Headlines News :
Home » » Memaknai Kemerdekaan

Memaknai Kemerdekaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 16, 2012 | 3:51 PM

Oleh F Budi Hardiman
Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara

”Apa yang meninggikan manusia; tak lain daripada kepribadian, yaitu kebebasan dan kemerdekaan dari mekanisme seluruh alam.” Menarik untuk merenungkan makna kemerdekaan yang dirumuskan oleh Immanuel Kant ini. Tiada kemerdekaan tanpa kepribadian dan tiada kemerdekaan selama kita menjadi korban ”mekanisme seluruh alam”.

Frasa terakhir ini mengacu pada dorongan bertahan hidup/kesintasan (survival) manusia sebagai makhluk hidup di alam ini. Kemerdekaan bukan sekadar persoalan survival, melainkan penemuan jati diri. Demikian juga apa yang meninggikan suatu bangsa adalah kemampuan bangsa itu untuk menemukan jati dirinya yang mengatasi desakan-desakan survival-nya.

”Zoe” dan ”Bios”

Teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta 67 tahun yang lalu dimulai dengan frasa ”Kami Bangsa Indonesia”. Kemerdekaan adalah sebuah penegasan diri, yaitu lepas dari kuk perhambaan, dekolonisasi. Kelompok ini –yang kemudian menyebut diri ’bangsa Indonesia’– menegaskan eksistensinya di hadapan penindasnya.

Eksklusi dari kalangan tuan-tuan penjajah itu diiringi kehendak untuk inklusi ke dalam kalangan bangsa-bangsa merdeka dan setara. Adanya musuh bersama memungkinkan inklusi berbagai subkelompok di dalamnya menjadi suatu bangsa. Dilihat dari sisi ini kemerdekaan adalah bagian survival suatu kelompok di dalam medan pertarungan antarbangsa.

Tentu kemerdekaan suatu bangsa lebih dari sekadar persoalan survival karena kehidupan manusia tidak melulu tunduk pada mekanisme biologis. Orang Yunani kuno memiliki dua kata yang berbeda untuk ’kehidupan’, yakni zoe dan bios. Kata zoemengacu pada kehidupan pada umumnya yang dimiliki makhluk hidup, entah itu tetumbuhan, hewan, atau manusia.

Seperti spesies lain kita manusia menjalani keniscayaan survival dengan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi, dan ekskresi. Zoe adalah hidup alamiah yang dijalani semua makhluk hidup, Dalam Homo Sacer, Giorgio Agamben berpendapat, zoe dijalani oleh mereka yang kehilangan hak-hak dan identitasnya. Para tahanan kamp konsentrasi Nazi, misalnya, diidentifikasi sebagai nomor belaka. Kehidupan mereka tidak terlindung, rentan terhadap kesewenang-wenangan, maka disebutnya la nuda vita(hidup belaka).

Kata lain untuk kehidupan adalah bios. Yang diacu di sini adalah cara atau ”bentuk kehidupan spesifik” yang pantas dijalani hanya oleh manusia sebagai individu atau kelompok. Bios inilah yang dimaksud Aristoteles dalam Politica dengan kehidupan bernegara, suatu cara hidup yang ditempa oleh proses berbagi nilai, identitas, dan narasi bersama lewat pemakaian bahasa.

Dengan bernegara manusia tak hidup sebagai makhluk belaka, melainkan sebagai warga negara, yaitu memiliki identitas, martabat, dan dilindungi oleh hak-hak keanggotaan dalam negara. Aristoteles menulis tujuan bernegara bukanlah untuk bertahan hidup belaka, melainkan mengejar ”hidup yang baik”. Dalam arti ini bernegara, bios politikos merupakan ungkapan kebebasan yang melampaui keniscayaan alamiah. Ciri lebih inilah yang disebut oleh Hegel Geist (roh).

Suatu bangsa disebut ’merdeka’ dalam arti bios ini bila bangsa itu mengorganisasikan diri ke dalam sebuah tatanan hukum yang disahkannya sendiri. ”Kami bangsa Indonesia” lalu juga berarti suatu tekad moral untuk hidup bersama secara politis yang melampaui tembok-tembok suku, agama, ras, dan golongan. Itulah dasar ”kepribadian” yang dimaksud oleh Kant. Dari tengah-tengah anonimitas bangsa terjajah kepribadian itu tampil ke muka oleh keberanian untuk memulai suatu permulaan baru. Bagaikan ’mukjizat’ tindakan pendasaran republik modern itu menembus hal-hal yang mustahil sekaligus tak terduga, bahaya sekaligus peluang perubahan. Tekad moral untuk hidup bersama dalam republik itulah yang menjadikan kita Indonesia.

Tantangan Globalisasi

Globalisasi pasar adalah tantangan bagi bios. Ekonomi beroperasi dengan logikasurvival yang merupakan ciri zoe. Sejauh pasar mendikte wilayah politik, logika survivalmengambil alih bios. Keutamaan, karakter, pendirian, dan bahkan jati diri yang memberikan ciri spesifik bios memudar ditelan universalitas kehidupan yang didikte oleh desakan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi, dan ekskresi. Negara sebagai sistem hukum bagaikan bendungan yang tidak sanggup lagi menahan pasar sehingga politik kontemporer makin sulit membedakan dirinya dari ekonomi. Ketika uang menjadi segalanya dan jual- beli menjadi paradigma hubungan sosial, yang tersisa tinggal suatu kehidupan yang tidak terlindung dari kesewenangan, zoe.

Sosok enigmatis yang menjadi judul buku Agamben dapat menjelaskan bagaimana zoemenjadi aturan harian politik kontemporer. Homo sacer adalah istilah yuridis Romawi kuno untuk seorang yang dikucilkan dari kota karena pelanggaran berat. Sejak diumumkan sebagai homo sacer orang ini boleh dibunuh siapa saja, tetapi tak boleh dipakai sebagai korban nyawa dalam ritual religius. Singkatnya, homo sacer adalah seorang yang kehilangan semua hak dan pribadi moralnya sehingga ia menjalani hidup belaka yang penuh kesewenang-wenangan, la nuda vita.

Dalam politik kontemporer sosok itu adalah para pengungsi, para korban perdagangan manusia, para korban penggusuran, kaum marjinal, para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan seterusnya. Kalau komersialisasi dan kepentingan privat melanda semua hubungan, termasuk politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, agama, dan hukum, gagal membatasinya untuk melindungi individu, setiap orang menjadi korban potensial bagi orang lain. Kita lalu boleh setuju dengan Zizek yang mengatakan bahwa dalam milenium ketiga ini kita semua adalah homines sacri. Dalam kompleksitas baru itu kemerdekaan terkait dengan keberhasilan demokratisasi dan supremasi HAM dalam masyarakat kita.

Suatu bangsa yang dirongrong oleh penyakit kronis korupsi, diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran HAM, dan dihantui oleh kemiskinan menjalani kehidupan yang tidak terproteksi dari kesewenang-wenangan. Sulitlah menyebut kehidupan seperti itu sebagai merdeka. Karena itu, kemerdekaan sebagai dekolonisasi memang telah diraih, tetapi kemerdekaan sebagai perwujudan kehidupan di dalam republik para warga negara adalah suatu proyek yang belum selesai. Akan selalu dibutuhkan negarawan-negarawan seperti Soekarno dan Hatta yang berani memulai suatu permulaan yang baru. Keberanian kenegarawanan itu pada gilirannya berasal dari suatu kepribadian yang merdeka. 
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger