Headlines News :
Home » » Diskusi Buku: Kereta dan Penyairnya

Diskusi Buku: Kereta dan Penyairnya

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, July 24, 2019 | 5:29 PM

KAMI bertemu suatu waktu lampau dalam sebuah acara di rumah kerabatnya di Cipayung, Jakarta Timur. Penyair Julia Utami menjanjikan membawakan saya Kereta dan Penyairnya satu eksemplar. “Nanti tak bawain buku baru y? Aku sama mas Daniel dan Viktor pasti datang. Jangan lupa y? Awas aku da bawain bukunya lo.” Begitu kata Julia. Daniel Boli Kotan, suami Julia & Victor Descartes Dalo Kotan, putra Julia ketemu bareng saat itu.

Julia Utami atau Julia Daniel Kotan mengundang saya ikut Misa mengenang tiga tahun Pak Petrus Ola Atawolo berpulang. Bapa Piet, kami biasa menyapanya begitu. Ia pegawai pada kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sampe pensiun hingga ajal menjemput. Beliau sesepuh kami dari kampung halaman, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Masih kerabat dekat keluarga Julia.

Usai Misa, antologi puisi Kereta dan Penyairnya saya terima. Juga Alexander Aur Apelaby, sahabat dari kampung sesama jurnalis tempo doeloe, juga kebagian satu eksemplar. Guru Alex Aur, mengajar di Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita Harapan, Tangeran, Banten. Usai terima buku, kami sekaligus diajak hadir acara launching, peluncuran Kereta dan Penyairnya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Jumat (19/7), Julia masih mengingatkan saya hadir di TIM. Ia menggaransikan bakal dibuat senang. Ada banyak seniman dan sastrawan kolega Julia hadir dalam acara tersebut. Saya bisa kenalan. Bahkan kata Julia, moderator Gusti Adi Tetiro, akan memandu acara bedah buku Kereta dan Penyairnya. Dua pembahasnya juga orang beken. Satu penyair kelas wahid Eka Budianta. Satu lagi Bara Pattyradja, penyair muda potensial asal Pulau Adonara, yang punya Pacar Gelap Puisi.

Sastra? Saya tak banyak terlibat bahkan menghasilkan karya-karya sastra, misalnya. Selama sekolah di Universitas Nusa Cendana Kupang, saya tak lebih sebagai penikmat saja. Beberapa kali mengirim naskah cerita pendek (cerpen) dan puisi kemudian nongol di Harian Pos Kupang edisi Minggu.

Paling kurang, seingat saya, ada sekitar 11 cerpen karya saya pernah diterbitkan Pos Kupang. Satu cerpen lagi, Penjual Mayat, diberitahu teman sempat ia baca di Harian Fajar Bali, Denpasar. Saya sempat mengirim Penjual Mayat dan Pohon Jati ke Fajar Bali, saat saya jadi kontributor koran itu untuk wilayah Jakarta.

Kembali soal sastra. Istilah sastra atau puisi tak banyak masuk gendang telinga saya saat masih sekolah di SDK Boto, Lembata, di kampung halaman tahun 1978-1979. Saya cuma ingat: istilah deklamasi. Biasanya, kalau ada pelajaran Bahasa Indonesia, guru saya Paulus Sari Kobun dan Ibu Edeltrudis Peni Burin menyuruh kami maju de depan kelas atau di tengah lapangan bola.

Satu per satu kami disuruh guru pasutri ini membacakan puisi, deklamasi di hadapan teman-teman. Puisi yang kami deklamasikan di depan kelas atau lapangan, adalah karya ibu Edeltrudis. Bangga juga kalau berekspresi dengan urusan deklamasi. Ibu Edel jago bikin puisi dengan tema guru atau panorama alam pegunungan (Mungkin karena sebagian waktu mengabdi di kampung-kampung di lereng gunung).

Tapi sekaligus bikin saya waspada kalau tampil di depan kelas atau lapangan. Kalau tak seimbang mengatur intonasi suara dan ekspresi tubuh, tali celana bisa putus. Saat itu, seingat saya, celana saya lebih banyak diikat dengan tali atau benang yang dipintal ibu. Hitungannya, tak mudah putus; lebih kuat. Berbeda dengan sebagian teman lain yang sudah pake ikat pinggang (gesper).

Saya dan sahabat Paskalis Bataona juga janjian basua di TIM. Bele Liko (saya biasa menyapa ala kampung) juga diundang penyair Julia tuk hadir di acara peluncuran tersebut. Selain sebagai bentuk dukungan kecil tuk Julia, kami bisa kongkow-kongkow bareng. Apalagi lama tak ketemu karena kesibukan masing-masing.

Hadir dalam acara Julia, guru SMP Santa Ursula, Jakarta, juga jadi kesempatan bertemu banyak sahabat. Juga para satrawan atau penyair yang sudah kenyang dengan urusan sastra tanah air. Ada Kurnia Effendi, Joze Rizal Manua, Romo Wi, Fanny Jonathans alias Fanny Poyk, putri sastrawan Gerson Poyk, budayawan dan penulis Usmand Ganggang, dan lain-lain. 
Jakarta, 21 Juli 2019 
Ansel Deri
Ket foto: Diskusi buku Penyair dan Keretanya karya Julia Utami yang menghadirkan penyair Bara Pattyradja dan Eka Budianta dengan moderator Gusti Tetiro di Pusat Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Sabtu, (20/7 2019) (gambar 1). Penulis (kanan) bersama bele Paskalis Bataona (kiri) dan penyair  Kurnia Effendi (tengah) (gambar 2).
SEBARKAN ARTIKEL INI :

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. mantap bele Ansel...
    Masih bae ikat pinggang dari benang buatan mama tua, saya dulu malah pake tali dari kulit pohon waru...yang penting ikat itu celana yang agak kedodoran biar jangan jatuh sendiri ..ngeri to bele..kan bisa plengor itu kolong pohong...hehehe

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger