KAMI bertemu
suatu waktu lampau dalam sebuah acara di rumah kerabatnya di Cipayung, Jakarta
Timur. Penyair Julia Utami menjanjikan membawakan saya Kereta dan Penyairnya
satu eksemplar. “Nanti tak bawain buku baru y? Aku sama mas Daniel dan Viktor
pasti datang. Jangan lupa y? Awas aku da bawain bukunya lo.” Begitu kata Julia.
Daniel Boli Kotan, suami Julia & Victor Descartes Dalo Kotan, putra Julia
ketemu bareng saat itu.
Julia Utami
atau Julia Daniel Kotan mengundang saya ikut Misa mengenang tiga tahun Pak
Petrus Ola Atawolo berpulang. Bapa Piet, kami biasa menyapanya begitu. Ia
pegawai pada kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sampe pensiun
hingga ajal menjemput. Beliau sesepuh kami dari kampung halaman, Lembata, Nusa
Tenggara Timur. Masih kerabat dekat keluarga Julia.
Usai Misa,
antologi puisi Kereta dan Penyairnya saya terima. Juga Alexander Aur Apelaby,
sahabat dari kampung sesama jurnalis tempo doeloe, juga kebagian satu
eksemplar. Guru Alex Aur, mengajar di Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita
Harapan, Tangeran, Banten. Usai terima buku, kami sekaligus diajak hadir acara
launching, peluncuran Kereta dan Penyairnya di Pusat Dokumentasi Sastra HB
Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Jumat (19/7),
Julia masih mengingatkan saya hadir di TIM. Ia menggaransikan bakal dibuat
senang. Ada banyak seniman dan sastrawan kolega Julia hadir dalam acara
tersebut. Saya bisa kenalan. Bahkan kata Julia, moderator Gusti Adi Tetiro,
akan memandu acara bedah buku Kereta dan Penyairnya. Dua pembahasnya juga orang
beken. Satu penyair kelas wahid Eka Budianta. Satu lagi Bara Pattyradja,
penyair muda potensial asal Pulau Adonara, yang punya Pacar Gelap Puisi.
Sastra? Saya
tak banyak terlibat bahkan menghasilkan karya-karya sastra, misalnya. Selama
sekolah di Universitas Nusa Cendana Kupang, saya tak lebih sebagai penikmat
saja. Beberapa kali mengirim naskah cerita pendek (cerpen) dan puisi kemudian
nongol di Harian Pos Kupang edisi Minggu.
Paling kurang,
seingat saya, ada sekitar 11 cerpen karya saya pernah diterbitkan Pos Kupang.
Satu cerpen lagi, Penjual Mayat, diberitahu teman sempat ia baca di Harian
Fajar Bali, Denpasar. Saya sempat mengirim Penjual Mayat dan Pohon Jati ke
Fajar Bali, saat saya jadi kontributor koran itu untuk wilayah Jakarta.

Satu per satu
kami disuruh guru pasutri ini membacakan puisi, deklamasi di hadapan
teman-teman. Puisi yang kami deklamasikan di depan kelas atau lapangan, adalah
karya ibu Edeltrudis. Bangga juga kalau berekspresi dengan urusan deklamasi.
Ibu Edel jago bikin puisi dengan tema guru atau panorama alam pegunungan
(Mungkin karena sebagian waktu mengabdi di kampung-kampung di lereng gunung).
Tapi sekaligus
bikin saya waspada kalau tampil di depan kelas atau lapangan. Kalau tak
seimbang mengatur intonasi suara dan ekspresi tubuh, tali celana bisa putus.
Saat itu, seingat saya, celana saya lebih banyak diikat dengan tali atau benang
yang dipintal ibu. Hitungannya, tak mudah putus; lebih kuat. Berbeda dengan
sebagian teman lain yang sudah pake ikat pinggang (gesper).
Saya dan
sahabat Paskalis Bataona juga janjian basua di TIM. Bele Liko (saya biasa
menyapa ala kampung) juga diundang penyair Julia tuk hadir di acara peluncuran
tersebut. Selain sebagai bentuk dukungan kecil tuk Julia, kami bisa
kongkow-kongkow bareng. Apalagi lama tak ketemu karena kesibukan masing-masing.
Hadir dalam
acara Julia, guru SMP Santa Ursula, Jakarta, juga jadi kesempatan bertemu
banyak sahabat. Juga para satrawan atau penyair yang sudah kenyang dengan
urusan sastra tanah air. Ada Kurnia Effendi, Joze Rizal Manua, Romo Wi, Fanny
Jonathans alias Fanny Poyk, putri sastrawan Gerson Poyk, budayawan dan penulis
Usmand Ganggang, dan lain-lain.
Jakarta, 21
Juli 2019
Ansel Deri
Ket foto: Diskusi buku Penyair dan Keretanya karya Julia
Utami yang menghadirkan penyair Bara Pattyradja dan Eka Budianta dengan moderator
Gusti Tetiro di Pusat Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta,
Sabtu, (20/7 2019) (gambar 1). Penulis (kanan) bersama bele Paskalis Bataona (kiri) dan penyair
Kurnia Effendi (tengah) (gambar 2).
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletemantap bele Ansel...
ReplyDeleteMasih bae ikat pinggang dari benang buatan mama tua, saya dulu malah pake tali dari kulit pohon waru...yang penting ikat itu celana yang agak kedodoran biar jangan jatuh sendiri ..ngeri to bele..kan bisa plengor itu kolong pohong...hehehe
Terima kasih kisahmu bele Ansel...
ReplyDelete