Dosen Fisip Universitas Nasional, Jakarta;
Sedang Menulis Disertasi tentang Militer dan Politik di Turki
Sedang Menulis Disertasi tentang Militer dan Politik di Turki
Setelah delapan belas hari aksi demonstrasi rakyat menewaskan lebih dari 300 orang dan melukai ribuan lainnya, Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya mengundurkan diri.
Wakil Presiden Omar Suleiman melalui pernyataan yang disiarkan langsung televisi nasional Mesir mengatakan bahwa untuk sementara pemerintahan dipegang oleh Dewan Agung Militer Mesir (Kompas, 12/2/2011).
Hal tersebut membuktikan bahwa militer merupakan kekuatan politik yang penting dalam proses transisi pasca-Hosni Mubarak. Selama demonstrasi berlangsung, terkesan kuat bahwa pihak militer dapat cukup menahan diri untuk tidak bertindak represif. Militer semakin tampak enggan merepresentasikan diri sebagai pelindung setia rezim Mubarak yang kadar popularitasnya, meminjam sastrawan perempuan Mesir, Nawal el Sadawi, ”di titik nol”.
Bahkan, militer cukup berhasil dalam mengendalikan keadaan, dan tidak serta- merta dipandang sebagai musuh kaum demonstran. Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila militer bertindak represif membubarkan demonstrasi anti-Mubarak. Kalau itu terjadi, mungkin kondisinya akan mirip Peristiwa Tiananmen, 1989.
Militer dan demokrasi
Steven A Cook dalam Ruling but Not Governing, the Military and Political Development in Egypt, Algeria, and Turkey (2007) mencatat, militer (military enclave) merupakan kekuatan politik penting pelindung rezim yang berkuasa di ketiga negara yang menjadi kajian studinya. Namun, dalam kasus Turki, sejak isu demokrasi mengemuka yang tak lepas dari tekanan Uni Eropa dan hadirnya pemerintahan AKP sejak 2002, pengaruh politik militer mulai melemah.
Cook menggarisbawahi pola dominasi militer sebagai pelindung rezim politik otoritarian telah terpatahkan di Turki. Tetapi tidak demikian halnya di Aljazair dan Mesir. Namun, dapat dicatat sekarang, militer sangat berpeluang untuk mengakhiri transisi politik ke arah rezim yang demokratis di Mesir.
Polanya akan cenderung sama dengan kasus Portugal 1974, yang menarik perhatian Samuel P Huntington sehingga mencatatnya dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), sebagai pemicu gelombang demokrasi ketiga. Bedanya, pada kasus Portugal, militer melakukan kudeta, tetapi lantas menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Dewan Agung Militer, yang tengah membawa bola politik, tak punya pilihan selain mengakomodasi tuntutan demokratisasi warga Mesir yang jengah dengan praktik-praktik politik rezim sebelumnya. Ujung dari proses politik transisi diharapkan tercipta suatu pemerintahan yang demokratis. Karena itu, agenda terpenting untuk segera direalisasikan oleh Dewan Agung Militer adalah mempersiapkan pemilu yang demokratis.
Kasus Turki dan Mesir setidaknya menunjukkan bahwa militer merupakan variabel politik yang penting dalam proses demokrasi di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Keduanya, dalam batas keunikan kasus masing-masing, akan dapat menjadi contoh model bagi negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika lainnya. Ini akan menjadi bagian dari jawaban, apakah Islam kompatibel dengan demokrasi.
Tidak diskriminatif
Sekarang, yang menjadi isu sensitif di negara-negara Muslim adalah kekhawatiran hadirnya kelompok-kelompok Islam radikal di pentas politik. Di Mesir, kelompok Ikhwanul Muslimin termasuk yang dikhawatirkan. Tetapi, yang perlu dicatat, dalam kasus Turki dan Indonesia, misalnya, yang mengemuka justru fenomena Muslim demokrat di mana kekuatan politik Muslim mampu memainkan peran penting dalam demokrasi.
Manakala instrumen-instrumen demokrasi telah tertanam kokoh, keterbukaan politik mekanisme checks and balances tercipta, maka diasumsikan proses deradikalisasi politik akan terjadi dengan sendirinya. Dalam konteks transisi politik di Mesir, sikap dan kebijakan yang tidak diskriminatif dalam pengelolaan politik pasca-Mubarak tentu saja menjadi persyaratan yang penting.
Kalau jalan pemilu yang dipilih, maka rakyat Mesir akan memberikan legitimasi dan menentukan rezim demokratis pasca-Mubarak. Adapun bagaimana dampak rezim politik pasca-Mubarak terhadap konstelasi politik regional Timur Tengah dan internasional, perlu pembahasan tersendiri.
Belajar dari peran militer sebagai pendorong demokratisasi, seyogianya militer Mesir tidak membuat blunder dalam proses transisi. Prioritas mendesak mereka menjaga stabilitas politik, agar kerugian-kerugian sosial dan ekonomi tidak semakin membesar pasca-demonstrasi. Rakyat harus berkonsentrasi kembali untuk bekerja di bidangnya masing-masing setelah berhasil menumbangkan rezim Mubarak, sembari mengawasi proses transisi demokrasi.
Sumber: Kompas, 14 Februari 2011

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!