Headlines News :
Home » » Hijrah Menuju Keberadaban

Hijrah Menuju Keberadaban

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, December 09, 2010 | 11:52 AM

Oleh Said Aqiel Siradj
Ketua Umum PBNU

HIJRAH begitulah kata yang kerap kita dengar. Kata dari bahasa Arab ini rasanya sudah sedemikian akrab. Orang bisa dengan enteng menyebut si fulan telah hijrah ke luar kota. Ya, hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Menurut catatan kitab Lisan al-‘Arab, hijrah berarti pindah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Menurut kitab al-Qamus al-Muhith, artinya meninggalkan sesuatu.

Nah, saat ini umat Islam kembali memasuki Muharam, menandai kedatangan kembali tahun Hijriah. Memang gegap gempita tidak seperti saat tahun baru Masehi yang sebentar lagi mau menyapa kita. Tentu saja, bukan kemeriahan yang ingin diwujudkan dalam menyambut tahun baru ini. Bukankah sesungguhnya peristiwa Hijrah lebih menggambarkan momentum perubahan masyarakat daripada perubahan secara individual? Peristiwa hijrah Nabi Muhammad menandai perubahan masyarakat Jahiliyah saat itu menjadi masyarakat berperadaban (madani). Dari masyarakat yang antikemanusiaan menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ini bertaut erat dengan eksistensi Islam sebagai din al-ilmi wa al-tamaddun, agama ilmu dan peradaban.

Masyarakat Berperadaban

Peristiwa hijrah terjadi pada tahun ke-13 kenabian Muhammad SAW. Sejak peristiwa hijrah inilah, terbentuklah suatu tatanan masyarakat egaliter, saling menghormati dan tegak nilai-nilai keadilan. Karena itu, dipilihlah nama Madinah sebagai pengganti nama Yatsrib yang merujuk pada pengertian sebagai kota berperadaban.

Demi memuluskan cita membangun masyarakat yang berperadaban, pertama kali dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabat ketika sampai di Madinah adalah mendirikan masjid. Masjid memegang peran penting di samping sebagai tempat ibadah. Masjid menjadi kawah candradimuka dalam menanamkan pengajaran keislaman dan menyusun berbagai aktivitas peradaban. Masjid yang dibangun nabi menjadi ruang publik bagi semua golongan. Tidak ada dominasi satu kabilah atau golongan.

Pembangunan masjid saat hijrah menyuratkan sebuah pembangunan paradigma. Begitulah, Nabi Muhammad telah melakukan satu perubahan paradigma dari pemahaman politeis dan sikap kejahiliyahan menjelma menjadi pemahaman tauhid yang akan berdampak pada pola hubungan horizontal. Yakni, semua manusia di depan Tuhan sama (al-musawah bain al-nas). Maka, akan terciptalah persaudaraan atas dasar kesamaan. Dalam peristiwa hijrah, Nabi Muhammad juga melakukan langkah mediasi dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshor Sebelumnya, di Madinah terjadi konflik berkepanjangan antara kaum Aus dan Khajraj. Mereka baru berdamai setelah kedatangan Nabi ke Madinah. Kehidupan masyarakat Arab kala itu memang sangat diwarnai sukuisme dalam pola hubungan sosiologis.

Hijrah Nabi telah merekahkan fajar pencerahan melalui doktrin persaudaraan atas dasar takwa, kasih sayang dan kepedulian. Nabi memerintahkan agar kaum Anshor mau membagikan apa yang mereka miliki kepada kaum Muhajirin yang miskin. Bagi mereka yang punya bakat di bidang pertanian, disediakan lahan pertanian. Bagi yang berbakat berdagang, dia akan mendapatkan modal. Inilah yang layak disebut sebagai pembangunan ekonomi kolektif.

Dalam hijrah, Nabi juga membangun komitmen bersama dengan ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani, yaitu komitmen bersama saling menghormati, tidak saling mengganggu dan menjaga keamanan bersama. Komitmen bersama ini dikenal dengan Piagam Madinah. Ini menjadi konstitusi pertama yang ditetapkan atas dasar konsesus bersama antara beberapa pihak dalam kerangka membangun Hak Asasi Manusia (HAM). Model masyarakat muslim awal ini--meminjam istilah Nurcholish Madjid--merupakan prototipe masyarakat madani atau masyarakat kosmopolitan.

Di sini pulalah, dapat dimengerti mengapa penetapan awal dalam penanggalan Islam diambil dari peristiwa hijrah, yaitu pindahnya Nabi dan umat Islam dari kota Mekkah menuju Madinah. Dalam menentukan ini, Khalifah Umar bin al-Khattab harus berdebat dengan beberapa sahabat mengenai peristiwa hijrah sebagai penentuan tahun pertama dalam Islam.

Sang Khalifah tidak memilih kelahiran Nabi, tidak juga masa diutus Nabi, masa kemenangan pertama dalam peperangan, atau masa awal pembukaan Kota Mekkah sebagai pintu dari pembukaan kota-kota dunia berikut. Justru peristiwa hijrah yang dipilih oleh Umar. Pilihan ini tentu saja didasarkan banyak pertimbangan. Antara lain, karena peristiwa hijrah tidak hanya memuat ritualitas keagamaan, tetapi sarat kebijakan mulia untuk kemaslahatan umat. Yaitu, kebijakan terbebaskan dari penindasan, kezaliman dan kekerasan, menuju komunitas lebih menjamin nilai-nilai persaudaraan, persatuan, kesetaraan dan keadilan. Jika kesadaran "politik keadilan" ini tidak menjadi perspektif, maka fakta hijrah hanya akan menyodorkan nama dan peristiwa semata.

Indonesia Berhijrah

Bagi bangsa kita yang saat ini diterpa musibah bencana alam dan segala masalah krusial lain, rasanya justru saat inilah momen tepat memaknai hijrah. Kita perlu merenungkan, apa yang salah dengan semua ini? Sudahkah kita membangun cara pandang, mental dan kepribadian bangsa ini? Alam yang subur nan indah yang dianugerahkan Allah bagi bangsa ini sudah semestinya dirawat dengan sebaik-baiknya. Ini agar hidup berasa nyaman dari gangguan alam karena ulah manusia yang tamak. Hutan yang rindang janganlah ditebang seenaknya. Lautan dan sungai yang memanjang elok janganlah dicemari. Kita bersama sudah mendesak mewujudkan kembali negeri hijau permai demi menyelamatkan alam ini. Kesadaran lingkungan yang tengah bergaung akibat pemanasan global menjadi pertanda harus mulai berbenah diri dengan segala ikhtiar maksimal.

Di altar lain, memudarnya rasa nasionalisme dan kepedulian juga menjadi pertanda ada yang tak beres di sekitar kita. Ini harus segera dilakukan pembenahan. Kita seperti lebih mudah tersilap dengan budaya dan barang impor, padahal memiliki khazanah budaya amat kaya serta etos kerja tak kalah dengan bangsa lain. Kita butuh memekarkan kembali rasa kepedulian. Kita teladani sejarah hijrah ketika kaum Anshor rela dan ikhlas membantu saudara kaum Muhajirin dengan memberikan lapangan pekerjaan atau membagikan harta. Kita harus keluar dari "Kota Mekkah" menuju "Kota Madinah" yang berperadaban. Inilah simbol bahwa kita harus keluar dari "keakuan", "ananiyah" atau egoisme. Untuk berhijrah pada kehidupan beradab dengan menanggalkan ketamakan serta keangkuhan menganggap diri kitalah yang paling benar.

Kita perlu mengevaluasi secara kritis agar tidak terjebak pada politik menguasai dan meninggalkan tujuan awal, yakni keadilan. Sering kali, menghadapi diri sendiri jauh lebih berat jika dibandingkan menghadapi orang lain. Inilah yang dikatakan Nabi Muhammad sebagai jihad besar, jihad melawan hawa nafsu. Tak ayal, dengan semangat hijrah, bersama kita rengkuh cita peradaban dengan mengawali pada diri untuk belajar lebih beradab. Kemudian akan menjasad dalam mentalitas bangsa yang tangguh, berdikari dan selalu menggenggam sikap keadilan sebagai langkah menuju negeri yang berperadaban.
Sumber: Jurnal Nasional, 9 Desember 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger