Majalah Gerbong Gerakan Rakyat (GeGeR), Jurnal Universalia, Humanius, dan lain-lain.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger