Headlines News :
Home » » Mesir Pasca-Mubarak

Mesir Pasca-Mubarak

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, February 14, 2011 | 1:34 PM

Oleh Zuhairi Misrawi
Analis Politik Timur Tengah dan Saksi Mata Revolusi di Mesir

Pasca-jatuhnya Hosni Mubarak dari kursi kekuasaannya pada hari Jumat (11/2) malam, rakyat Mesir hidup dalam pesta pora revolusi yang gegap gempita. Suasana di seluruh provinsi terus hanyut dalam kegembiraan hingga saat ini.

Meski demikian, di tengah kemeriahan memperingati kemenangan revolusi 25 Januari, jalan membangun dan memperkuat demokrasi—sebagaimana menjadi tuntutan kaum muda dan rakyat Mesir pada umumnya—masih sangat gelap. Kaum muda yang merupakan aktor utama dalam revolusi tersebut masih bertahan di Alun-alun Tahrir. Di satu sisi, sebagian rakyat sudah puas dengan mundurnya Hosni Mubarak. Tetapi, di sisi lain, tidak sedikit dari mereka—khususnya kalangan muda—menghendaki sebuah perubahan bersifat radikal dalam politik Mesir.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi titik krusial yang dapat mengganjal penguatan institusi demokrasi pasca-Mubarak. Pertama, masih kuatnya anasir-anasir ”Mubarokisme”, yaitu mereka yang masih loyal terhadap rezim Mubarak. Pemerintahan yang mengendalikan birokrasi di Mesir adalah para loyalis Mubarak. Militer yang dapat mandat memimpin pemerintahan transisi adalah pihak yang selama ini loyal terhadap Mubarak.

Kejatuhan Mubarak tidak serta-merta menjatuhkan anasir-anasir yang selama ini loyal dan punya kedekatan khusus dengan Mubarak. Hal tersebut akan menjadi tantangan terberat dalam rangka membangun era baru Mesir tanpa anasir-anasir masa lalu, yang telah menjadikan rakyat terpuruk dalam penindasan dan kemiskinan. Karena itu, dalam rangka memantau sejauh mana militer mempunyai keseriusan memenuhi tuntutan mereka dalam melahirkan era baru yang lebih demokratis dan menjamin keadilan, kaum muda membentuk Dewan Pengawasan Pertahanan Revolusi. Salah satunya, memastikan habisnya anasir-anasir yang selama ini menjadi kroni Mubarak.

Kedua, sejauh mana kekuasaan militer dalam pemerintahan transisi. Pengalihan kekuasaan dari Hosni Mubarak kepada militer sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi. Tidak ada pasal yang dapat membenarkan pengalihan pemerintahan transisi kepada militer, karena pengalihan kekuasaan hanya dapat diserahkan kepada wakil presiden (jika berhalangan sementara) atau parlemen (jika berhalangan selama-lamanya).

Oleh karena itu, mulai muncul di kalangan oposisi agar pemerintahan transisi tidak secara serta-merta diserahkan kepada militer. Diperlukan terobosan konstitusional agar pemerintahan transisi merupakan pemerintahan kolektif yang terdiri dari berbagai unsur. Adapun militer hanya salah satu unsur dalam pemerintahan kolektif tersebut.

Meskipun militer telah menjamin bahwa pihaknya akan menjamin pemerintahan dari kalangan sipil pada pemilu yang akan datang, rakyat Mesir tidak secara mentah-mentah menelan janji militer. Mereka mencermati dengan saksama permainan politik dari kalangan militer. Krisis politik yang menimpa Mesir sejak tahun 1952 hingga akhir era Hosni Mubarak lebih karena hegemoni militer serta hilangnya peran sipil dan masyarakat sipil dalam politik praktis.

Ketiga, masa depan perdamaian di Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina. Faktor ini merupakan kunci utama bagi masa depan Mesir pasca-Mubarak. Intervensi pihak luar, sebagaimana diisyaratkan Mubarak dalam pidato terakhirnya, merupakan fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa AS dan sekutunya punya kepentingan yang sangat besar untuk memastikan keamanan dan stabilitas politik di Timur Tengah.

Sebenarnya AS merasa nyaman berhubungan dengan Hosni Mubarak dalam hal stabilitas politik di Timur Tengah. Akan tetapi, Presiden AS Barack Obama memandang aspirasi rakyat Mesir yang begitu masif mendesak jatuhnya Mubarak juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab itu, pengalihan kekuasaan kepada militer merupakan jalan tengah untuk merespons protes rakyat Mesir dan menjamin perdamaian di Timur Tengah. Militer sejak memimpin pemerintahan transisi sudah memastikan jika perdamaian Timur Tengah tidak akan mengalami perubahan yang bersifat signifikan.

Alhasil, Mesir pasca-Mubarak masih dibayang-bayangi di antara perubahan ke arah demokrasi yang menjamin pemerintahan dipimpin kalangan sipil dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat dan kemandirian ekonomi, dengan garansi perdamaian di Timur Tengah. Membincangkan masa depan demokrasi tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan AS dan sekutunya agar Israel dapat dipastikan aman dan stabil dari gangguan musuh-musuhnya. Sudah pasti AS tidak akan tinggal diam membiarkan proses demokrasi tanpa keberpihakan yang jelas terhadap perdamaian di Timur Tengah.

Thomas L Friedman dalam International Herald Tribune menyatakan, perundingan perdamaian akan menjadi kunci dari masa depan Mesir pasca-Mubarak. Israel merupakan pihak yang merasa dirugikan atas jatuhnya Hosni Mubarak. Jika tidak hati-hati, maka era baru Mesir akan ditandai dengan berakhirnya perjanjian perdamaian di Timur Tengah yang selama ini dinikmati oleh Israel.

Pemimpin baru

Di tengah pesimisme dan kegelapan perihal masa depan Mesir pasca-Mubarak, satu hal yang hampir bisa dipastikan adalah Mesir akan mempunyai pemimpin baru. Era Mubarak telah pergi ditelan angin revolusi, dan segera lahir pemimpin baru yang akan mengemban tugas perubahan.

Kendati demikian, sosok yang akan memimpin Mesir pasca-Mubarak masih belum menjadi perbincangan publik. Ada beberapa tokoh yang muncul ke permukaan, seperti Mohamed ElBaradei, Amr Mousa, Omar Suleiman, Ayman Nour, dan Shami Hafez Anan.

Tokoh-tokoh itu mempunyai pengalaman dalam politik di Mesir, kecuali ElBaradei, yang masa hidupnya dihabiskan di luar negeri sebagai ahli atom. Karena itu, pasca-pengumuman mundurnya Hosni Mubarak, ElBaradei menegaskan tidak akan ikut serta dalam pencalonan presiden pada September yang akan datang. Barangkali, alasannya, karena ia memang tidak punya pengalaman dalam politik praktis.

Dengan demikian, sosok-sosok yang akan bersaing dalam pemilihan kursi kepresidenan adalah mereka yang sebenarnya mempunyai hubungan dengan Hosni Mubarak. Hanya ada satu sosok yang selama ini menentang keras rezim Mubarak, yaitu Ayman Nour.

Dengan kata lain, Mesir pasca-Mubarak sebenarnya masih dalam bayang-bayang Mubarak. Tidak mudah bagi rakyat Mesir untuk mewujudkan perubahan sesuai dengan tuntutan rakyat. Upaya ke arah tersebut memerlukan kontrol yang intensif dari rakyat, baik melalui upaya-upaya politik di parlemen maupun memperkuat masyarakat sipil. Di samping itu, Facebook dan Twitter akan menjadi media sosial yang paling efektif dalam mengontrol pemerintahan pasca-Mubarak.
Sumber: Kompas, 14 Februari 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger